Pembahasan mengenai perempuan pemimpin selalu ada dua sisi yang berbeda, ada yang setuju, ada pula yang tidak. UIN Jakarta tak luput dari andil perempuan-perempuan hebat dalam kursi kepemimpinan. Eksistensi dan peran perempuan dalam kepemimpinan di UIN Jakarta pun menuai berbagai tanggapan.
Berangkat dari terpilihnya Pebri sebagai ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta memberikan warna baru bagi kursi kepemimpinan di UIN sendiri. Tidak hanya Pebri, UIN Jakarta juga memiliki banyak perempuan hebat lainnya yang kini menduduki posisi ketua atau pemimpin, contoh mudahnya saja Rektor UIN Jakarta sekarang dipegang oleh seorang perempuan. Mengenai hal ini tentu memunculkan pertanyaan, bagaimana eksistensi kepemimpinan perempuan di UIN Jakarta?
Menanggapi hal tersebut, Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Ulfah Fajarini menuturkan, sejak adanya pemimpin perempuan di jajaran akademisi, menunjukkan ada kesetaraan gender. Menurutnya, bila seorang perempuan mampu dan sanggup serta lulus kriteria pemimpin, maka boleh saja. Ulfa juga menjelaskan, bahwa terdapat zona publik yaitu di lingkungan masyarakat dan domestik. “Terkadang perempuan merasa tidak sanggup mengambil peran di zona publik, misalnya dikarenakan tuntutan rumah tangga atau kondisi anak yang sedang sakit,” tambahnya via Whatsapp, Kamis.
Ulfah yang juga aktif dalam penelitian-penelitian terkait gender ini memaparkan, di tingkat nasional maupun internasional budaya patriarki yang menganggap laki-laki sebagai dominan masih ada. Namun, hal tersebut tidak boleh membuat perempuan lemah. Pesannya, perempuan harus aktif dan positive thinking serta menjadikan hambatan yang ada sebagai tantangan bagi diri sendiri untuk mencapai kesuksesan. “Ketika perempuan berpositive thinking dalam hidupnya atau saat memimpin anggota serta masyarakat di sekitarnya, maka dirinya dapat memberikan manfaat yang lebih untuk orang lain,” pungkas Ulfa.
Ida Rosyida selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Kesehatan (Fikes) juga ikut memberikan komentarnya. Menurut Ida, naiknya perempuan menjadi pemimpin bisa membuat perempuan menjadi agent untuk mempengaruhi kebijakan. Ida juga menekankan bahwa kepemimpinan itu dilihat berdasarkan kompetensinya bukan jenis kelaminnya. ”Kita tidak bisa mengeneralisir bahwa perempuan tidak dapat memimpin. Dasarnya bukan dari jenis kelamin, tetapi pada kemampuan, kapasitas, dan pengalaman,” tutur ida saat di wawancarai via WhatsApp, Sabtu (1/5).
Salah satu ketua dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) UIN Jakarta, Adams Pratama turut memberikan tanggapan. ”Saya cukup antusias dan senang dengan adanya pemimpin perempuan, sebagai inovasi dengan adanya perempuan di sektor-sektor strategis,” ungkapnya, Senin. Adams juga menyampaikan, sebagai ketua Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dirinya sangat mendukung dan menanti-nanti perempuan yang memenuhi kriteria dan berkualitas secara individu untuk memimpin UIN Jakarta.
Namun terkadang masih ada beberapa pihak yang meragukan kepemimpinan perempuan sehingga mereka mendapat penolakan. Lain halnya dengan kepemimpinan di UIN Jakarta, sebagai ketua terpilih Pebri mengungkapkan di sini perempuan justru mendapat banyak apresiasi dari berbagai pihak. Menurutnya, stigma bahwa perempuan ketika memimpin dominan menggunakan perasaan adalah keliru. ”Mengenai logika dan perasaan itu bagaimana seseorang tersebut berperan dan memimpin, bukan dilihat dari dia laki-laki atau perempuan,” katanya, Senin.
