Pada 12 Agustus 2021 lalu, Indonesia dihebohkan dengan adanya mural di kawasan Batuceper, Tangerang, yang memuat gambar wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bagian mata Jokowi dalam mural tersebut, dihiasi dengan tulisan “404: Not Found”. Namun karena dinilai melecehkan presiden, karya seni yang disebut sebagai tindakan protes pada Jokowi tersebut, berujung dengan penghapusan yang dilakukan oleh pemerintah setempat bersama dengan TNI-Polri.
Kasus terbaru, seorang peternak memampangkan poster bertuliskan, “Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar” saat kunjungan Jokowi ke makam Bung Karno di Blitar. Tetapi usai mobil Jokowi melintas, ia malah diseret dan dimasukkan ke dalam mobil patroli kepolisian setempat.
Sekilas dalam dua kasus di atas, telah memperlihatkan dengan nyata ditutupnya mulut masyarakat atas apa yang mereka pikirkan tentang pemerintah. Alih-alih menjadikannya sebagai bahan introspeksi, pemerintah dan aparat justru bersama-sama menutup pikiran masyarakat untuk menyampaikan aspirasi.
Padahal yang mereka lakukan adalah sama, yakni tindakan protes dan menyuarakan aspirasi serta keresahan. Tujuannya pun satu, untuk memperoleh perubahan dari apa yang mereka suarakan, bukan pula tindak kriminal ataupun kekerasan yang merugikan pihak lain. Lantas mengapa mereka si kaum kelas atas seakan enggan mendengar aspirasi masyarakat?
Hal ini sangat bertentangan dengan ucapan yang dilontarkan oleh Juru Bicara (Jubir) Presiden Joko Widodo (Jokowi) Fadjroel Rachman beberapa waktu lalu. Dilansir dari Merdeka.com, Fadjroel mengklaim bahwa pemerintah tidak pernah takut dikritik oleh publik, karena menurutnya kritik adalah jantung demokrasi.
Lebih lanjut, beberapa waktu lalu pula mencuat kembali pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Kendati pernah ditentang oleh banyak pihak karena melanggar kebebasan berekspresi dan berpendapat, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) kembali mensosialisasikan pasal ini.
Pelanggaran yang memuat rancangan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden termuat dalam BAB II pasal 218, yang mana pelaku dikenakan hukuman 3 tahun 6 bulan pidana atau denda paling banyak Rp 200 juta. Ada pula pasal 219, penghinaan melalui media sosial dikenakan hukuman 4 tahun 6 bulan pidana atau denda paling banyak Rp 200 juta.
Jika memang pemerintah tidak pernah takut dikritik, seharusnya tak usah mengangkat kembali Rancangan Undang-Undang yang memuat pasal penghinaan terhadap presiden. Hal tersebut menentang hak kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat, mengingat Negara Indonesia merupakan negara demokrasi.
Berbeda dengan Amerika Serikat yang juga merupakan negara demokrasi, pemerintah di sana sangat membebaskan masyarakatnya untuk menyampaikan pendapat mereka tentang presiden tanpa perlu takut terjerat hukum. Padahal tak sedikit kritik masyarakatnya yang dinilai sadis. Namun Amerika Serikat justru melindungi kebebasan pendapat mereka, termasuk kepada presiden sekalipun.
Tindakan berlebihan yang dilakukan pemerintah dan aparat dalam menyikapi kritik masyarakat seakan menghilangkan makna demokrasi yang dimiliki Indonesia. Hadirnya rancangan pasal penghinaan terhadap presiden pun menambah kenyataan bahwa pemerintah seakan tak ingin mendengar suara rakyat. Karena bahkan tindak kritis seperti membuat mural saja dianggap pelecehan. Sebagai negara demokrasi, sudah sepantasnya seluruh warga negaranya menjunjung tinggi kebebasan berpendapat.
*Penulis merupakan mahasiswi jurusan Jurnalistik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Average Rating