Memaknai Terorisme dari Serangan di Kanada

Memaknai Terorisme dari Serangan di Kanada

Read Time:6 Minute, 49 Second
Memaknai Terorisme dari Serangan di Kanada

 Oleh : Dewi Putri Aprianti

Baru-baru ini kita digemparkan oleh kabar serangan kepada lima anggota keluarga muslim di Kanada yang sedang berjalan bersama di sepanjang trotoar. Sebuah truk pikap hitam melintas ke trotoar dan menabrak mereka, yang hendak menyeberangi persimpangan. Hanya satu orang yang selamat, yaitu anak laki-laki berusia sembilan tahun yang saat ini sedang menjalani perawatan. Islamofobia—atau rasa kebencian terhadap kaum muslim disebut menjadi motif pelaku hingga nekat melakukan aksi keji tersebut.

Islamofobia adalah istilah yang merujuk pada prasangka, diskriminasi, ketakutan dan kebencian terhadap Islam dan Muslim. Istilah ini bukan hal baru, sejak tahun 1980-an, narasi Islamofobia sudah dikenal di masyarakat, namun istilah ini semakin dikenal setalah peristiwa serangan 11 Sepetember 2001 di Amerika Serikat. Serangan itu diinisiasi oleh 19 pembajak dari kelompok militan Islam, al-Qaeda. Mereka membajak empat pesawat jet penumpang.

Kejadian tersebut telah memicu trauma yang mendalam, khususnya bagi warga Amerika terhadap umat muslim. Narasi Islamofobik yang sering terdengar adalah “Islam itu teroris!”. Sejumlah kalangan masih memelihara benih kebencian terhadap Islam, meski sudah banyak masyarakat yang mulai terbuka dan memahami bahwa tidak semua muslim—penganut Islam—adalah teroris, namun tak sedikit pula yang masih beranggapan demikian.

Terorisme merupakan fenomena yang patut dikaji dalam perspektif luas. Menurut KBBI, terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuannya. Artinya, terorisme digunakan sebagai “senjata psikologis” oleh para pelakunya untuk mengintimidasi masyrakat agar menaati kemauan si pelaku, singkatnya: terorisme adalah ancaman.

Aksi terorisme menjadi kekuatan bagi para pelaku untuk menyampaikan pesan politik, agama, maupun ideologi. Ia akan merasa senang jika media secara gencar mempublikasikan identitas mereka. Baginya, mengklaim suatu aksi teror bukanlah hal berat, namun justru menguntungkan. Dengan begitu, mereka dapat menunjukan eksistensi mereka, ini juga termasuk salah satu dari tujuan teroris.

Dalam beberapa kasus, aksi terorisme kerap dipantik oleh rasa kebencian terhadap kelompok tertentu, terutama suku, ras, dan agama. Dengan begitu, jelas bahwa titik berangkatnya aksi terorisme itu bukanlah agama saja, namun dari berbagai motivasi yang didorong oleh ideologi tertentu.

Yang kerap jadi pertanyaan, apakah pelaku terorisme itu beragama? Mengapa islamofobia dengan stimulus keyakinan bahwa islam dan muslim adalah teroris masih tumbuh berakar di masyarakat (barat khususnya)?

Kita tidak dapat menyangkal bahwasannya teoris pun (dapat dikatakan) beragama. Kelompok ekstremis muslim sering menggunakan dalih agama dalam setiap aksinya. Namun yang perlu digaris bawahi, yaitu ideologi beragama mereka. Ideologi-ideologi yang sesat kerap dijadikan bahan bakar semangat aksi terorisme ini. Alasan utama teroris menggunakan agama sebagai dalihnya, karena agama adalah keyakinan paling intim pada diri seseorang, ia langsung menyentuh hingga nurani.

Ajaran-ajaran agama juga mempertahankan ortodoksinya karena berasal dari Tuhan dan wahyu kenabian. Hal ini dengan mudah dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk mem-brainwash sasarannya yang menjadi target rekrutan mereka, dengan memanfaatkan agama sebagai bungkus dari ideologi sesatnya. Dari situ dapat dimengerti bahwa terorisme berangkat dari ideologi.

