Menyelami Samudera Terorisme

Menyelami Samudera Terorisme

Read Time:7 Minute, 14 Second

Menyelami Samudera Terorisme

Terorisme di tanah air masih jadi persoalan membara. Rentetan peristiwa teror sebulan belakangan menjadi sinyal bahwa perang melawan terorisme sama sekali belum usai.

Indeks terorisme Indonesia belakangan mengalami tren kemerosotan. Merujuk pada hasil penelitian Global Terorism Index (GTI) yang dirilis oleh Intitute for Economics and Peace pada tahun 2020, Indonesia hanya mencatatkan skor sebesar 4,629. Dengan perolehan angka tersebut, Indonesia hanya mampu bertengger di peringkat ke-37 secara global dan keempat se-Asia Pasifik.

Penelitian GTI berfokus pada analisis pelbagai wilayah terdampak terorisme dari 163 negara di dunia dan 19 negara di Asia Pasifik. Di Indonesia sendiri, aksi terorisme sempat mengejutkan pada awal 2021 lalu. Minggu (28/3) pagi, aksi bom bunuh diri terjadi di depan gerbang Gereja Katedral Makassar. Pelakunya: sepasang suami istri simpatisan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

Selang dua hari kemudian, aksi penyerangan pun kembali berlanjut. Tak tanggung-tanggung, targetnya adalah Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Rabu petang (31/3). Adapun pelakunya, seoranggadis bernama Zakiah Aini yang diketahui berafiliasi dengan kelompok teroris Islamic State of Iraq and Syria(ISIS).

Tersangkut Baiat

Belum lama ini, isu terorisme juga kembali menyeret nama Universitas Islam Negeri  (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sebulan belakangan. Kuasa Hukum bekas pentolan Front Pembela IslamMuhammad Rizieq Shihab, Munarman, dituding telah terlibat dalam prosesi baiat ISIS di Medan, Makassar, dan UIN Jakarta. Munarman ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polripada Selasa sore (27/4) di kediamannya, di Pamulang, Tangerang Selatan.

Melansir dari berbagai sumber, saatpenangkapan, Densus 88 juga menyita sejumlah barang bukti, seperti buku-buku keagamaan, gawai, bendara-bendera organisasi, hingga empat kaleng bubuk putih yang diduga biasa digunakan untuk meracik bahan peledak. Penangkapan tersebut ditengarai karena keterlibatan Munarman dalam baiat anggota ISIS di Gedung Syahida Inn, UIN Jakarta pada tahun 2014.

Prosesi baiat itu sendiri berhasil dikamuflase denganacara seminar. Sementara untuk menyewa aula tersebut, pelaku melibatkan pihak dari luar Wisma Syahida Inn. Kala itu UIN Jakarta pun mengaku kecolongan, mereka sama sekali tidak mengetahui rincian kegiatan tersebut.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Jakarta Arief Subhan, membenarkan kejadian pada 2014 itu, pada Rabu (28/4). Terkait perkara tersebut, ia juga mengatakanISIS beradadi balik pembaiatan. Sehubungan dengan penangkapan Munarwan atas tuduhan keterlibatannya dengan ISIS, Arief menerka penangkapan itu ditengarai pembaiatan pada 2014 silam. Menurutnya, tidak ada satu pun kegiatan yang diselenggarakan dilingkungan kampus belakangan ini.“Tidak ada satu pun kegiatan,” kata Arief.

Di Ujung Tanduk

Menurut Pengamat Intelijen dan Terorisme Universitas Indonesia, Stalianus Riyandi, terorisme adalah musuh nyata, tidak ada seluk-beluk permainan intelijen ataupun fiktif dalam kasus terorisme. Dalam rentang waktu 2000-2018, terdapatsekitar 1.800 narapidana terorisme yang berhasil diamankan negara. Dari 2004 hingga Maret 2021, sebanyak 1.149 narapidana telah selesai menjalani hukuman. Namun, 70 orang di antaranya kembali melakukan terorisme usai dibebaskan,“(Sudah jelas) Indonesia menganut asas sistem peradilan terbuka,” kata Stalianus, Minggu malam (11/4).

