Perusakan lingkungan membuat krisis iklim kian panjang. KMPLHK Ranita gelar orasi lingkungan guna menumbuhkan kesadaran mahasiswa.
Peringati Hari Lingkungan Hidup se-Dunia, Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan (KMPLHK) Ranita menggelar orasi lingkungan, Senin (10/6). Acara tersebut merupakan kolaborasi Ranita bersama Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa dan Dompet Dhuafa Volunteer (DDV).
Kegiatan tersebut mengusung tema “2045 Indonesia (C)Emas Menghadapi Krisis Iklim” sebagai bentuk keprihatinan terhadap iklim dunia yang kian memburuk. Acara turut dimeriahkan oleh Thumb Band, Vikri and May Magic Friend, serta penampilan musikalisasi puisi. Tak ketinggalan, Komunitas Musik Mahasiswa-Ruang Inspirasi Atas Kegelisahan (KMM RIAK) turut membawakan beberapa lagu.
Acara berlangsung hingga tengah malam di Lapangan Parkir Student Center Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Beberapa pembicara dihadirkan untuk memberikan orasi. Mereka terdiri dari Cendekiawan Yudi Latif, Pegiat Lingkungan Panca Yudha, dan Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional Parid Ridwanuddin. Turut hadir malam itu Ashar, salah seorang warga dari Kampung Timbulsloko yang rusak karena erosi air laut.
Orasi lingkungan merupakan acara puncak dari peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia. Sebelumnya, Minggu (2/6), sudah terlaksana kampanye Peduli Banten di Alun- alun kota Serang, Banten. Hari berikutnya, Senin (3/6), berlangsung seminar lingkungan di kota yang sama.
Dalam orasinya, Latif menyebut kerusakan iklim akan memicu terjadinya kiamat. Dalam konteks ini, kiamat yang ia maksud rusaknya alam semesta. Kiamat itu terus dipercepat oleh tangan-tangan jahil manusia yang selalu merusak lingkungan.
Menurut Latif, Indonesia ikut mengambil peran dalam percepatan itu. Aktivitas eksploitasi alam di Indonesia masih terjadi secara masif. Kerusakan alam yang dilakukan Indonesia seolah-olah menjadikan kehidupan hanya untuk generasi saat ini. Selain itu, perusakan alam membuat masyarakat di kawasan tersebut ikut tersingkirkan.
“Jadi di Indonesia sekarang berlaku dua jenis penjajahan. Penjajahan jenis lama yaitu penguasaan ruang, dan penjajahan jenis baru berupa penguasaan waktu,” tutur Latif, Senin (10/6).
Dalam pencegahan percepatan itu, Latif menyebut perlunya refleksi keimanan, khususnya mahasiswa kampus Islam. Islam tak hanya memerintahkan hubungan baik dengan Tuhan dan manusia, menjaga alam turut menjadi ibadah dalam Islam. Hal itu tercermin dalam ibadah haji. Saat jamaah haji berpakaian ihram, haram bagi mereka membunuh hewan dan menebang pohon.
“Selain hablum minallah wa hablum minannas, juga hablum minal alam (hubungan baik dengan alam),” ujarnya.
Yudha turut mengungkapkan kekhawatirannya terhadap lingkungan pada orasi kala itu. Menurutnya, Indonesia dulu yang penuh dengan sawah dan pegunungan, kini sudah sulit ditemukan. Berkat keasrian itu, Indonesia pernah menjadi lumbung padi dunia. Namun, hal itu sudah tidak berlaku untuk saat ini.
Ia turut menyoroti kawasan pegunungan yang kini tercemar sampah. Pencemaran itu sebab kebiasaan buruk masyarakat perkotaan yang kumuh merambas hingga ke pegunungan. Padahal, gunung merupakan salah satu wisata dengan bentang keindahan alamnya. “Gunung itu tempat bermain kita, jadi tolong jangan dicemari,” ungkap Yudha, Senin (10/6).
