Konflik antara Palestina dengan Israel sudah berulang kali terjadi sejak dahulu dan telah menimbulkan banyak korban jiwa. Unjuk rasa menuntut kemerdekaan Palestina terjadi di seluruh penjuru dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diminta bertanggung jawab untuk mendamaikan kedua negara yang telah lama berseteru.
Konflik antara Palestina dan Israel kembali terjadi. Dimulai dari sengeketa perebutan tanah di wilayah Sheikh Jarrah hingga berujung dengan saling serang antara Harakat al-Muqawamah al-Islamiyyah (Hamas) dengan Pasukan Pertahanan Israel atau Israel Defense Force (IDF).
Pengamat Timur Tengah dan Direktur Indonesan Center for Middle East Studies Dina Sulaeman, mengatakan bahwa penyebab konflik Palestina dan Israel adalah masalah pendudukan dan penjajahan tanah Palestina yang dilakukan oleh Israel. ”Israel ini adalah entitas pendudukan bahkan penjajahan, tapi resminya disebut Occupying Power,” ujar Dina, Minggu ( 23/5).
Dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Eva Mushoffa, menjelaskan bahwa faktor geopolitik eksternal dan internal, faktor teritorial, pembagian wilayah dan konflik perbatasan menjadi penyebab perseteruan antara Palestina dengan Israel. ”ketika Perang Dunia II, konteks geopolitik juga turut memberikan andil atas diaspora Yahudi yang difasilitasi untuk datang ke Palestina,” tutur Eva, Senin (24/5).
Sejarah Konflik Palestina dan Israel
Dosen Sejarah dan Peradaban Islam UIN Jakarta Zakiya, munuturkan dari perspektif sejarah harus dilihat bahwa Bani Israel pernah diajak oleh Nabi Musa untuk menuju ke tanah yang dijanjikan (the promised land) setelah sekian lama Bani Israel diperbudak oleh Firaun di Mesir. The promised landkemudian disebut sebagai Yerussalem atau Palestina. Ia menambahkan bahwa saat itu ketika melihat Bangsa Filistin yang sangar, Bani Israel menolak ajakan Nabi Musa untuk memasuki tanah Yerussalem.
Zakiya melanjutkan bahwa perseteruan dan perebutan wilayah kekuasaan antara Palestina dengan Israel sekarang ini bukanlah perebutan yang pertama. Bahkan dalam sejarahnya Palestina dikuasi oleh penguasa yang berbeda-beda. Zakiya menjelaskan pada peristiwa Perang Salib tahun 1099, Paus Urbanus menyerukan perebutan Yerussalem dari tangan Muslim. Orang Yahudi dan Muslim dibantai dan diusir, dan mereka menjadikan Baitul Maqdis sebagai gereja dan kandang kuda.
Zakiya menerangkan pada tahun 1187, Sultan Shalahuddin berhasil merebut kembali Yerussalem dan mengembalikan fungsi Baitul Maqdis sebagai tempat ibadah, juga mempersilahkan orang Nasrani dan Yahudi tinggal di Yerussalem. Yerussalem tetap menjadi wilayah kekuasaan Islam sampai pemerintahan Dinasti Turki Usmani.
Pada tahun 1897, Tokoh Zionis yang merupakan seorang Yahudi berkebangsaan Austria Theodore Herzl, menginisiasi Kongres Gerakan Zionis pertama di dunia. Bertempat di Bassel, Swiss, kongres berkeputusan bahwa Bangsa Yahudi harus memiliki tanah sendiri untuk mendirikan Negara Yahudi.
Pada tahun yang sama Theodore Herzl menemui Penguasa Turki Usmani Sultan Abdul Hamid II, untuk minta izin membangun pemukiman Yahudi di tanah Palestina. Saat itu Sultan Abdul Hamid menolak permintaan Herzl, dengan menegaskan bahwa Yerussalem adalah tanah milik umat Islam dan tidak akan pernah diserahkan kepada siapapun selama Turki Usmani berdiri.
Berdirinya Negara Israel
Menurut Eva Mushoffa kekalahan Kekhalifahan Utsmani dengan Sekutu ketika Perang Dunia I, membuat wilayah-wilayah kekuasaan Utsmani menjadi wilayah-wilayah yang tidak bertuan. Hal ini dimanfaatkan negara-negara barat untuk mengambil alih wilayah-wilayah tersebut. Dalam hal ini Inggris dan Prancis membagi wilayah-wilayah bekas kekuasaan Utsmani menjadi wilayah kekuasaan mereka dengan Perjanjian Sykes-Picot. Pada tahun 1948 Israel resmi menjadi sebuah negara dan Inggris tidak lagi memangku mandat di Palestina.
Dina menambahkan sebelum lahirnya Perjanjian Sykes-Picot, Inggris telah lebih dulu melakukan Deklarasi Balfour pada tahun 1917 yang mana Inggris menjajikan tanah Palestina untuk kaum Yahudi. Dari sinilah perseteruan Palestina dengan Israel dan cikal bakal negara Israel di mulai.
Ia menerangkan meskipun pembagian wilayah Yahudi lebih besar tetapi yang terjadi adalah entitas Zionis Yahudi melakukan pengusiran yang besar-besaran dengan jumlah total pengusiran sekitar 780.000 orang. ”mulai dari 1947 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi 181 yang berisi pembagian dua wilayah Palestina, 45% diserahkan kepada Arab Palestina, 55% diberikan kepada entitas Yahudi,” jelas Dina, Minggu ( 23/5).
Eva menjelaskan konflik Palestina dan Israel sering kali disebut sebagai konflik agama. Namun, asal mula konflik ini adalah bukan konflik agama melainkan konflik kepentingan politik. Sementara itu Dina Sulaeman mengatakan enititas Yahudi mendirikan negara dengan membawa agama. ”Mereka mendirikan pemukiman di atas tanah Palestina membawa ayat Alkitab, mereka bilang ini tanah yang dijanjikan,” tutur Dina, Minggu ( 23/5).
Konflik Palestina dan Israel dari Prespektif Hukum Internasional
Menurut Pengamat Hukum Internasional Irfan Rachmad Hutagalung, Konflik Palestina-Israel sudah terjadi berulang kali dalam hal ini Palestina menjadi pihak yang sangat dirugikan dan Israel diduga telah banyak melanggar hukum internasional. Irfan juga menambahkan di dalam hukum humaniter mengatur ketika berperang, maka penduduk sipil, bangunan sipil, atau semua objek bukan sasaran militer tidak boleh diserang. “Yang boleh diserang hanyalah objek sasaran militer,” ungkap Irfan, Rabu (25/5).
Irfan mengatakan bahwa sejak tahun 2015, Palestina sudah resmi menjadi anggota International Crime Court (ICC). ICC didirikan untuk mengadili kejahatan perang yang patut diduga telah terjadi di wilayah Palestina. Ia menuturkan bahwa kejahatan perang bisa diadili oleh ICC. Menurutnya ICC memiliki kewenangan untuk menyelidik, menyidik, dan memperkusi kejahatan perang di wilayah Palestina. Irfan menambahkan bahwa Konflik Palestina-Israel itu soal power relations, Israel bisa melakukan apa yang dia lakukan karena didukung oleh negara-negara besar. “Negara yang tidak kuat dalam hal ini Palestina dan negara-negara Arab tidak bisa berbuat banyak , ini soal power relations,” ucap Irfan, Rabu (25/5).
Firda amalia
Average Rating