Selanjutnya, peran masyarakat tak kalah penting dalam mencegah pertambahan jumlah kaum LGBT. Masyarakat jangan mendiskriminasi atau bahkan melakukan kekerasan terhadap kaum LGBT, yang justru akan membuat mereka membentuk kelompoknya secara masif dan terus mempropagandakan golongan mereka.
*Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris FAH UIN Jakarta
Read Time:3 Minute, 3 Second
Oleh Alfarisi Maulana*
Nilai-nilai sosial, agama, dan budaya yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum bisa menerima keberadaan kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender(LGBT). Stigma negatif pun tak dapat dihindari dari kelompok ini, bahkan banyak di antara mereka yang kerap mengalami perlakuan diskriminatif dalam kehidupan masyarakat.
Stigma negatif dan pengasingan terhadap mereka tanpa upaya memperbaiki perilakunya malah akan mempersulit untuk mendata jumlah mereka. Akibatnya, langkah-langkah untuk mengatasi, baik secara psikologis, sosial, maupun biologis akan semakin sulit. Perlakuan masyarakat membuat mereka merasa dikucilkan.
Sampai saat ini, jumlah kaum LGBT di Indonesia tidak diketahui dengan pasti. Berdasarkan estimasi Kementerian Kesehatan pada 2012, terdapat 1.095.970 gay, baik yang tampak maupun tidak. Lebih dari lima persennya (66.180 orang) mengidap penyakit menular seksual. Sementara, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa memprediksi jumlah LGBT jauh lebih banyak, yakni tiga juta jiwa pada 2011.
Secara teoretis, sosiolog Erving Goffman mengatakan sikap masyarakat yang tak mudah menerima perbedaan orientasi seksual akan membuat tingkat depresi LGBT meninggi. Pola stigma yang berkepanjangan akan membuat mereka mengalami gangguan mental. Akibatnya, mereka akan terus melakukan perilaku yang menyimpang itu.
Teori tersebut menunjukkan LGBT muncul karena dampak sosial masyarakat yang frontal menolak keberadaan mereka. Lebih dari itu, hasil penelitian Paul Cameron di Family Research Institute menjelaskan perilaku homoseksual dapat terjadi karena korban sebelumnya pernah disodomi, pendidikan yang pro-homoseksual, serta penanaman pemahaman perilaku homoseksual sebagai hal yang normal.
Berangkat dari hal tersebut, penularan perilaku homoseksual dewasa ini lebih kepada motif kognitif yang menekankan bahwa perilaku LGBT merupakan sesuatu yang sah-sah saja. Terbukti dai terungkapnya kasus prostitusi 99 anak di kawasan Puncak, Bogor (31/8) yang lalu cukup mengejutkan banyak khalayak.
Sang germo berinisial AR merekrut 99 anak itu dengan cara menjelaskan secara intens bahwa menyukai sesama jenis merupakan hal yang lazim dilakukan. Hingga akhirnya, 99 anak yang seluruhnya di bawah 16 tahun itu terjebak dalam lingkaran prostitusi online.
Terlepas dari kasus tersebut, menurut saya keberadaan LGBT dirisak karena adanya kelompok masyarakat beraliran esensialisme. Kelompok ini melihat bahwa jenis kelamin serta orientasi dan identitas seksual merupakan kodrat manusia, sehingga tidak boleh diubah.
Keberadaan kelompok esensialisme ini memberikan pengaruh dan dampak sosial dalam masyarakat. Sebagian besar masyarakat Indonesia masuk dalam kelompok ini dalam menyikapi perilaku seksual itu. Sehingga, banyak yang menganggap LGBT sebagai sebuah penyimpangan.
Dalam padangan saya, ada pula masyarakat yang beraliran konstruktif. Masyarakat ini melihat jenis kelamin dan orientasi seksual tercipta karena adanya konstruksi sosial yang bersifat dinamis. Secara tidak langsung, kelompok ini memandang kehidupan sosial bisa memengaruhi orientasi seksual seseorang.
Saya tidak pernah mendengar kalau LGBT diterima ajaran agama dan mudah diterima nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat manapun. Meski demikian, bukan berarti kaum LGBT harus mendapatkan perlakuan semena-mena. Sebagai bagian warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mereka juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga lainnya sesuai dengan konstitusi kita.
Bagi saya, LGBT pun mempunyai hak hidup yang semestinya tidak kita nistakan secara brutal. Kita yang heteroseksual menolak tindakan mereka seharusnya dengan jalan yang baik dan terarah. Tidak sepakat dengan keputusan para homoseksual, bukan berarti kita harus menyakiti atau menjauhinya.
Peran keluarga dan masyarakat sangat penting dalam upaya untuk mengurangi jumlah kaum LGBT di Tanah Air. Dari sisi keluarga, orang tua harus terus menanamkan nilai-nilai agama yang kuat kepada anak-anak mereka. Harmonisasi keluarga juga menjadi penting dalam membentuk karakter anak, sehingga kasus 99 anak tersebut diharapkan tidak terjadi lagi di masa mendatang
Average Rating