Satu per satu diskriminasi agama di sekolah terbongkar. Pusarannya berada di wilayah ibukota. Dinas Pendidikan setempat perlu sistem baru.
Juli 2022. Salah satu orang tua siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 6 Jakarta, mengeluhkan anaknya yang mendapat intimidasi keyakinan. Anaknya dan beberapa teman sejawat dipaksa mengikuti mata pelajaran agama Kristen Protestan. Padahal, mereka beragama Hindu dan Budha.
6 April 2022. Sekolah Dasar Negeri (SDN) 02 Cikini Jakarta, menerbitkan surat pemberitahuan. Surat itu berkenaan dengan peraturan sekolah yang bersiap melaksanakan pembelajaran tatap muka usai libur awal bulan Ramadan. Pada peraturan poin kelima, seluruh siswa mengenakan busana muslim setiap hari, saat bulan Ramadan. Hal itu amat disayangkan beberapa orang tua siswa, karena ada yang bukan beragama Islam.
Agustus 2021. Siswa asal Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 74 Jakarta, mendapat diskriminatif busana. Guru agama memberikan tugas kepada seluruh siswa kelas tujuh dengan materi pelajaran ihwal kejujuran. Di akhir perintah penugasan, guru itu mewajibkan para siswanya untuk memotret saat mengerjakan tugas dengan memakai peci—siswa laki-laki—dan menutup aurat.
***
Pelbagai kasus di atas, merupakan beberapa data yang terhimpun oleh pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Atas dasar tersebut, pada Rabu kemarin (9/8), mereka menghelat pertemuan dengan mengundang pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta dan Asisten Kesejahteraan Rakyat DKI Jakarta.
Pertemuan yang dihelat di Gedung DPRD DKI Jakarta, membahas klarifikasi kasus diskriminasi agama dari pihak yang diundang. Adapun total pelaporan yang diterima partai banteng itu: sepuluh kasus.
Ketua DPRD Jakarta Fraksi PDIP, Gembong Warsono menggambarkan Jakarta sebagai laboratorium kemajemukan keyakinan. Tetapi dirinya menyayangkan pihaknya banyak menerima kasus diskriminasi agama di sekolah sekitaran DKI Jakarta. Gembong khawatir, bila kasus-kasus tersebut hanya bagian dari letupan kecil. “Tugas kita bersama adalah menjaga keberagaman di sekolah negeri,” ucapnya, Rabu (10/8).
Anggota DPRD DKI Jakarta Komisi E, Merry Hotma kecewa keberadaan guru agama kerap tersamping sehingga perlu mendapat perhatian lebih. Merry bersama koleganya, telah berkali-kali mengangkat kasus ini. Namun kasus kerap terpendam. Merry meminta pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta membuat sistem baru. “Sekolah negeri perlu menyediakan guru agama sesuai keyakinan murid masing-masing,” pintanya.
Peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono menuturkan bila hanya menunggu adanya kasus, penanganan bakal berjalan lamban. Pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta perlu mengumpulkan data berkenaan sekolah yang peraturannya bertentangan dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 178 Tahun 2014. “Masih banyak sekolah yang tidak ramah anak,” tegas Andreas.
Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Nahdiana sepakat mengenai adanya keberagaman di sekolah. Dirinya menjelaskan pengaturan berbusana sekolah sesungguhnya ada dalam Peraturan Menteri Nomor 45 Tahun 2014 dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 178 Tahun 2014. Dari kedua peraturan itu, model busana sekolah—seragam panjang dan pendek, berjilbab dan tidak berjilbab—tidak wajib. “Menyesuaikan agama peserta didik,” tutur Nahdiana.
Nahdiana nampak serius untuk berbenah. Kepada seluruh pihak yang hadir dalam pertemuan itu, Nahdiana menjamin sekolah mampu memberi kenyamanan dan keberagaman. “Semua pihak harus paham peraturan tentang berseragam,” pungkasnya.
Reporter: Syifa Nur Layla
Editor: Sekar Rahmadiana Ihsan
Average Rating