Tragedi Raminten: Dusta dalam Juang

Read Time:3 Minute, 33 Second
Suasana Pertunjukan drama berjudul Tragedi Raminten yang diadakan oleh Teater  ANU di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki, Minggu (9/2). Pertunjukan ini memberikan pesan bahwa kebersamaan dan gotong royonng  adalah harga mati peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia. 
Suro diro jaya ningrat lebur dening pangas tuti, rawe rawe rantas malang-malang tuntas (Semua keberanian, kekuatan, kejayaan, dan kemewahan akan dikalahkan oleh kebijaksanaan, kasih sayang, dan kebaikan yang ada di sisi lain dari manusia. Dan segala sesuatu yang merintangi maksud dan tujuan harus disingkirkan).”
Untaian kalimat perjuangan itu keluar dari mulut seorang pria tua yang mengenakan jubah hitam dengan belangkon yang menutupi rambut putihnya. “Sabar Pak, kita harus atur siasat,” jawab pria muda yang mengenakan pakaian ala pejuang 45 di sampingnya. “Betul katamu, Gil,” jawab pria tua.
“Tengah malam nanti, semua gerilyawan dan pejuang-pejuang dari seluruh pelosok negeri ini akan serentak menghancurkan benteng-benteng kompeni dan pos-posnya,” ujar Ragil memberitahu bapaknya. “Aku ikut Gil, demi kemerdekaan,” pinta Ki Bandrek pada Ragil. “Terus aku gimana,” jawab Nyi Bandrek yang juga tak mau kalah. “Bu ne hidup atau mati, kamu harus ikut berjuang,” jawab Ki Bandrek tanda mengizinkan.
Kedua pria di atas adalah Ki Bandrek dan anaknya, Ragil, serta istrinya yang bernama Inem atau akrab disapa Nyi Bandrek. Meski sudah tua, semangat Ki Bandrek untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi tak pernah pupus. Dan semangat itu menurun pada anak laki-lakinya, Ragil. Ragil adalah anak dari Inem, Istri kedua Ki Bandrek. Istri pertamanya, Brindil mati terbunuh akibat kebiadaban kompeni.
Keluarga Ki Bandrek hidup dengan penuh perjuangan untuk melawan kompeni. Namun, ternyata ada sebuah keluarga pribumi yang hidup dengan pengkhianatan. Mereka adalah Kerjo Bengek dan anaknya, Songkro. “Dasar awak waras, makannya roti campur keju, yang penting tuan kompeni telah memberi kepercayaan pada diriku. Dan yang paling pokok, Tuan Hook akan mempersunting anak angkatku yang paling cantik di kampung ini. Dan kekayaanku akan bertambah. Kro. . .Songkro. . .,” panggil Kerjo Bengek pada anaknya
Mendengar panggilan bapaknya, Songkro pun muncul dari balik pintu. “Iya Pak, ada apa tho, kok kelihatannya serius,” sahut Songkro. “Ini makan dulu, enaknya bukan main,” jawab Kerjo Bengek sembari menjulurkan mangkok yang berisi makanan pada Songkro. “Ini pasti dari Tuan Hook,” tebak Songkro sambil menerima mangkok yang berisi makanan itu. “La, siapa lagi kalau bukan dari dia,” jawab Kerjo Bengek.
Kerjo Bengek adalah duda tua yang memiliki dua anak, Songkro dan Raminten. Keluarga ini hidup berkecukupan lantaran menjadi antek kompeni. Namun tidak bagi Raminten, ia tetap berjuang untuk melawan penjajahan kompeni. Raminten adalah anak angkat Kerjo Bengek, ayah Raminten, Raden Baskoro diculik dan dibunuh oleh Kerjo Bengek atas perintah kompeni, saat itu usia Raminten baru lima tahun. Ibunya, Sandi Asmo akhirnya dipersunting paksa oleh Kerjo Bengek.
Perbincangan antara Kerjo Bengek dan Songkro berlangsung cukup lama. Keduanya berencana untuk menikahkan Raminten dengan Tuan Hook dan membunuh Ragil, karena dianggap menjadi ancaman bagi keduanya. Tak disangka, tanpa sepengetahuan Kerjo Bengek dan anaknya itu, Raminten mencuri dengar perbincangan bapak dan kakak tirinya dari balik pintu.
“Cukup, kalian berdua adalah pengkhianat bangsa. Semua rencana kalian sudah saya dengar,” ujar Raminten marah sambil menodongkan pistol kepada bapak dan kakak tirinya itu. “Sabar Nduk ada apa tho?” jawab Kerjo Bengek dengan gemetar. “Apa Dik Raminten diganggu tuan-tuan kompeni?” tanya Songkro pura-pura. “Dasar munafik,” ujar Raminten tak mau mendengar alasan mereka. “Dor. . .dor. . .”  dua butir peluru pun ditembakkan ke dada Kerjo Bengek dan Songkro.
Cerita di atas ditutup dengan kematian keluarga Kerjo Bengek dan hancurnya benteng kompeni akibat serangan para gerilyawan dan pejuang yang dipimpin oleh Ragil dan Raminten. Setelah kematian bapak tirinya, Raminten pun mengetahui riwayat asli dirinya.
Pertunjukkan teater yang berjudul “Tragedi Raminten” dipentaskan oleh teater ANU di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, memberikan pesan bahwa sifat gotong royong dan kerukunan telah melekat pada nenek moyang bangsa Indonesia sejak dulu. Pertunjukkan ini juga memberikan pelajaran bahwa dalam setiap perjuangan, seorang pengkhianat akan selalu ada.
“Di era ini mudah-mudahan menjadi contoh. Tidak ada jiwa-jiwa yang mengkhianati antara satu kelompok,” ujar sutradara sekaligus pendiri teater ANU, Joko Wahyu P, Minggu (9/2). Ia mengatakan, nama ANU merupakan singkatan dari “Aku Nunut, Urip” yang artinya “aku numpang hidup.” “Kita itu hidup hanya numpang, nggak ada yang abadi. Semua akan masuk liang lahad. Jadi, saya tanamkan, kesombongan adalah awal kehancuran dan kejujuran awal kesuksesan,” jelasnya.
Tohirin

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Penyaluran Beasiswa Bidikmisi Terlambat
Next post Elpiji Langka, Masyarakat Menjerit