Pada kesempatan itu, Ashar ikut menceritakan kampung halamannya, Timbulsloko, Demak, yang terdampak air rob. Semenjak rumah-rumah mereka terendam, anak-anak terpaksa berangkat sekolah menggunakan sampan. Pekerjaan pun sulit mereka temukan. Padahal, dulunya kawasan itu merupakan tempat yang subur dipenuhi buah dan sayuran.
“Beberapa warga juga harus mengungsi ke daerah lain,” jelasnya, Senin (10/6).
Limpahan air rob di Timbulsloko juga menghilangkan jalan sebagai akses utama dalam bepergian. Ashar dan masyarakat di sana hanya memiliki jalan kayu dengan lebar satu meter. Kesusahan itu sangat terasa saat membawa salah seorang warga yang sakit. Terlebih lagi bila ada yang meninggal dunia, sulit untuk menguburkannya karena seluruh tanah terendam.
Demi lancarnya akses bepergian, warga Timbulsloko berpatungan membuat jalan sepanjang satu kilometer. Beruntung, beberapa donatur memberikan bantuan dana pada mereka. Mirisnya, tak ada sedikitpun campur tangan pemerintah untuk membantu dalam mengatasi persoalan itu.
“Kami hanya ingin punya jalan layaknya jalanan di daerah-daerah lain di indonesia,” tutur Ashar.
Dukuh dengan 450 penduduk itu juga menjalani hidup dengan kesusahan air bersih. Hal itu sudah mereka alami sebulan lebih. Air bersih hanya bisa didapat dengan harga yang tinggi. Namun, akses untuk mencari biaya pun jauh dari mereka.
Selaku manajer kampanye Walhi Nasional, Parid menyebut ruang hijau di Indonesia semakin berkurang. Khususnya Pulau Jawa sebagai tempat dari lebih 60% warga Indonesia, hanya tersisa kurang dari 9% wilayah hutan. Padahal, dalam bahasa sansekerta, Jawa digambarkan sebagai tanah yang subur. Maka tak heran, saat ini banyak terjadi banjir, longsor, serta kekeringan.
Narasi Indonesia Emas 2045 dikhawatirkan akan menjadi Indonesia Cemas 2045. Sebab, aktivitas perusakan alam terus terjadi di Indonesia. Lembaga-lembaga internasional juga sudah memprediksikan 2045 sebagai puncak dari krisis iklim.
Mencontoh dari beberapa negara Eropa, Parid mengatakan, masyarakat dapat menggugat pemerintah soal krisis iklim yang terjadi. Perusahan-perusahaan besar juga berhak mendapat gugatan. Kedua instansi itu punya kontribusi dalam memproduksi emisi besar yang menyebabkan krisis iklim.
“Ke depan, kawan-kawan, anak-anak muda harus mengambil langkah serupa, menggugat perusahaan-perusahaan pencemar planet bumi,” seru Parid, Senin (10/6).
Ketua pelaksana, Nida Luthfyana menyebut, kondisi lingkungan saat ini dalam keadaan memprihatinkan. Pertambangan yang sebenarnya merusak lingkungan terus membanyak. Dapat dirasakan saat ini krisis iklim yang terjadi akibat hal itu.
“Kayaknya kita sudah pernah merasakan gitu, ya? udah sering kayaknya kalo siang panas banget, atau tiba-tiba hujan, prediksi cuacanya berubah-ubah. Itu, kan salah satu bentuk dari krisis iklim,” jelas Nida, Senin (10/6).
Kegiatan itu, kata Nida, merupakan cara yang asyik untuk menumbuhkan kesadaran generasi muda akan pentingnya menjaga alam. Dengan karakteristik anak muda saat ini, bentuk kegiatan yang kaku, seperti seminar-seminar hanya akan membuat mereka bosan. Padahal, generasi muda seharusnya berkontribusi besar dalam pencegahan krisis iklim.
Salah satu langkah kecil yang dapat dilakukan mencegah krisis iklim, khususnya mahasiswa, adalah mengurangi sampah plastik. Penggunaan plastik merupakan hal yang sering bersenggolan dengan keseharian mahasiswa. “Bentuknya dengan membawa tumbler, atau gak bawa wadah makanan sendiri deh,” pungkasnya.
Reporter: MAI
Editor: Shaumi Diah Chairani