Read Time:3 Minute, 24 Second
*Oleh: Muhammad Yusuf el-Badri
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tengah berupaya untuk mewujudkan kampus berkelas dunia atau world class university. Pembangunan gedung perkuliahan terus digenjot. Pembukaan wawasan kontemporer tentang dunia Islam saban hari juga diperbarui. Pelayanan senantiasa ditingkatkan. Kampus juga mendorong penguasaan mahasiswa terhadap bahasa asing, bahasa Arab dan Inggris melalui rujukan jurnal berskala internasional, yang umumnya berbahasa Arab dan Inggris. Bahkan untuk mahasiswa Sekolah Pascasarjana diharuskan lulus matakuliah bahasa asing selain Arab-Inggris.
Sejak 2013, ketika memulai perkuliahan di Sekolah Pascasarjana hingga sekarang, 2018 ketika masih menjadi mahasiswa, saya merasakan betul perubahan itu terjadi. Saya juga ikut menikmati iklim akademik yang mendunia, di mana temuan-temuan penelitian, tesis dan disertasi mahasiswa tak kalah baik dibanding temuan penelitian mahasiswa dan kampus negara lain.
Dari sekian banyak perubahan yang terjadi dan iklim akademik yang terus bergerak maju, ada satu hal yang terlupakan oleh civitas akademika, yakni kemampuan membaca. Minat baca mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak perlu diragukan. Dibanding dengan kampus lain yang ada, minat baca civitas akademika Ciputat (baca; UIN) barangkali masih dalam posisi terbaik. Buktinya, tak sedikit intelektual Ciputat, baik mahasiswa maupun dosen, yang ikut dalam kontestasi wacana keindonesiaan. Sekali lagi, hal ini karena iklim akademik yang sudah terbentuk dengan baik.
Lalu kemampuan membaca apa yang saya maksud? Yakni kemampuan membaca dalam arti memahami. Mungkin saja banyak yang bisa membaca dan mengerti, tapi tak banyak yang memahami dan menjadikan pemahaman itu sebagai sikap hidup dan tindakan. Begitu kira-kira disebutkan Gadamer.
Realitas mahasiswa UIN tidak bisa membaca dapat kita lihat dalam keseharian kampus. Sebagai contoh sederhana, tentang petunjuk kunjungan di Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah. Dalam rangka peningkatan pelayanan, Perpustakaan Sekolah Pascasarjana melengkapi Perpustakaan dengan tas dan sandal bagi pengunjung. Setiap pengunjung Perpustakaan diharuskan mengganti tas dan alas kakinya dengan tas transparan dan sandal yang tersedia di loker Perpustakaan dan dikunci.
Di masing-masing pintu loker ada peringatan agar pengunjung meletakkan kembali tas transparan dan sandal diletakkan kembali ke dalam loker. Selain peringatan ini, di sebuah meja, juga tertera tulisan petunjuk yang isinya Mohon Taruh Kembali Tas, Kunci dan Sandal di Loker. Tulisan ini dibuat dengan pena tinta merah. Ini tidak hanya berarti imbauan tapi juga peringatan yang keras dan jelas.
Adanya imbauan dan bahkan peringatan keras itu adalah upaya keras dari patugas Perpustakaan untuk menjaga kebersihan dan kerapian. Anda tau apa yang terjadi? Tas transparan dan sandal Perpustakaan justru berserakan di ruang penitipan atau tempat loker berada, bahkan di atas tulisan petunjuk atau peringatan keras itu. Tas Tranparan, sandal dan loker yang terbuka, menjadi pemandangan yang menyehari di Perpustakaan Sekolah Pascasarjana. Hal itu senantiasa terjadi setiap hari dan gonta-ganti pengunjung selama jam kunjungan perpustakaan masih dibuka.
Apa daya petugas Perpustakaan. Mereka telah berupaya memberi petunjuk dan pelayanan. Kadang ada rasa iba pada petugas Perpustakaan itu karena mereka harus menyusun kembali tas transparan dan sandal itu saban waktu dan akhirnya menyerah karena setiap detiknya pengunjung Perpustakaan mengabaikan petunjuk dan peringatan itu.
Eh emang siapa yang sering mengabaikan petunjuk itu dan membuat loker menjadi sembraut? Pelakunya itu lho, siapa? Mereka adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, civitas akademika kampus yang tengah berjalan menuju universitas kelas dunia. Kadang sebagai pengunjung saya sempat berfikir, bagaimana mungkin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta akan menjadi universitas kelas dunia, kalau hal kecil seperti kerapian dan kepatuhan akan petunjuk atau rambu-rambu masih sering terabaikan.
Terlebih lagi adalah bagaimana kita bisa berharap pada tesis dan disertasi, hasil penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta membaca dunia dan dibaca dunia, bila pikiran sudah sumpek ketika baru saja datang ke perpustakaan karena dihadapkan pada loker yang semberaut. Tak ada ketenangan lagi di perpustakaan, tempat di mana mahasiswa membuat tesis dan disertasi berkelas dunia.
Kesan saya, satu tahun terakhir ini, Perpustakaan Sekolah Pascasarjana telah menjadi perpustakaan umum di mana setiap orang dapat masuk tanpa perlu kartu perpustakaan dan melewati pintu pustaka tanpa pemindai. Selain pemindai yang telah rusak sejak lama dan belum ada perbaikan, mahasiswa yanng tidak bisa membaca petunjuk dan peringatan demi kerapian dan ketenangan, menjadi faktor utama hilangnya ketenangan ketika mengunjungi perpustakaan Sekolah Pascasarjana. Wallahu A’lam bis Shawab.
*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Average Rating