- Liputan berita Kekerasan Seksual (KS) sudah berdasarkan persetujuan dari pendamping korban. Tim Investigasi Institut terbuka dengan segala masukan dari mereka. Oleh karenanya kami memutuskan untuk tidak terburu-buru dalam menerbitkan berita yang bertalian dengan KS.
- Hasil liputan KS ini menjadi karya dari kolaborasi Project Multatuli bersama 22 pers mahasiswa di penjuru Indonesia. Diharapkan liputan ini menjadi bukti bila kasus KS perlu menjadi perhatian bersama, khususnya civitas academica UIN Jakarta.
Rape culture berupa intimidasi tidak hanya dialami oleh korban kekerasan seksual. Mereka yang menjadi pendamping korban juga terseret masuk ke lubang intimidasi itu.
2020 lalu, Indah___bukan nama sebenarnya___bersama dengan pendamping korban lainnya dari Kolektif Rosa tengah mendampingi sejumlah korban kekerasan seksual di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kasus kekerasan seksual tersebut, menjadi perjuangan yang berat lantaran Indah dan kelima kawannya mendapat intimidasi dari lingkungan sekitar.
Indah mengatakan terdapat pihak yang memintanya untuk tidak melaporkan kasus dan pelaku___seorang koordinator di salah satu kelompok sastra___ke ranah hukum. Padahal dokumentasi penyelidikan sudah dilakukan oleh salah satu kelompok___sebut saja X, mampu memperkuat bukti kasus. Dalihnya: dokumentasi bersifat internal. Bahkan, Indah dan temannya pernah dilarang melapor ke pihak resmi oleh sejumlah orang dari kelompok tersebut.
Akhirnya Indah bersama pendamping lainnya meminta proses mediasi dengan kelompok X guna menyelesaikan kasus tersebut. Saat mediasi itu berlangsung dan dari pihak korban serta pendampingnya sudah memberikan pandangannya soal kasus ini, salah satu orang dari pihak X ada yang mengacungkan dirinya berprofesi sebagai jurnalis. Atas profesinya, orang itu merasa berkuasa mengurus kasus ketimbang orang lain termasuk dari pendamping dan korban. ”Ia tidak kooperatif dan tidak menghargai perspektif korban. Ditambah menggertak kepada kami,” ujar Indah pada Rabu (20/10).
Selanjutnya tibalah mediasi pemungutan suara untuk penjatuhan sanksi kepada pelaku. Namun dua dari lima kawan Indah berhalangan untuk hadir. Akibatnya penjatuhan sanksi terhadap pelaku menjadi ringan___mulanya pelaku dicopot dari kelompok X, tetapi kemudian hanya dinonaktifkan selama setahun dari kelompok itu. Bermula dari sanalah kemudian kedua teman Indah disalahkan oleh segelintir orang dari kelompok X.
Padahal, ucap Indah, yang seharusnya disalahkan: mereka yang memberikan opsi 7 hari, 15 hari hingga setahun masa nonaktif pelaku. Hal ini mengingat bila kasus kekerasan seksual adalah kejahatan besar. Sehingga keputusan hasil pemungutan suara sanksi haruslah adil.
Sudah jatuh ditimpa tangga pula. Usai mempublikasikan keputusan tersebut, Indah dan pendamping korban lainnya kembali berada di situasi yang sulit. Kali ini dari sejumlah pihak luar selain kelompok X. Pihak-pihak itu menyalahkan para pendamping korban lantaran membahas kasus kekerasan seksual dan melakukan pencemaran nama baik kelompok X. “Seorang predator seksual seperti pelaku tersebut tidak pantas berada di lingkungan kami,” geram Indah.
Berdasarkan keterangan dari Indah, para korban dari kasus kekerasan seksual pun tak lepas dari belenggu intimidasi. Mereka kerap mendapat stigma dan perkataan yang menyayat hati dari sejumlah pihak. Mulai dari korban yang dianggap tidak berlogika, kejam terhadap pelaku hingga tidak menghiraukan mental pelaku. “Jangan zalim terhadap pelaku, kasihani masa depannya dan doakanlah proses taubat si pelaku,” ucap Indah sembari meniru ucapan orang-orang yang berkata seperti itu.
Lebih lanjut, Indah juga menuturkan bila beberapa orang di kelompok X mencoba secara paksa untuk tahu identitas korban. Setelah diketahui identitasnya, kawanan orang itu pun menghubungi korban satu demi satu. Hal ini membuat para korban merasa tidak nyaman dan terpojokkan.
