Mahasiswa Tidak Boleh Patah Hati

Read Time:3 Minute, 16 Second

Oleh: Ayu Alfiah Jonas

Ditinggalkan atau meninggalkan—sebenarnya—perkara biasa bagi manusia. Namun, bekasnya tak lagi menjadi biasa apabila kesakitan tersebut mengendap dalam satu organ tubuh manusia yang diberi nama hati. Seseorang yang sedang patah hati biasanya kerap kehilangan akalnya, bahkan seperti menjadi zombie, sama sekali tak nampak hidup. Jika situasi ini dialami mahasiswa dan kemudian ia menikmatinya, maka bukan saja diri sendiri yang akan hancur, bahkan—bisa jadi—negara pun akan menemui kehancurannya.

Bagaimana tidak, selama menikmati ke-patah hati-annya, si mahasiswa tidak akan ragu untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban. Ia takkan lagi membaca buku, berdiskusi, dan bahkan enggan berangkat kuliah jika patah hati yang dialaminya terlalu kronis. Padahal sudah cukup sesak kampus-kampus di negeri ini dipenuhi dengan orang-orang yang hanya butuh gelar, tanpa perlu belajar.

Banyak hal yang jauh lebih penting ketimbang memilih untuk menikmati patah hati. Kita sama-sama tahu, betapa banyak persoalan di negeri ini yang belum selesai, muncul lagi, bertambah banyak, menumpuk, dan akhirnya ditinggalkan lalu menjadi tak terselesaikan.

Ambillah satu kasus dalam minat baca. Berdasarkan survei UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai angka 0,001 persen. Artinya, dalam seribu masyarakat hanya ada satu masyarakat yang memiliki minat baca. Dalam tugas yang diemban di punggungnya sebagai penyambung lidah antara pemerintah dan rakyat, kenyataan ini seharusnya menjadi beban berat bagi mahasiswa.

Sebagai mahasiswa, tak semua masalah bisa diselesaikan oleh tangan sendiri. Mental mudah patah hati ini berkaitan dengan tiga masalah mental yang menjalari seluruh aspek di kehidupan negeri ini. Sayangnya, ketiga hal ini kerap dianggap biasa bagi masyarakat.

Pertama, penduduk Indonesia masih tercengkeram dalam lingkaran feodalisme. Kita semua mengerti bahwa feodalisme mengagung-agungkan jabatan atau pangkat, bukan mengutamakan prestasi kerja. Banyak orang terjerembab ke dalam satu bentuk kepatuhan semu semata. Ia akan menuruti apa saja perintah atasannya, atau orang yang mempunyai peran dalam lingkungannya tanpa perlu bertanya sisi positif dan negatif dari perintah tersebut, tak jarang bahkan hanya demi uang. Sama halnya dengan kondisi patah hati yang terus menerus menjalani kegalauan hanya karena percaya pada satu keyakinan bahwa ada cinta di dalam hatinya.

Selanjutnya tentu saja KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang terlalu mendarah-daging. Praktek korupsi berjamaah menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Virus korupsi seolah ada dalam pembuluh darah tiap penguasa di negeri ini. Keadaan ini tentu lebih krusial ketimbang kasus Kopi Sianida. Tapi toh, mahasiswa sekarang lebih menyukai kasus yang dilebih-lebihkan tersebut ketimbang menengok sudah seberapa tangguh negara melawan korupsi? Praktek ini bahkan menjalari organisasi-organisasi yang seharusnya jadi titik tumpu bagi perkembangan negara. Pengkaderan bukan dilakukan untuk meningkatkan kualitas diri, akan tetapi menjadi modal untuk memupuk kekuasaan. Baik itu kekuasaan yang di bawah dan yang di atas, atau yang di samping dan yang di depan. Bendera mana yang menaunginya, di situlah kekuasaan akan menjamahnya. Tanpa perlu menunjukkan kualitas diri.

Terakhir marilah sebut saja dengan Primordialisme Primitif. Primordialisme akan memandang, memahami, dan memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil. Baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya. Paham ini berkembang sampai pada satu titik dimana ia akan mengajak seseorang, dalam hal apapun, berdasarkan darimana ia berasal atau asal-usul daerah orang tersebut. Berdalih menyelamatkan saudara. Hal ini tentu semakin membuat mental bangsa kita menjadi semakin tidak jelas. Bagaimana mungkin seseorang, hanya dengan asal daerah yang sama, bisa terlibat dalam hal apapun, dimanapun, setidak-penting dan sepenting apapun hanya dengan menunjukkan asal daerahnya.

Terlepas dari apapun, kegelisahan seharusnya muncul di tiap-tiap kepala mahasiswa. Negara ini sedang patah sepatah-patahnya. Ia dikangkangi berbagai macam ketidak-jelasan. Ditambah dengan mental mudah patah hati dan ketiga penyakit mental di atas, lengkap dengan keinginan mendapatkan apapun dengan instan. Mari kuatkan tubuh dengan menolak dan membuang jauh-jauh segala penyakit mental tersebut dan berjuang tanpa perlu mengeluh. Mahasiswa mesti lebih berperan aktif dalam hal apapun dengan menjadi dirinya sendiri.

Bagaimana? Masih mau berkabung dalam patah hati dengan kondisi mental bangsa yang kerdil seperti ini?

*Mahasiswi Aqidah Filsafat, FU, UIN Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Sanksi KPI Tak Memberikan Efek Jera
Next post Kopi dan Ayah