oleh: Firda Amalia Putri*
Menurut Tap.MPR No.XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, bahwa hak asasi manusia adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang, melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Sementara menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) HAM adalah pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia.
Dalam sejarahnya negara-negara Barat mulai menyerukan pentingnya hak dan keamanan manusia setelah berakhirnya perang dunia ke- 2. Untuk itu tidak lama setelah perang usai tepatnya pada tanggal 10 Desember 1948, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mengeluarkan Universal Declaration of Human Rigths (UDHR) atau kalau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Hingga saat ini setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari HAM sedunia.
Jika ditarik lebih jauh lagi lahirnya HAM paling banyak diketahui publik yaitu Deklarasi Magna Charta, yang diyakin sebagai asal mula HAM berdiri. Lahirnya Magna Charta dikarenakan pada saat itu tidak ada hukum yang pasti dan adil ketika para raja bisa berbuat seenaknya terhadap rakyat. Masa itu juga dikenal dengan masa di mana seorang raja kebal akan hukum. Untuk menghentikan ketimpangan ini diperlukan suatu legalitas yang mengatur mengenai nilai-nilai kemanusiaan hingga akhirnya pada 1215 Inggirs mengeluarkan piagam yang dinamai Magna Charta. Setelah itu mulai lahir deklarasi-deklarasi yang serupa terkait pembahasan HAM ini.
Seperti yang kita ketahui terdapat silang pendapat mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). Terlebih terhadap dunia Islam yang menganggap HAM adalah produk Barat dan memiliki nilai-nilai yang bertentangan dengan hukum syariah Islam.
Gesekan antara HAM dengan hukum Islam terjadi ketika perbedaan pemikiran dan keyakinan bertemu, yaitu keyakinan umat Islam terhadap sumber utama mereka. Tidak lain adalah al-Qur’an dan hadits. Keyakinan inilah yang membuat mereka menolak hukum-hukum positif yang dibuat oleh manusia. Hal ini menyebabkan perbedaan yang menimbulkan gesekan di mana mereka menganggap bahwa HAM adalah produk manusia yang justru akan menjauhkan dari ajaran agama bahkan bertentangan dengan hukum syariah Islam.
Ada beberapa pasal dalam DUHAM yang tidak selaras atau bertentangan dengan ajaran Islam, yakni pasal 16 ayat 1 dan 2 yang membahas tentang kebebasan dalam mencari jodoh, perkawinan, dan perceraian. Pasal 18 tentang kebebasan berganti agama. Islam jelas tidak membolehkan hubungan sesama jenis. Dalam hukum Islam juga tidak membenarkan seseorang yang murtad atau berganti agama, sedangkan dalam DUHAM hal-hal tersebut merupakan bagian dari hak manusia. Inilah penyebab dari pertentangan atau gesekan antara HAM dengan hukum Islam.
Perlu diketahui terkait orang murtad hukumnya dibunuh tidak ada dalam al-Qur’an sebagai sumber utama umat Islam, lalu dari mana datangnya perkataan ini. Yaitu dari hadis sebagai sumber kedua umat Islam setelah al-Qur’an. Hadits tersebut mengatakan ”siapa yang berganti agamanya, bunuhlah ia” (HR. Bukhari 3017, Nasai 4059, dan yang lainnya). Lantas apakah karena berasal dari riwayat Bukhari hadits tersebut sahih sehingga bisa dijadikan ketetapan untuk menghalalkan darah orang lain? tentu saja tidak, karena hukum Islam tidak sesederhana itu.
Banyak pemikir Muslim yang ikut merespon terkait hal ini salah satunya adalah Mohammad Hasmin Kamali, Profesor hukum Islam, International Islamic Univesity of Malaysia. Kamali mengatakan sejumlah pemikir Islam generasi salaf yang berpendapat bahwa, orang yang keluar dari Islam tidaklah diganjar dengan hukuman mati. Melainkan mesti terus menerus diberi kesempatan untuk kembali ke Islam, karena selalu ada harapan bahwa mereka akan berubah pikiran dan bertobat.
Hal serupa diungkapkan oleh pemikir Islam asal Sudan, Abdullahi Ahmed an-Na’im yang mengajukan keberatan terkait persoalan riddah ini. Menurutnya justru hukuman mati bagi seorang murtad dinilai melanggar hak asasi kebebasan beragama yang didukung oleh al-Qur’an sendiri dalam sejumlah ayatnya. An-Na’im juga menyarankan agar aturan syariah klasik tentang sanksi riddahini disesuaikan dengan hukum internasional modern yang dicanangkan menjadi hukum publik umat manusia demi keadilan dan perdamaian dunia.
