Kaligrafi Tak Sebatas pada Lukisan

Read Time:2 Minute, 3 Second

Suasana malam di ruang Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM) seolah dimanjakan dengan suara lantunan dzikir yang bergema dengan halus. Lantunan dzikir tersebut berasal dari salah satu karya seni rupa karya Hardiman Rajab, seniman lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), yang berjudul Number Five.

Number Five merupakan salah satu seni rupa berbentuk kubus dengan tutup terbuka. Di dalamnya, terdapat gramophone –alat pemutar musik- yang dilengkapi dengan kakbah tiga dimensi di tengah piring phonoghraph. Gramophone tersebut menggambarkan keadaan Masjidil Haram yang dipenuhi orang berthawaf.

Berbeda dengan pameran kaligrafi tahun lalu yang hanya menyajikan kaligrafi dua dimensi saja, penyelenggara pameran tahun ini menyajikan karya seni rupa tiga dimensi. Alasannya, praktisi seni rupa ingin menggali dan memahami arti kesenian kaligrafi. Pameran seni rupa kaligrafi dua dan tiga dimensi tahun ini bertema Hikmah Ramadhan.

“Penonton dan seniman tahun lalu menyarankan agar tidak terbatas pada karya seni kaligrafi, tetapi juga karya seni rupa yang lebih beragam,” kata Dick Syahrir, ketua pelaksana Pameran Seni Rupa Kaligrafi, Jumat (18/7). Penyelenggara memamerkan 60 karya seni rupa, 6 di antaranya karya seni tiga dimensi.

Menurut Dick, respon positif banyak yang datang dari pengunjung membuat ia bekerja sama dengan para seniman dari beberapa perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pameran kaligrafi. Ia menghadirkan 36 peserta dari IKJ, ITB, UIN, UNJ, dan rekannya yang otodidak menghasilkan karya.

Karya seni rupa tiga dimensi lain terletak di tengah ruangan terlihat mencolok. Patung tersebut berbentuk sapi yang badannya dipenuhi handphone-handphone bekas. Karya seni rupa ini diberi nama The Second God karya Yana WS.

Pembuatan patung ini, kata Dick, menjadi bentuk kritik sosial Yana terhadap masyarakat zaman sekarang. Sapi tersebut dikonotasikan sebagai tuhan karena handphone dan peralatan elektronik lainnya telah didewakan dan menjadi candu bagi masyarakat saat ini.

Selain itu, di sudut lainnya terpampang lukisan berjudul Kupu-kupu yang Berdzikir karya Dick Syahrir. Lukisan ini dibuat untuk menyampaikan rasa kekecewaan terhadap pembangunan gedung besar di tempat tinggalnya. Ia menceritakan, dahulu di Cengkareng, banyak sekali kupu-kupu dan kunang-kunang. Tetapi, karena adanya pembangunan gedung real estate, serangga tersebut menghilang.

“Ide dasar lukisan saya adalah kupu-kupu. Dalam membuat kaligrafi ini, Saya mengambil sampel kupu-kupu dan pola hias sekitar sayapyang disederhanakan. Pembuatan kaligrafi ini sama sekali tidak direncanakan,” katanya.


Salah satu pengunjung, Leon Agusta, berpendapat, pameran kaligrafi ini telah menghadirkan ragam seni rupa yang tidak sekedar lukisan saja. Menurutnya, pada tahun 1970, kaligrafi masih bersifat tradisional dan terikat pada tulisan arab dari ayat Al-Quran, sedangkan sekarang kaligrafi menghadirkan bentuk-bentuk lain dalam karya seni.

RR

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Kenalkan OJK pada Masyarakat dan Mahasiswa
Next post Monolog Politik: Di Balik Topeng Sang Wakil Rakyat