Pelbagai intimidasi tersebut, ujar Indah, datang bertubi-tubi dengan tiada hentinya. Mulai dari sebelum hingga sesudah kasusnya terdengar oleh masyarakat luas, intimidasi didapati terus menyerang korban dan pendamping korban. Indah mengakui kesulitan untuk bisa berbagi cerita, mencari jalan terang, dan dukungan dari sekelilingnya. Adapun tantangan tersulit menjadi pendamping korban saat menangani kasus kekerasan seksual: menjaga perasaan dan trauma korban. “Yang terpenting adalah korban, korban dan korban,” tegas Indah.
Tetapi dukungan dari para korban, ucap Indah, mampu memberikan kekuatan dan semangat bagi para pendamping korban untuk melaju selangkah demi selangkah dalam penyelesaian kasus. “Kami (para pendamping korban dan korban) saling mendukung satu sama lain,” tutur Indah. Padahal, lanjut Indah, penting untuk mengambil keputusan mediasi yang berspektif pada korban.
***
Indah mengatakan, selama proses pendampingan korban dirinya kerap menemukan fenomena rape culture___kekerasan seksual dianggap hal yang wajar___masih menempel di khalayak ramai. Hal ini Indah rasakan sendiri saat menangani kasus kekerasan seksual di UIN Jakarta pada 2020 lalu. Ia merasa geram sekaligus prihatin atas intimidasi yang dirinya dapatkan bersama para korban. Awal mulanya memang mendukung dan bersama-sama mencari keadilan untuk korban namun, pada kenyataannya itu omong kosong. “Malah mencari perlindungan untuk pelaku,” ucap Indah.
Indah menjelaskan bahwa sudah seharusnya permasalahan rape culture menjadi tanggung jawab bersama, terlebih hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya terlepas dari siapa pun pelakunya, apapun jabatan dan pekerjaannya, pelaku kekerasan seksual adalah penjahat.
Sementara itu, belum adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Kekerasan Seksual (KS) di UIN Jakarta, Indah bersama komunitasnya Kolektif Rosa sangat mendorong dan mendukung penuh kehadiran SOP tersebut. Tentunya penetapan SOP harus dibuat berlandaskan keadilan dan berspektif korban. Indah juga menuturkan perlu adanya perlindungan identitas dan pemulihan untuk korban kekerasan seksual. “Kasus kekerasan seksual tidak boleh dipandang sebelah mata,” tutup Indah dalam wawancara bersama Institut.
***
Fenomena rape culture yang kerap kali terjadi di lingkungan kampus, menjadi perhatian tersendiri bagi Dosen Sosiologi Gender UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ida Rosyidah. Ia menuturkan rape culture yang terjadi secara terus-menerus akan berakibat pada menguatnya tameng budaya patriarki di masyarakat. Hal tersebut dikhawatirkan, karena orang-orang menganggap kekerasan seksual sebagai hal yang lumrah terjadi. Kemudian hal lain yang mengerikan: rape culture kian mengakar kuat sebagai bukan tindakan kejahatan.
Menjamurnya budaya patriarki, mengakibatkan fenomena rape culture semakin sulit untuk dilerai. Hal tersebut dijelaskan Ida karena dalam budaya patriarki, membuat perempuan mendapatkan perlakuan apapun, termasuk mendapatkan kekerasan seksual. “Perlakuan tersebut menyasar pada tubuh perempuan,” ungkap Ida, Kamis (9/12).
Ida mengkategorikan kekerasan seksual ke dalam tiga bentuk: ringan, sedang dan berat. Pelecehan dalam bentuk verbal seperti melontarkan kata-kata yang tidak senonoh kepada korban dengan maksud merendahkannya, tergolong kekerasan seksual ringan. Apabila pelaku sudah menyentuh bagian tubuh korban, maka berkategori kekerasan seksual sedang. Kemudian pemerkosaan, termasuk ke dalam bentuk kekerasan seksual berat.
Menurut Ida, rape culture tidak hanya menyasar kepada korban kekerasan seksual, tetapi juga kerap kali menghantui para pendamping korban kekerasan seksual. Seperti yang dirasakan oleh Kolektif Rosa, ucap Ida, yang sering mendapatkan intimidasi saat melakukan proses pendampingan terhadap kasus kekerasan seksual di UIN Jakarta.
Fenomena tersebut menjadi perhatian bagi Ida untuk mendorong kampus agar dapat melakukan sosialisasi secara masif untuk memunculkan sensitivitas gender di ruang akademik. Selain itu, diperlukan juga untuk para pendamping korban agar dapat bersinergi dengan aktivis gender. “Jika di UIN Jakarta, para pendamping dapat menjalin relasi dengan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA),” ungkap Ida.
Penyediaan pelayanan pengaduan sangat dibutuhkan untuk menangani kasus kekerasan seksual di kampus. Selain itu, regulasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus perlu hadir guna memberikan perlindungan payung hukum kepada korban. “Penting bagi kampus menyediakan Hopehelps sebagai tempat pengaduan korban kekerasan seksual,” tegas Ida, Kamis (9/12).
Average Rating