Lain hal dengan ulama nasionalis Indonesia, Buya Hamka yang terang-terangan tidak sepakat dengan pasal 16 dan 18 DUHAM PBB. Dalam keterangannya yang dimuat oleh Republika, Hamka mengatakan dirinya tidak dapat menerima pasal tersebut karena ia orang Islam. Sumber Islam adalah al-Qur’an dan hadits, menurut Hamka ia baru bisa menerima ketika ia tidak lagi menjadi orang Islam atau meninggalkan ketetapan syariat Islam.
Tentu Hamka bukan satu-satunya pemikir Muslim yang menolak DUHAM. Masih banyak kalangan dan pemikir Muslim yang menolak HAM. Salah satu alasannya seperti yang sudah disebutkan di atas, yaitu penetapan standar universal HAM dalam prespektif Barat bersifat anthroposentris, yang berarti manusia sebagai titik tolak dari semua pemikiran dan perbuatan. Sementara dalam ajaran Islam bersifat theosentris (ketauhidan).
Gesekan ini menyebabkan dunia Islam pada akhirnya mengakui hak asasi manusia dengan syarat sesuai pada syariat Islam. Untuk itulah pada tahun 1990 kurang lebih 47 negara Islam merumuskan Deklarasi Kairo yang isinya memuat tentang HAM sesuai syariat Islam. Banyak pakar HAM dan hukum yang merasa bahwa hal ini terlalu berlebihan karena pada dasarnya HAM dan Islam sudah kompatibel. Namun tidak bisa dipungkiri juga tetap masih ada negara-negara Muslim yang ingin menegakkan negaranya berdasarkan syariah. Bahkan penolakan penuh HAM pernah dipresentasikan oleh negara Arab Saudi dan Iran.
Penulis buku Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, Mashood A. Baderin menjelaskan bahwa meskipun Islam tidak menjadi faktor tunggal dalam merealisasikan HAM di negara-negara Muslim. Namun ia tetap menjadi faktor penting sebagai sarana konstruksi guna memperbaiki situasi HAM di negara-negara Muslim, untuk menerapkan hukum Islam sebagai hukum negara.
Dalam pandangan Mashood, prespektif harmoni ternyata sangat membantu untuk menggunakan Islam sebagai kendaraan untuk merealisasikan HAM di dunia Muslim. Dalam konteks pendekatan sosial-budaya dan politik-hukum, guna mewujudkan dan melindungi HAM secara umum. Namun Mashood juga beranggapan ini adalah suatu tantangan begaimana hukum Islam dipresentasikan dalam HAM.
Hal serupa disampaikan oleh Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy (wafat 9 Desember 1975) dalam pidatonya tentang hak-hak asasi berdasarkan syariat Islam, yang disampaikan pada saat sidang Konstituante RI tahun 1958 yang kemudian dibukukan dengan judul Islam dan HAM. Hasbi mengatakan tidak dapat diragukan lagi bahwa memelihara hak-hak manusia adalah usaha yang sangat berbekas dan efektif untuk memelihata kehormatan kemanusiaan dan untuk membasmi prinsip-prinsip yang merusakkan. Kemerdekaan, perdamaian, dan memelihara hak-hak manusia, ketiganya menjadi tiang pembangunan dan alat kemajuan.
Terdapat kalimat yang menarik dalam buku Studi Islam Kontemporerkarya M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk. Bahwasanya di saat Barat sangat konsentrasi terhadap isu perubahan , di saat yang bersamaan, di dunia lain, umat Islam cenderung menolak dan berpretensi terhadap perubahan. Penolakan terhadap keragaman dan pluralitas itu sebagai konsekuensi dari teologi monoteisme, percaya pada satu Tuhan. Kesalahan konsepsi semacam ini memunculkan distrosi lain tentang manusia, risasalah Islam, dan sejarah.
Pemahaman statis terhadap Islam telah mereduksi keragaman. Padahal semestinya, tidak semua yang beda adalah menyimpang. Umat Islam tidak mungkin dapat hidup dengan satu sistem yang mereka yakini sebagai satu-satunya sistem yang dapat mengantarkan mereka pada kesuksesan. Sejarah Islam telah membentang bahwa umat Islam terdahulu, mereka berbeda pendapat, berselisih dalam membangun kehidupan manusia dengan maksud dan tujuan sama, yaitu menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih baik. Keragaman ini tidak bisa dinafikan karena ia adalah bukti sejarah yang tidak terbantahkan dan pluralitas kehidupan sosial umat adalah sebuah keniscayaan.
*Penulis merupakan mahasiswi program studi Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Average Rating