Rizky Rakhmansyah
Read Time:1 Minute, 39 Second
“Kami segenap putra-putri bangsa Indonesia menolak hal-hal yang berbau korupsi dan menyengsarakan rakyat, kami meyakini bahwa korupsi bukanlah budaya Indonesia, korupsi menghancurkan bangsa dan menghambat pembangunan, korupsi membuat bodoh anak bangsa, korupsi mengambil hak-hak rakyat untuk hidup sejahtera. Kami segenap putra-putri bersatu tekad tidak akan diam membungkam dan menyatakan lawan terhadap korupsi.
Ikrar tersebut dibacakan Santi Frannita, dalam acara pembukaan Sekolah Anti Korupsi Tangerang dan diskusi publik bertajuk Membangun Integrasi Kelompok Masyarakat Anti Korupsi di Hall Student Center (SC) UIN Jakarta, Kamis (16/4). Sebagai perwakilan dari Mahasiswa Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), ia menyatakan dukungannya untuk melawan budaya korupsi di masyarakat.
Pada tahun 2014, kasus korupsi marak terjadi di Indonesia. Berdasarkan data Indonesian Corruption Watch (ICW), 325 kepala daerah, 3600 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), 74 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. “Negara rugi sekitar 5,29 triliun,” tutur Adnan Topan Husodo selaku Koordinator ICW, Kamis (16/4).
Menurut Adnan, korupsi terjadi karena keserakahan dari masyarakat dan kelompok masyarakat yang tidak cukup memenuhi kebutuhan.“Biasanya mereka yang menengah ke bawah,” tutur Adnan.
Hal itu diamini pula oleh Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Djawahir Hejjazziey. Ia mengatakan, tindakan korupsi bukan hanya sekadar menyelundupkan uang. “Membawa satu lembar kertas tanpa izin pun dapat dikatakan sebagai korupsi,” ujar Djawahir, Kamis (16/4).
Menurut Djawahir, maraknya budaya korupsi yang di Indonesia dapat dikurangi dari pelbagai sektor. Pendidikan kewarganegaraan serta agama ialah salah satunya. “Hukum dapat dipatuhi oleh seseorang jika terkandung peraturan agama di dalamnya,” tegasnya.
Menanggapi hal itu, wakil koordinator Tangerang Public Transparancy Watch (TRUTH), Suhendar mengatakan, pelaku tindak pidana korupsi jangan hanya ditindak melalui undang-undang, tetapi juga pendekatan psikologis.
Berbeda dengan Suhendar, Koordinator Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, Nanang Farid Syam mengatakan, lembaga penegak hukum tidak perlu diragukan kredibilitasnya. Ia menambahkan, masyarakat dapat turut serta untuk memberantas korupsi.“Bahkan, dengan menggunakan media sosial pun, masyarakat dapat mendukung KPK,” tutur Nanang, Kamis (16/4).
Average Rating