Mati Segan Hidup Tak Mau

Read Time:3 Minute, 53 Second
Ilustrasi
Sebagai organisasi pendukung menuju universitas riset, kondisi UIN Jakarta Press tak terurus karena tidak termasuk dalam struktur formal. Lantas, bagaimana cita-cita UIN Jakarta menjadi universitas berbasis riset?

Terhitung sejak 2003, UIN Jakarta ingin bergeser dari teaching university menjadi research university atau universitas riset. Bagi universitas riset, kegiatan riset dan publikasi karya tulis dosen menjadi prioritas.

Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Azyumardi Azra, me-nyatakan untuk mewujudkan UIN Jakarta menjadi universitas riset, kampus harus mampu menerbitkan artikel ilmiah dosen baik di dalam maupun luar negeri. Karenanya, perlu penda-naan yang lebih besar dan teratur untuk penerbitan di UIN Jakarta.

Sama halnya Azra, Direktur Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta, Irfan Abubakar, mengungkapkan publikasi ilmiah merupakan jendela bagi perguruan tinggi. Riset dan publikasi ilmiah menjadi  tantangan terberat UIN Jakarta ke depan. “Makanya, UIN perlu mengevaluasi dua hal tersebut,” kata Irfan, Rabu (1/10).

Alih-alih menjadi universitas riset, UIN Jakarta Press sebagai organisasi pendukung malah tidak termasuk dalam struktur formal. Hal ini, mengakibatkan UIN Jakarta Press minim staf dan karya karena tak mendapat dana operasional. Terlihat dari jumlah terbitan yang  tidak menentu di setiap tahun.

Berbeda dengan UIN Jakarta, UIN Malang memasukkan UIN Malang Press ke dalam struktur formal. Faktor inilah yang membuat UIN Malang Press lebih berkembang dibanding UIN Jakarta Press. Padahal, kedua universitas ini sama-sama berstatus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Badan Layanan Usaha (BLU).

Status dan kondisi UIN Malang Press yang berkembang turut membantu UIN Malang mewujudkan cita-citanya menjadi universitas riset. Tak hanya membantu, UIN Malang Press juga bisa menjadi sarana promosi akademik yang baik. “Apalagi karya-karya dosennya dipasarkan,” tutur Abdul Halim, salah satu staf redaksi UIN Malang Press, Jumat (26/9).

Menanggapi perbedaan itu, Direktur UIN Jakarta Press tahun 2002-2006, Abudin Nata, mengatakan UIN Jakarta Press memang tidak termasuk struktur formal karena pemerintah ingin membentuk lembaga yang miskin struktur tapi kaya fungsi. “Sebab struktur akan berimplikasi pada anggaran,“ kata Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) itu, Selasa (23/9).

Namun, kata Abudin, kondisi UIN Jakarta Press yang tak masuk dalam struktur formal bisa menghambat mimpi UIN Jakarta menuju universitas riset. Meski bukan satu-satunya faktor, UIN Jakarta Press merupakan lembaga yang penting untuk mendorong hal tersebut. “UIN Jakarta Press harus dihidupkan dan mampu bekerja sama dengan penerbit dalam dan luar negeri,” ungkapnya.

Senada dengan Abudin, Direktur UIN Jakarta Press saat ini, Idris Thaha, mengungkapkan ketiadaan dana membuat UIN Jakarta Press tidak beroperasi secara maksimal. Selama ini, UIN Jakarta Press hanya menjadi jembatan antara dosen dan tempat percetakan.

Semisal pada 2013 kemarin, UIN Jakarta Press pernah menerima dana untuk menerbitkan 30 buku ajar dari program Wakil Rektor (Warek) I Bidang Akademik. Namun, jelas Idris, dalam program tersebut UIN Jakarta Press hanya sebagai pelaksana dan tidak mengambil keuntungan apa  pun. “Bukunya pun tidak dijual,” tambah Idris, Rabu (17/9).

Terkait hal itu, Warek I Bidang Akademik, Mohammad Matsna, mengatakan sejak awal UIN Jakarta Press termasuk lembaga otonom sehingga ia tidak bisa secara langsung memberikan intervensi. Meski begitu, pihaknya tetap berusaha mengajukan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) agar UIN Jakarta Press masuk ke dalam struktur formal.

Keinginan serupa juga disampaikan Warek II Bidang Administrasi Umum, Amsal Bakhtiar. Namun, sampai saat ini pihak KemenPAN-RB belum menyetujui usulan tersebut. “Butuh pro-ses panjang dan melelahkan,” katanya, Kamis (25/9).

Tak hanya itu, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Hamid Nasuhi, membenarkan minimnya staf di UIN Jakarta Press. “Sulit mencari staf yang bekerja tanpa pamrih. Siapa sih yang mau bekerja tanpa gaji?” tuturnya, Jumat (26/9).

Hamid menambahkan, dulu UIN Jakarta Press pernah memiliki struktur staf yang jelas, namun karena tak ada kegiatan dan gaji, struktur itu pun tidak berjalan. Saat ini, menurutnya, hanya ia dan Idris yang aktif di UIN Jakarta Press. “Semuanya, kami yang mengerjakan mulai dari manajerial sampai pengeditan naskah,” ungkap pria yang juga aktif sebagai editor di UIN Jakarta Press itu.

Sementara itu, Amsal menambahkan, tidak bisa begitu saja memberi gaji kepada pegawai yang berada di lembaga non struktural karena aturan pemerintah yang tidak menyediakan anggaran.

“Bahaya, kalau ketahuan Badan Pengawas Keuangan menggaji pegawai lembaga non struktural. Makanya, sampai saat ini saya sedang mencari solusi terbaik supaya bisa menggaji mereka,” ujarnya, Kamis (25/9).

Penerbit Kampus Lain

Menurut Abdul Halim, UIN Malang Press bisa rutin menerbitkan 60 sampai 70 buku setiap tahun karena telah menjadi lembaga struktural di universitas. “Penerbitan kami bersumber dari dana DIPA universitas,” katanya ketika dihubungi via telepon.

Lebih lagi, ujar Halim, keberlangsungan UIN Malang Press didukung dengan kebijakan Warek I Bidang Akademik yang meminta dosen untuk menerbitkan buku di UIN Malang Press. Selain itu, mereka juga diberi keleluasaan untuk mengikuti pameran dan melakukan pemasaran di toko-toko buku.

Erika Hidayanti

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Mahasiswa Keluhkan Perubahan Akses Wi-Fi Kampus
Next post Menanti Raja Baru UIN Jakarta