Berkaitan dengan hal di atas, ketua UKM Ranita UIN Jakarta yang kerap di sapa Moni menuturkan, semua orang mempunyai hak untuk memipin dan dipimpin. Selama menjabat sebagai ketua UKM yang berbasis mahasiswa pecinta alam (mapala) ini, ia tidak pernah mendapat perlakuan diskriminatif. “Ketika perempuan menjadi pemimpin, maka harus dihargai dan dihormati, begitupun sebaliknya,” tambahnya, Rabu.
Hal serupa juga diutarakan oleh Ayub, komandan Resimen Mahasiswa (Menwa) UIN Jakarta. Menurutnya, kepemimpinan dilihat dari metode dan cara pengolahan kinerja serta kualitasnya. “Ibarat seorang nahkoda yang mengendalikan kapal, jika ia berhasil, maka selamat lah penumpangnya,” tegasnya, Minggu.
Sementara itu, kondisi perempuan yang menjadi minoritas khususnya dalam dunia fotografi, menjadi sebuah tantangan bagi Eliza yang menjadi ketua UKM Kalacitra. Namun, di dalam kegiatan yang dipimpinnya, para anggota dididik untuk memiliki kreativitas dan etos kerja yang seimbang, sehingga bukan suatu kemustahilan untuk perempuan bisa berkecimpung di dunia fotografi. “Di Kalacitra, walaupun saya sebagai seorang perempuan yang menjadi pemimpin, kita masih tetap bisa bekerjasama dengan lancar dan baik,” tuturnya, Minggu.
Lain hal dengan Anisa Rifqia ketua keputrian dari LDK, beranggapan bahwa perempuan lebih mengutamakan perasaan ketimbang logika adalah sebuah fitrah bagi si perempuan itu sendiri. Bagi Qia (Panggilan akrabnya) secara komunikasi perempuan lebih pandai sedangkan laki-laki tidak terbuka terkait emosi. Menurut Qia, terkait perempuan menjadi pemimpin masih menjadi kontroversi, mayoritas ulama kontemporer membolehkan perempuan menjadi pemimpin, sedangkan ulama klasik tidak.
Menanggapi hadirnya perempuan dalam kursi kepemimpinan di beberapa UKM, Qia berpendapat bahwa terpilihnya perempuan menjadi pemimpin pasti memiliki pertimbangan. Sebagai ketua keputrian LDK, Qia tidak menafikan bahwa 25 tahun LDK berdiri tidak ada sejarahnya bahwa perempuan menjadi ketua umum. Dengan kata lain ketua umum dari LDK selalu dipegang oleh laki-laki dan sudah menjadi adat istiadat. “Kita melihat sendiri Allah melebihkan sifat laki-laki untuk menjadi pemimpin atau sosok yang lebih kuat dibandingkan perempuan, maka itu yang menjadi acuan kami,” jawabnya, Kamis.
Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fdikom), juga turut berkomentar, menurut Sunandar jika pertanyaannya bolehkah perempuan menjadi pemimpin maka jawabannya boleh dan tidak ada larangan secara eksplisit akan hal itu. Tapi menurut pandangannya, perempuan boleh dipilih menjadi pemimpin kalau di lingkungan atau komunitas tersebut tidak ada laki-laki yang lebih baik dalam hal prasyarat dan kriteria pemimpin. Selain itu ia tidak setuju kalau dasar pemilihan perempuan tersebut lebih bersifat politis. ”Bagi saya ini adalah pemilihan yang dipaksakan dan efeknya akan timbul banyak ketidak maslahatan,” katanya, Rabu.
Sedangkan terkait kondisi UKM atau Ormawa di UIN yang banyak dipimpin oleh seorang perempuan, Ketua Lembaga Ashaabul Kahfi ini ikut memaklumkan. Menurutnya, tidak masalah karena lingkupnya kecil dan tidak berdampak pada kebijakan secara makro. Sunandar mempertimbangkan jika kepemimpinan di tingkat perguruan tinggi yang jangkauannya nasional dan internasional, pemimpin perempuan harus dilihat dari hasil dan efek kepemimpinannya. “Apakah akan lebih baik dari para pemimpin laki-laki pada periode-periode sebelumnya, atau malah menjadikan UIN menjadi melorot gradenya dibanding perguruan tinggi lainnya,” pungkasnya, Rabu.
Firda Amalia & Firda Rahma
Average Rating