Stalianus mengungkapkan pula, dirinya sangat khawatir soal pencegahan dini terorisme di Indonesia. Penindakanterorisme,menurutnya sudah seringdigencarkan,tapitidak diiringi dengan pencegahan. Karena itulahduduk perkara terorisme masih menjamur di Indonesia. Keluarga, sahabat, dan masyarakat sekitar, kata Stalianus, merekalah yang paling dini mampu mendeteksi perubahan perilaku seseorang yang terpapar terorisme, “Aparat pemerintah tak mampu melakukan (pencegahan dini),” ucapnya kepada Institut.

Gawatnya pencegahan terorisme di Indonesia yang menjadi sorotan Stalianus, bisa ditekan dengan menggandeng anakmuda untuk meningkatkan jiwa nasionalisme. Selain itu, pemerintah harus membuat program pemberdayaan keluarga serta masyarakat, terutama yang berhubungan dengan paham-paham terorisme dan bagaimana mekanisme pelaporannya kepada pihak-pihak terkait, “Perlu kolaborasi antar pemerintah dan semua elemen masyarakat,” tuturmahasiswa doktor kebijakan publik itu.

Mengutip Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan, pencegahan tindak terorisme dilakukan melalui kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.

Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Indonesia, Irfan Idris mengatakan, program kesiapsiagaan nasional baru diluncurkan. Sedangkan kontra radikalisasi dan deradikalisasi sudah dilaksanakan sejak dulu, “Adanya regulasi tersebut, akan terlihat semua (penyebab terorisme di Indonesia),” tulisnya via WhatsApp, Selasa (13/4).

Menyusuri Kisah

Mantan Ketua Jemaah Islamiyah (JI), Nasir Abas, hanya ingin menjadi mujahid yang turut dalam peperangan di Afganistan. Saat berusia 18 tahun, ia direkrut oleh Abu Bakar Baasyir. Kemudian dikirim ke Afghanistan untuk pelatihan militer. Selama tiga tahun, ia mengaku lebih banyak belajar agama ketimbang pelatihan militer. Upaya indoktrinisasi paham terorisme pun tak tercium di sana. Namun siapa sangka, Nasir lantas tergabung dengan kelompok teroris Negara Islam Indonesia (NII).

Baasyir menitip pesan kepada Nasir remaja, agar tetap ingat tanah airnya Indonesia dan tidak gugur saat berperang di Afganistan. Baasyir juga mengingatkannya supaya membawa pulang ilmu ke Indonesia, “Guna membangun NII di Indonesia,“ ucap Nasir, ketika diwawancarai Institut via Zoom, Sabtu (11/4).

Nasir menegaskan, para mujahidin tidak membunuh warga sipil. Faktanya, kata dia, di Indonesia kelompok JI justru menyeleweng dari ideologi nenek moyangnya, yakni Al-Qaeda. Mereka salah kaprah dalam memahami esensi jihad dan syariat Islam. Padahal, JI tidak mengajarkan kekerasan karena bertentangan dengan esensi tersebut. Hal itu sebatas pengakuan mereka atas pemahaman jihad yang keliru, “Jihadnya (menjadi)  abal-abal,” ungkap Nasir.

Pada 2003, polisi menangkap Nasir atas dugaan terorisme dan keterlibatannya dengan JI pasca rentetan aksi bom Bali 2002 dan beberapa gereja di Jakarta. Saat hendak diberondong, enam polisi menodongnya dengan pistol. Ia juga diserbu pelbagai pertanyaan. Dalam benaknya, ia merasa lebih baik mati saat itu. “Saya lebih baik mati ketimbang ditangkap,” ujar Nasir.

Tapi ternyata takdir berkata lain, polisi justru menangkapnya hidup-hidup. Nasir mengaku tidak terlibat dalam perencanaan aksi bom, tetapi malah ia yang tertangkap. Sebelum ditangkap, dirinya justru menentang aksi bom yang menyasar tempat umum dan ibadah, karena itu Nasir memutuskan untuk keluar dari lingkaran terorisme, “Bersama kepolisian, saya mengajak (orang-orang terpapar terorisme) hal baik dan mencegah hal buruk,” ucap Nasir.

Nasir juga mengungkapkan bahwa terorisme dan radikalisme akan lebih mudah mempengaruhi orang yang terkena frustasi, depresi, dan anak broken home. “Merekalah sasarannya,” katanya.

