Read Time:4 Minute, 7 Second
Seorang wanita berpakaian serba hitam dengan rompi berwarna emas, berdiri di tengah panggung. Ia menggerakkan tangannya bak seorang maestro yang sedang memimpin sebuah paduan suara. Mengikuti gerakan tangan sang maestro, pemain band yang berada di sisi kanan panggung mulai memainkan alat musiknya yang terdiri dari bass, gitar, dan piano.
Pemain marawis yang berada di depan band pun mengikuti gerakan tangan wanita itu dengan memainkan rebana yang dipegangnya. Hal itu juga diikuti dengan pukulan gamelan oleh pemain karawitan yang berada di sisi kiri panggung.
Saat musik belum berhenti dimainkan, muncullah tiga laki-laki dan seorang perempuan berwajah putih dengan senyum lebar di wajah mereka. Sambil menggoyangkan kedua tangan ke atas dan ke bawah, mereka menggerakkan kedua kaki ke kiri dan ke kanan sampai musik berhenti.
Alunan musik berhenti, ketika Semar mengenalkan ketiga tokoh lain sebagai anaknya satu persatu. Mereka bernama Jendil, Gareng, dan Petruk. Setelah itu, Semar duduk diikuti oleh Jendil di belakang sambil memijat bahunya. Sedangkan, Petruk dan Gareng duduk di atas lantai sambil memijat kaki Semar. Ketiga punakawan itu sesekali melontarkan kalimat pujian akan kebaikan romo-nya.
Namun, Gareng dan Petruk bertengkar memikirkan kebaikan romo-nya agar bisa dimanfaatkan sebagai ladang mendulang uang, seperti saat romo-nya menolong orang sakit. Sehingga kebaikan Semar bisa terkenal dan mereka (Gareng dan Petruk) pun bisa menjadi kaya. Semar melerai pertengkaran itu dan memberikan nasihat pada ketiga anaknya. “Menjadi orang baik itu tak harus terkenal. Berbuat baik memang akan dilupakan, tapi berbuat baik akan menyelamatkan kita,” ujar Semar sambil mengajak ketiga anaknya duduk kembali.
Di tengah perbincangan, Semar bercerita kepada ketiga anaknya tentang keberadaan ‘Kota Senja’. Dengan muka yang berseri-seri, Jendil menceritakan keindahan kota itu. Namun, Gareng menyanggahnya. Menurutnya, ‘Kota Senja’ itu tempat untuk para manusia yang berputus asa.
Di tengah pertengkaran Jendil dan Gareng, Semar memaparkan kondisi ‘Kota Senja’ yang sebenarnya. Di sana, orang yang suka menulis keburukan pemimpinnya akan dipenjarakan dan disiksa. ‘Kota Senja’ itu diibaratkan seperti dunia yang kita tempati saat ini.
Tiba-tiba lampu redup, satu persatu dari sepuluh penari Ratoeh Jaroeh naik ke atas panggung dan berjajar rapih di sana. Mereka mengenakan baju adat khas Aceh dengan dipadukan kain songket berwarna emas yang diselempangkan di bahu. Irama dari rebana yang ditabuh oleh Syekh, menjadi penanda tarian itu dimulai. Perlahan, gerakan mereka yang pada awalnya lambat menjadi cepat mengikuti ritme rebana.
Setelah pementasan Ratoeh Jaroeh selesai, Petruk memuji penampilan yang baru saja ditampilkan. Namun, dengan muka yang masam, Jendil mengatakan jika jaman sudah berkembang maka selera musik pun seharusnya berkembang.
Seketika, Jendil pun menyanyikan lagu Sweet Child O’ Mine dari Gun n’ Roses. Selesai Jendil menyanyikan ‘lagu barat’ tersebut, Gareng berkata, kalau itu bukan kesenian asli Indonesia. Menurutnya, kesenian yang ‘adem’ itu berasal dari Jawa. Lalu, lagu Lir Ilir yang berasal dari Jawa Tengah pun mengalun.
Pertengkaran tentang kefanatikan terhadap budaya pun terus berlangsung. Petruk yang menyukai lagu Sunda tak mau kalah. Ia pun langsung menyanyikan lagu berbahasa Sunda walau azan sedang berkumandang.
Perdebatan terus berlanjut. Jendil mengatakan, manusia akan maju jika mengikuti budaya luar (Barat). “Kan ada istilah akulturasi yang artinya proses perkawinan antar budaya. Jadi kita jangan mengikuti budaya nenek moyang yang sudah tidak sesuai,” ucap Jendil diikuti dengan suara gemuruh yang sangat keras. Mereka ketakutan dan mencari romo, namun ia tidak ditemukan.
Lampu kembali redup, tiba-tiba Semar sudah ada di tengah-tengah panggung sambil memegang koran dan berkata, ”Kehidupan adalah suatu keberkahan, jadi jalani saja.” Tiba-tiba, tiga punakawan datang dan mencari romo-nya.
Ketiga punakawan itu akhirnya bertemu Semar yang beberapa waktu hilang. Mereka memeluk romo-nya secara bersamaan. Dengan muka yang kesal Semar berkata, “Kalian mencari aku karena ada maunya saja. Kalian itu banyak bicara tapi sedikit berbuat. Kita (punakawan) datang ke sini untuk membantu orang lain dan menghibur yang sedih.” tegasnya.
Masih dengan nada yang kesal, Semar mengatakan, manusia jangan memperdebatkan soal budaya saja. Banyak masalah yang perlu diperhatikan, misalnya kemiskinan dan ketidakpedulian terhadap rakyat kecil. Di akhir pementasan, Semar dan ketiga anaknya menyanyikan lagu Dunia Sandiwara diiringi musik dari pemain band.
Pertunjukan drama musikal yang berjudul “Nyanyian Punakawan” ini merupakan sebuah pementasan kolaborasi antar anggota Pojok Seni Tarbiyah (POSTAR). Di antaranya band, karawitan, degung, marawis, paduan suara, tari Ratoeh Jaroeh, dan tari kontemporer. Pertunjukan ini diadakan di Hall Student Center (SC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sabtu (13/9) malam.
Sutradara drama musikal “Nyanyian Punakawan”, Mabruroh, mengatakan tujuan dari pementasan ini untuk menyadarkan khalayak agar peka terhadap permasalahan yang sedang dialami oleh orang lain.
Selain itu, kesenian-kesenian yang diselipkan dalam drama bertujuan untuk memberitahu kepada khlayak, jangan hanya mencomotkebudayaan dari nenek moyang saja. “Kita juga harus menciptakan kebudayan kita sendiri tanpa harus menghilangkan budaya nenek moyang,” jelas mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Sabtu (13/9).
Pementasan drama musikal “Nyanyian Punakawan” itu disaksikanoleh 400 orang. Salah satu pengunjung, Faridatul Amania mengatakan, pementasan yang diadakan oleh POSTAR sangat seru. “Pesan yang ingin disampaikan pun dapat dimengerti dan dipahami oleh penonton,” ujar mahasiswi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (PIPA), Sabtu (13/9).
AS
Average Rating