Tato dan asap rokok bertebaran di sekujur tubuh mereka. Beberapa di antaranya masih anak-anak hingga remaja. Mereka, sekumpulan anak punk jalanan yang dulunya berkeliaran di Tebet, Jakarta Selatan. Bangunan bertingkat tiga inilah yang menjadi saksi bisu para punk jalanan berpulang pada jalan kebenaran: mengaji bersama punk lainnya.
Di depan pintu masuk tampak sejumlah pengunjung mengantre memasuki ruang pameran dan seminar fotografi. Selain itu keberadaan kafe yang nyaman dan harganya yang ramah kantong, membuat pengunjung betah berlama-lama. Melangkahkan kaki ke lantai dua, mata langsung dimanjakan dengan susunan rapi buku lawas, beberapa ukiran kaligrafi yang indah serta sebuah ruangan yang penuh bingkai wajah Gus Dur bernama Pojok Gus Dur.
Pameran foto bertajuk Santri dan Kemanusiaan: Suluk dan Jalan Pulang diinisiasi oleh para anak punk. Mereka bernaung dalam atap komando pendiri Tasawuf Underground, Halim Ambiya, yang kerap disapa Buya Halim. Pameran foto ini berlangsung dari 11—19 Februari 2022. Di sini para pengunjung tidak hanya disuguhkan oleh pajangan foto, melainkan juga dengan seminar fotografi yang tentunya mengundang berbagai narasumber dari Pewarta Foto Indonesia (PFI) sub Jakarta.
Ketua Pelaksana, Emil, bukan nama sebenarnya, mengungkapkan rasa syukur atas berlangsungnya acara pameran secara lancar. Persiapan pameran memakan waktu singkat selama 14 hari, sempat membuat Emil cukup berdebar-debar. Untung saja kerja sama yang terjalin baik membuat semua persiapan jadi sempurna, “kami tidak berfokus kepada pameran saja, anak-anak di sini tetap membagi tugas karena pondok ini memiliki unit usaha seperti kafe dan penantu,” tutur Emil pada Minggu (13/2).
Kata Emil, tema besar pameran ini merupakan buah gagasan Buya Halim. Gagasan itu sebagai gambaran para santri punk yang dahulu tidak terarah dan asing oleh keadaan. Bahkan sering dianggap masalah sosial. Namun kini berubah signifikan usai berproses meniti cahaya jalan pulang, kembali ke pangkuan orang tua, kerabat tercinta dan Tuhan sebagai tujuan akhirnya.
Foto-foto yang terpampang di pameran ini merupakan perpaduan karya para jurnalis dan santri-santri di Tasawuf Underground. Salah satu Kontributor Pameran, Bintang, mengatakan ia sama sekali tidak paham teknik fotografi. Namun hasil jepretannya semata-mata lahir dari titah Buya untuk memotret kejadian, “tentunya senang karena awalnya saya tidak pernah menyangka karya saya menjadi salah satu yang dipilih Buya,” ujar Bintang, Minggu (13/2).
Sama seperti Bintang, Windi Cokno Pajna Saputra yang kerap disapa Doy, menceritakan pengalaman mencari objek selama proses pencarian foto. Itu cukup sulit bagi Doy. Kendala itu juga ia rasakan ketika mengoperasikan kamera untuk pertama kalinya, “selama proses itu ada salah satu komunitas fotografi yang membantu saya dan teman-teman,” ucapnya pada Minggu (13/2).
Di dalam jepretan, Doy menampilkan seorang anak perempuan bernama Amel yang sedang menemani ibunya mengumpulkan kardus bekas demi pundi rupiah dan sesuap nasi. Doy kemudian menamai fotonya dengan “Cinta Kasih Sisi Lain Kehidupan”. Foto jepretan Doy dapat ditemui pengunjung saat pintu masuk utama pameran.
Salah satu pengunjung pameran, Rifa mengaku sangat terpukau dengan pameran dan sejarah berdirinya Pondok Tasawuf Underground. Baginya pameran ini sangatlah unik dan langka karena ia baru pertama kali melihat pameran yang tidak hanya dikelilingi seniman melainkan juga anak Punk, “selain menikmati pameran foto, saya terkesima dengan foto-foto yang di pampang,” pungkasnya pada Minggu (13/2).
Reporter: Silva Hafsari
Editor: Syifa Nur Layla
Average Rating