Sembilan Kartini dari Rembang

Read Time:2 Minute, 28 Second
Sumber: Internet
“..Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaum ibu
Se-Indonesia..”
Dua bait lagu ciptaan W. R. Supratman ini, mengingatkan kembali pada kita dengan tokoh pencetus emansipasi wanita, Raden Adjeng Kartini. Setiap 21 April, warga Indonesia memperingati hari lahir pelopor kebangkitan perempuan pribumi tersebut. Sosok Kartini pun seakan lahir kembali seiring adanya permasalahan yang dihadapi warga Rembang, Jawa Tengah.
Pasalnya, aksi tolak tambang dan pabrik semen yang mayoritas diperankan oleh perempuan ini, telah menjadi topik menarik ditahun 2014-2015. Di bulan yang seharusnya mereka (para wanita) dihormati agar tak ditindas lagi, tapi semuanya berbanding terbalik. Apalagi, seusai kita melihat perlakuan aparat kepolisian terhadap ibu-ibu Rembang, lansir dari youtube.
Hal tersebut tak mencerminkan visi dan misi pihak penegak keadilan, yakni melindungi, mengayomi dan menertibkan masyarakat Indonesia. Sejauh ini, belum ada niat baik dari pemerintah untuk membantu warganya. Pemerintah seakan menutup mata dengan semua rintihan masyarakat Rembang yang hampir sepuluh bulan lamanya.
Padahal, mereka hanyalah ibu rumah tangga yang sesekali membantu suami bekerja di sawah. Mereka pun hanya rakyat kecil yang sekadar ingin melindungi tanah untuk anak cucu mereka kelak. Wajar jika mereka memiliki rasa khawatir akan risiko dan dampak buruk yang mengancam sumber mata air mereka.
Tepat 9 April lalu, sembilan kaum ibu asli Rembang berbondong-bondong melakukan aksi di depan istana negara, Jakarta. Harapan mereka hanyalah bertemu dan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membatalkan pembangunan pabrik semen oleh PT. Semen Indonesia di Rembang.
Layaknya “Sembilan Kartini dari Rembang”, mereka dengan kompak memukul alu ke arah lesung yang biasa untuk menumbuk padi tanda bahaya atas keberadaan pabrik semen di daerahnya. Lengkap dengan kebaya, jarit serta caping mereka memiliki sejuta harapan yang ingin segera terwujud.
Belajar dari pengalaman, warga di kawasan tambang akan mengalami dampak yang beruntut. Penambangan yang sudah beoperasi lama di Desa Tahunan Kecamatan Sale Kabupaten Rembang menjadi contoh nyata penyumbang kerusakan alam, kesehatan maupun moral.
Semisal, kerusakan alam berupa matinya beberapa sumber mata air dan menurunnya debit mata air yang berada tidak jauh dari lokasi penambangan. Lalu, debu dari polusi truk pengangkut batu beterbangan dan menutupi daun-daun pada tanaman, berakibat pada rusaknya tanaman petani dan debu pun akan membuat saluran pernafasan terganggu.
Parahnya, kasus HIV/AIDS di wilayah Kabupaten Rembang dari tahun 2004-2013 mencapai angka 149 kasus. Grafiknya cenderung naik dari tahun ke tahun. Dari 149 penderita, 80 di antaranya dinyatakan meninggal dunia. Kabar ini dilansir dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Rembang.
Kecamatan Sale yang merupakan kawasan pertambangan mulai bermunculan warung remang-remang. Kasus ini tak jauh berbeda di Sekotong, Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB). Pernyataan resmi ini dikemukakan oleh Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Nusa Tenggara Barat Soeharmanto mengatakan, tambang rakyat berpotensi menjadi daerah penyebaran HIV dan AIDS.
Untuk itu, sangat menyedihkan jika membiarkan para perempuan menjadi korban akibat kultur sosial yang berubah akibat keberadaan perusahaan tambang. Akankah perjuangan Ibu Kartini dari dulu akan menghilang begitu saja, saat kita membiarkan perempuan ditindas. 
Triana Sugesti
.

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Dimanakah Tuhan?
Next post Bentuk Budaya Anti Korupsi