Penyintas tragedi Bom Kuningan 2004, Iwan Setiawan saat dihubungi Institut pada Selasa (6/4), menceritakan ingatan kelam yang menimpanya. Saat itu, Iwan sedang membonceng istrinya untuk memeriksa kandungan yang sudah berusia delapan bulan menuju klinik di Manggarai, Jakarta Selatan. “Kalau cerita tentang ini, terasa baru kemarin. Padahal sudah belasan tahun terjadi,” ungkapnya.

Saat berkendara di Jalan Rasuna Said, Kuningan, sebuah bom meledak di depan Kedutaan Besar Australia. Ledakan bom tersebut, membuat kaca gedung berhamburan mengenai Iwan dan istrinya. Bola mata sebelah kanannya rusak karena kemasukan besi bara. Tanpa memikirkan kondisinya yang seperti itu, Iwan sontak membawa istrinya ke rumah sakit terdekat. Nahas, ketika sampai di rumah sakit, mereka justru tidak mendapatkan penanganan karena pihak rumah sakit malah mempersoalkan urusan administrasi.

Iwan mengatakan, ia dan istrinya dapat ditangani karena berlagak seperti orang kaya. “Saya di sini banyak saudara yang mapan dan pejabat. Tangani dulu saja, dokter tidak usah khawatir,” kata Iwan kepada dokter yang mempermasalahkan administrasinya. Setelah menjalani perawatan khusus, Iwan dinyatakan mengalami kebutaan pada mata kanannya, dan istrinya meninggal dunia dua bulan kemudian.

Departemen Kesehatan hanya menanggung dua minggu pengobatan tanggap darurat untuk Iwan dan istrinya. Mereka juga sama sekali tidak mendapatkan penanganan dan bantuan lebih lanjut dari pemerintah, “Bantuan berupa materil, psikis, dan medis tidak ada. Bahkan sampai penyembuhan total pun tidak ada,” tutur Iwan. Sebab, saat itu belum ada lembaga yang menaungi penyintas terorisme.

Kala itu, Iwan berusaha ikhlas dengan pengalaman pahit yang diterimanya.  Ia berusaha memaafkan pelaku teroris yang membuat dirinya cacat, serta kehilangan istri tercintanya. Sangat berat, ucap Iwan, untuk bisa memaafkan, “Kekerasan jangan dibalas kekerasan,” pungkas Iwan. Dengan keikhlasan dan ketabahannya, ia pun dinobatkan menjadi Duta Perdamaian.

Agama dan Budaya

Kepada Institut, Direktur Center Study Religion and Culture Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Irfan Abubakar mengatakan, agama itu ibarat dua mata pisau, ia bisa dipakai secara persuasif maupun koersif. Bagaimanapun dalihnya, Irfan berkata bahwa tujuan agama adalah satu: membentuk tatanan sosial yang adil dan damai. Tetapi, menurutnya ajaran yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadis harusnya tidak serta merta dijadikan sebagai koersi atau paksaan, “Bukannya menciptakan suasana aman, justru ketakutan,” katanya pada Jumat sore (9/4).

Menurut irfan, budaya jugamenjadi salah satu pemicu terorisme. Agama, kata Irfan, mengandung kebudayaan yang mengatur perilaku serta tatanan nilai kehidupan sebuah masyarakat. Meski begitu, tidak semua budaya mengacu pada agama. Ekonomi, pendidikan,dan politik misalnya, sistemnya condong merujuk pada negara-negara maju. Irfan menambahkan, dunia telah banyak mengalami perubahan termasuk dalam hal kebudayaan, “Terorisme menginginkan kebudayaan tadi, diwujudkan dengan sistem yang terdahulu (menyanggah perubahan),” ujar dosen Bahasadan SastraArabitu.

Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Fachri Fachrezi berpendapat, agama menjadi instrumen yang tepat untuk menangkal budaya terorisme di Indonesia. Menurutunya kaum muda harus waspada dan lebih selektif dalam belajar, bergaul, serta menggali informasi, “Tidak ada satupun agama yang mengajarkan penganutnya untuk bertindak jahat serta membunuh,” tandasnya kepada Institut, Rabu (7/4).

Syifa Nur Layla & Nur Hana Putri 

 

 

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Suara Aksi Bela Palestina Previous post Suara Aksi Bela Palestina
Mengupas Akar Perseteruan Palestina dan Israel Next post Mengupas Akar Perseteruan Palestina dan Israel