Read Time:2 Minute, 48 Second
Ruangan yang terang oleh lampu-lampu kekuningan perlahan mulai redup. Satu per satu lampu dimatikan hingga hanya tersisa beberapa lampu menyala menyoroti panggung. Tak lama muncul seorang pria dengan kaos oblong putih, kemeja, dan celana hitam khas Suku Sunda.
“Tanah air kutidak kulupakan … Kan terkenang selama hidupku …” Pria yang juga memakai totopong, ikat kepala khas Sunda dan sandal kulit hitam itu kemudian menyanyi di atas panggung. Satu demi satu lampu kembali dinyalakan hingga terlihat empat pemain musik mengiringi. Dua pria di sisi kiri memegang bass dan gitar, serta dua lainnya bermain drum dan keyboard di kanan panggung.
Tepuk tangan penonton menggema di setiap sudut ruangan setelah alunan lagu nasional karya Ibu Soed itu pun selesai dinyanyikan. Cahaya lampu yang menyoroti panggung kali ini berubah menjadi kemerahan. Sembari menyatukan kedua tangannya di depan dada, pria dengan riasan kumis di wajahnya itu kemudian turun dari panggung.
Tak lama, dua penyanyi muncul. Wanita dengan kebaya kuning beriringan dengan pria berpeci hitam dan sarung menggantung di bahu. Mereka bertiga kemudian mulai menyanyikan lagu dalam bahasa sunda berjudul Hariring.
Ketiganya lalu duduk bersimpuh. Cahaya lampu kemerahan yang menyoroti panggung berganti menjadi ungu. Pertunjukan dilanjutkan dengan lagu berjudul Bulan. Penonton dikejutkan dengan munculnya penari bergaun hitam dengan motif batik di bagian bawahnya datang dari belakang kursi penonton.
Penari yang juga mengenakan kardigan ungu itu kemudian bergabung bersama tiga orang penyanyi tadi sambil terus melenggokan tubuhnya ke kanan dan kiri mengikuti irama musik. Tak lama, tempo musik berubah cepat dan para penyanyi langsung menyanyikan lagu Cing Cangkeling. Kini, mereka menari bersama dengan tempo dan gerakan yang lebih cepat.
Cahaya lampu seketika menyala dan menerangi seisi ruangan. Gerakan tari gadis berkebaya hitam ungu tetap menjadi pusat perhatian. Ia menari dengan cepat sambil mengelilingi para penyayi satu per satu. Setelah lagu Cing Cangkeling selesai, kemudian diteruskan dengan lagu Tokecang.
Tempo musik masih cepat. Kali ini, lagu yang dibawakan adalah Manuk Dadali. Gadis penari tadi pun menari menirukan gerakan-gerakan burung. Kemudian, gerakan tarinya berubah lambat mengikuti iringan musik dari lagu Bubuy Bulan.
Gadis penari berpindah dari satu sudut ruangan ke sudut lain. Seiring dengan musik yang melambat, tariannya pun ikut melambat sampai akhirnya lagu berhenti dan semuanya mematung. Penonton kembali bertepuk tangan.
Konser musik bertajuk Fun Sunda ini dipentaskan dengan penyanyi utama, Mario Ginanjar. Vokalis Kahitna asal Bandung tersebut menggaet adik perempuannya, Marisya yang menjadi penari utama dalam pertunjukkan di Galeri Indonesia Kaya ini.
Acara yang digelar pada Sabtu, (14/3) ini sengaja mengusung tema budaya Sunda sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap musik daerah. “Maraknya budaya asing yang masuk ke dalam negeri mempengaruhi anak muda saat ini untuk mendengarkan lagu-lagu asing, sehingga lupa lagu daerahnya sendiri,” tutur Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Dalam acara ini, Mario Ginanjar juga berduet dengan ibunya dalam menyanyikan lagu Euis dan beberapa lagu pop Indonesia di era 1990-an. Tak hanya itu, lagu dari daerah Jawa Tengah seperti Bengawan Solo, juga ia nyanyikan bersama Nikki Thierry, penyanyi yang baru berusia 13 tahun.
Sebagai seorang penyanyi yang lahir di Bumi Parahyangan, Mario mengaku sangat senang bisa melakukan pertunjukan ini. “Banyak dari generasi muda saat ini tahu lagu Sunda namun tak tahu asal daerahnya, bahkan menganggap Suku Sunda bukan salah satu bagian dari Pulau Jawa,” tutup pria yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-33 ini.
Erika Hidayanti
Average Rating