Aksi gabungan Aliansi Nasional Reformasi menolak Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) berlangsung di depan Gedung DPR RI pada Selasa (28/6). Sekitar pukul 15.00, massa aksi mulai memasuki area Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat.
Barisan mahasiswa dari beberapa kampus dengan lantang menyerukan tuntutannya terkait pembatalan RUU KUHP. Setibanya di depan Gedung DPR RI, beberapa perwakilan dari berbagai kampus menyampaikan orasinya.
Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad Abid Al Akbar dalam orasinya menyampaikan kekecewaannya terhadap sikap pemerintah yang terkesan tertutup dalam penggodokan RUU KUHP.
Abid juga menambahkan, terdapat beberapa pasal karet dalam RUU KUHP yang merugikan rakyat, terlebih dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi. “Seharusnya saat pembuatan Undang-undang, pemerintah membuka diri terhadap partisipasi publik,” ungkap Abid, Selasa (28/6).
Sementara itu, Ketua Dema Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Sulthan Raffi mengaku lebih setuju jika RUU KUHP dibatalkan. “Jika ada satu pasal yang cacat dari produk hukum maka RUU tersebut harus dibatalkan,” kata Sulthan, Selasa (28/6).
Salah satu mahasiswa Universitas Trilogi, Nabila M.H Mulyohartono membacakan puisi di depan Gedung DPR. Bagi Nabila, puisi tersebut merupakan bentuk ekspresi kekecewaan atas nihilnya transparansi dalam pembuatan RUU KUHP. Senada dengan Sulthan, Nabila juga memilih jika RUU KUHP dibatalkan. “Dibatalkan saja karena ada pasal-pasal yang bermasalah, seperti pembatasan untuk berpendapat,” ujar Nabila, Selasa (28/6).
RUU KUHP Merenggut Kemerdekaan Rakyat
Berdasarkan kabar yang beredar, tepat hari ini RUU KUHP akan disahkan di DPR. Kabar tersebut menyulut berbagai elemen masyarakat untuk bersuara, salah satunya Petisi Rakyat Papua (PRP), Ambrosius Mulait. Menurut Ambrosius, di negara demokrasi mestinya semua orang berhak berpendapat dan mengkritik kebijakan pemerintah.
Ambroisus juga menambahkan, perubahan RUU KUHP hanya demi kepentingan dan kesejahteraan oligarki semata. Menurutnya, perubahan RUU KUHP gagal memperlihatkan Indonesia sebagai negara demokrasi. “Jadi terlihat otoritarianisme kepemimpinan Jokowi yang semakin menjadi-jadi,” ujar Ambrosius, Selasa (28/6).
Menurut keterangan mahasiswa Ilmu Politik UIN Jakarta Fauzan, kehadiran RUU KUHP memberikan batasan ruang untuk berekspresi bagi seluruh rakyat Indonesia. Dirinya hanya berharap agar suara rakyat tak dibungkam dengan kehadiran RUU KUHP. “RUU yang di dalamnya terdapat pasal yang mengkhianati semangat reformasi Indonesia,” pungkas Fauzan, Selasa (28/6).
Reporter: Firda Amalia Putri
Editor: Haya Nadhira, Nur Hana Putri Nabila
Average Rating