Kelompok yang rentan akan ideologi bungkusan ini adalah kelompok-kelompok radikal kanan yang sangat mempertahankan ke-konservatifan ajaran agamanya. Meski tidak setiap orang yang memiliki paham radikal merupakan teroris, namun teroris sudah pasti memiliki paham radikal. Terorisme merupakan hasil dari proses radikalisasi dari level individu hingga kelompok. Sistem tatanan sosial, atau gagasan-gagasan yang bersifat sekuler akan dianggap berbahaya karena dianggap mengotori kemurnian ajaran agamanya.

Misalnya, ada kelompok islamis radikalis yang gemar menganggap hal baru sebagai bid’ahyang mesti dihindari. Padahal kitab Al-Qur’an yang digunakan sebagai dasar agama pun meiliki makna yang sangat luas, maka dari itu Al-Qur’an dapat beradaptasi di berbagai zaman sebagai pedoman utama. Dengan kata lain, Al-Qur’an tidak membatasi pengetahuan yang ada di dalamnya pada suatu zaman saja, melainkan fleksibel di segala zaman.

Nah, keradikalan inilah yang dimanfaatkan oleh para pelaku untuk mencuci otak mereka. Keyakinan mereka terhadap agama yang seperti ini dianggap sebagai kelamahan yang akan mereka jadikan pintu peluang masuknya doktrin-doktrin sesat berbalut agama. Mereka memahami bahwa ketika ada hal yang menyangkut agama, si radikal ini tidak akan membantah atau mengelaknya. Apalagi sang pelaku menggunakan agama dengan sangat persuasif, maka pelaku akan dengan sangat mudah menguasi pikirannya.

Orang-orang yang terlibat aksi terorisme umumnya merupakan orang-orang yang merasa terancam dan depresif. Individu yang terlibat dalam proses terorisme itu mengalami suatu proses yang dinamakan pra-radikalisasi. Dalam proses ini, individu tersebut mengalami internalisasi nilai-nilai keagamaan yang bersifat ekslusif, moral, perjuangan, dan kehormatan.

Serangan 11 September 2001 yang terjadi di Amerika dianggap sebagai pusat berkembangnya islamofobia yang menganggap islam dan muslim adalah teroris. Disusul dengan peristiwa bom Bali 1 dan 2, bom di Surabaya, dan rangkaian peristiwa terorisme lain yang mengatasnamakan islam. Seperti yang dijelaskan diatas, kita tidak bisa menyangkal bahwasannya teroris pun beragama namun bukanlah agama yang menjadi titik permasalahannya.

Ideologi sesat merekalah yang menjadi titiik berangkatnya. Apa yang dilakukan para teroris ini dengan segala tujuan buruknya dan dibungkus ajaran Islam, adalah sebuah tamparan besar bagi kita, siapa pun dan di mana pun kita berada, bahwa kita tidak bisa menilai sesorang hanya dengan melihat luarnya saja.

Dalam ilmu psikologi, kita perlu melakukan rangkaian proses asesmen yang panjang untuk mengetahui kepribadian sesorang, dan ini pun hanya dapat dilakukan oleh psikolog yang telah menempuh pendidikan S2 psikologi. Ya, memang kenyataanya serumit itu. Namun terkadang dengan mudahnya manusia menjustifikasi manusia lain. Apa yang dilakukan teroris ini tentulah sangat bertolak belakang terhadap ajaran agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Para teroris ini tidak layak dianggap sebagai bagian represntatif dari umat Islam, mereka hanya menggunakan Islami sebagai cangkang untuk ideologi serta tujuan sesatnya yang sama sekali tidak ada dalam ajaran Islam. Islam sendiri bahkan tidak mengajarkan kekerasan, perang yang dilakukan oleh Islam adalah didahului dengan ajakan, dan tidak akan menyerang kecuali Islam terlebih dahulu diserang oleh umat lain.

Terorisme bukan representasi wajah Islam. Saya memahami bahwa serangan yang begitu dahsyat tersebut telah menimbulkan trauma yang hebat dan mendalam bagi penjuru dunia terkhusus di Amerika. Duka mendalam atas juga menyelimuti mereka yang kehilangan keluarga dan kerabatmya. Butuh waktu bagi umat muslim untuk meluruskan pandangan yang salah tersebut kepada Dunia. Tentunya kita bisa turut andil di dalamnya dengan terus menyiarkan agama Islam. Kita juga harus bisa menjadi representasi muslim yang baik, sebagaimana diajarkan dalam Islam. Dengan harapan bisa menjadi obat penawar islamofobia yang ampuh akibat ulah para teroris.

Di samping narasi islamofobia, sebenarnya sejak dahulu umat Islam juga kerap menjadi korban terorisme. Di Spanyol pada awal 1520-an, terjadi pemberontakan yang Rebelión de las Germanías (Pemberontakan Persaudaraan) yang memanfaatkan sentimen anti-Islam. Di daerah yang dikuasai pemberontak, para penganut agama Islam dipaksa untuk memeluk agama Kristen. Umat Islam membantu pihak kerajaan dalam peperangan ini, dan akhirnya pemberontakan berhasil dipadamkan.

Raja Carlos I dari Aragon (orang yang sama dengan Karl V, Kaisar Romawi Suci) memutuskan bahwa pergantian agama yang dipaksa oleh pemberontak itu sah demi hukum. Dengan demikian para pemeluk Islam yang dipaksa menjadi Kristen sekarang resmi beragama Kristen dan harus tunduk pada yurisdiksi inkuisisi Spanyol.

Walaupun secara resmi memeluk agama Kristen yang diwajibkan oleh kerajaan dan ditegakkan oleh pihak inkuisisi, bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa kebanyakan mereka yang dipaksa beragama Kristen yang dikenal sebagai “Morisco”, diam-diam masih berpegang kepada ajaran Islam. Mereka memang tidak bisa lagi menjalankan ibadah Islam dan mengikuti hukum Islam secara terbuka karena akan berakibat persekusi dari pihak inkuisisi.

Selain itu, aksi terorisme juga berangkat dari rasa kebencian terhadap kelompok SARA tertentu. Seperti aksi penembakan massa di sebuah masjid yang dilakukan oleh Brenton Tarrant di Selandia Baru, lalu pembersihan etnis Rohingya di Myanmar 2017 silam, amukan pengemudi di Toronto yang menewaskan 10 orang pada April 2018, dan yang baru-baru ini terjadi, yaitu serangan yang direncanakan kepada lima anggota keluarga muslim di Kanada yang sedang berjalan bersama di sepanjang trotoar.

Nathaniel Veltman, sang pelaku, sengaja melajukan mobil pikapnya ke arah trotoar demi menabrak keluarga tersebut. Keluarga itu diketahui hendak menyeberangi persimpangan. Insiden ini juga sama-sama berasal dari kebencian terhadap umat muslim atau seperti istilah tadi, islamofobia. Yang menarik di sini, doktrin islamofobia itu sendiri bisa memicu seseorang untuk melakukan aksi terorisme. Ini adalah bukti kuat bahwa agama bukanlah akar dari terorisme, melainkan keyakinan dan ideologi sesat dari para pelaku baik itu dengan tujuan yang bersifat politik, agama maupun rasa benci itu sendiri. Terlepas dari itu semua, terorisme tidaklah dibenarkan dalam ajaran dan keyakinan manapun.

*penulis merupakan mahasiswa program studi Psikologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

MUI Kirim Surat Soal Palestina untuk Joe Biden Previous post MUI Kirim Surat Soal Palestina untuk Joe Biden
Sparing Partner Catur Bersama Forsa Chess Club Next post Sparing Partner Catur Bersama Forsa Chess Club