Read Time:4 Minute, 9 Second
Percaturan politik terkait pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2017 kian memanas. Masing-masing calon berlomba-lomba menawarakan strategi yang dimiliki meskipun massa kampanye baru akan dimulai pada 26 Oktober mendatang. Selain para calon, para pendukung masing-masing kubu juga tak mau kalah. Mereka ikut terjun dalam kampanye terselubung, mulai dari media sosial, ngopi bareng di warung, hingga melalui obrolan santai sore dengan para tetangga. Menariknya, para pendukung ini tak hanya berasal dari para warga DKI, tapi juga berasal dari luar daerah. Namun apakah ini dirasa perlu?
Para pendukung pasangan calon biasanya dari berbagai kalangan mulai dari masyarakat tengah kota sampai masyarakat pinggiran, entah itu orang dewasa, para remaja, bahkan anak kecil. Satu lagi yang tidak ketinggalan, para pendukung juga terdiri dari warga Jakarta dan non-Jakarta. Meski bukan warga Jakarta, mereka yang umumnya para perantau ini saling beradu argumen untuk membela salah satu calon, walaupun pada Februari nanti mereka tidak ikut nyontreng. Lucu bukan? mereka ribut-ribut sendiri padahal tidak punya hak suara. Hal ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh berbagai alasan.
Alasan pertama mungkin karena mereka peduli secara Jakarta adalah pusat sekaligus ibukota Indonesia. Namun nyatanya bentuk kepedulian tersebut bukan hanya melalui kampanye yang serba ribut. Hal ini bisa diwujudkan dengan berbagai hal seperti mempromosikan daerah wisata yang ada di Jakarta karena selama ini hanya Bali yang identik sebagai daerah wisata di Indonesia. Cara kedua bisa juga mempromosikan budaya-budaya khas Jakarta seperti Betawi. atau paling tidak saat berkunjung ke Jakarta mereka tidak membuang sampah sembarangan termasuk di dalam taman kota. Hal-hal tersebut tentu saja bisa dilakukan oleh para perantau yang hidup di kawasan DKI. Bukankah sikap tersebut termasuk peduli Jakarta?
Alasan kedua, saya rasa karena mereka adalah juru kampanye atau relawan salah satu calon. Biasanya juru kampanye tidak serta merta mereka yang ber-KTP DKI, asal ulet dan berani tampil, apalagi jika kenal dekat dengan tim kampanye. Untuk relawan, memang hampir sebagian besarnya adalah warga ber-KTP Jakarta, akan tetapi tidak menutup kemungkinan para perantau ikut andil karena tertarik pada salah satu calon. Hal tersebut sah-sah saja dilakukan namun yang riskan adalah cara yang mereka dipakai. Sadar atau tidak dalam kampanye tak jarang para calon lain menjadi sasaran hate speech (ujaran kebencian) oleh mereka. Hal ini dinilai sebagai cara yang jitu dan cukup berhasil di lapangan. Lebih lanjut, cara yang paling sering kita temui adalah kampanye via medsos dengan cara membagikan link web-web tertentu yang isinya menjelekkan salah satu calon.
Kemudian, teman-teman di medsos membagikan lagi sumber berita tersebut, begitu seterusnya. Mereka cenderung tidak memperhatikan sumber berita tersebut tanpa mengecek kredibilitas asal isinya menjelekkan lawan. Lalu, apakah kita akan sebut ini sabagai kampanye positif? Jawabannya tidak. Setiap hate speech dan kampanye hitam lainnya perlahan akan mengubah pola pikir masyarakat. Ketika mereka dicekoki cara-cara tidak sehat ini, maka jangan salahkan jika mereka membenci hal yang menyangkut pilkada, pemilu, dan bahkan kegiatan politik lainnya. Mereka akan berpikir bahwa untuk mencapai tujuan politik, hanya cara kotor yang dapat mewujudkannya.
Pada akhirnya, mereka akan menjadi apatis dan memilih untuk golput. Padahal sejatinya, sebagaimana menurut Miriam Budiardjo, ‘politik diartikan sebagai usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang baik’. Pola pikir yang telah berubah ini tentu saja akan berdampak buruk untuk kehidupan perpolitikan negeri ini. Bukankah begitu? Sejatinya, kampanye-kampanye tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara positif, di antaranya mempromosikan program-program para calon. Seperti dilansir Kompas.com (14/10), mereka sudah memaparkan visi-misinya termasuk dalam bidang pendidikan. Ahok-Djarot akan ‘menjamin akses pendidikan untuk seluruh warga dan meningkatkan kualitas pendidikan di Jakarta agar setara dengan kota-kota maju di dunia’, Agus-Sylviana akan melakukan perbaikan terhadap akses pendidikan yang masih belum merata di kawasan DKI Jakarta, dan sedang pasangan Anies-Sandiaga lebih memilih untuk melakukan pembangunan sumber daya manusia. Jika program-program ini disampaikan dengan baik, maka kemungkinan warga akan semakin tertarik mengikuti perkembangan politik di daerah mereka sekarang ini.
Alasan ketiga adalah ribut pilgub karena urusan SARA (Suku, Agama, Ras, Antar-golongan). Masih segar dalam ingatan kita saat dulu Jokowi dan Ahok menyalonkan diri sebagai cagub-cawagub banyak sekali diserang oleh isu SARA. Sekarang ini kejadian tersebut terulang lagi karena tersulut perkataan Ahok mengenai QS. Al-Maidah: 51 terkait pemimpin non-Muslim. Hal ini menciderai orang Islam, namun apakah respon yang diberikan tidak berlebihan? Mulai dari petisi, demo bahkan kecaman terus bermunculan padahal sejatinya tafsir Alquran tidak bersifat tunggal yang berarti tidak ada kebenaran tunggal. Banyak pendapat dari ulama yang dapat dijadikan rujukan tanpa harus merasa menjadi pemilik tunggal kebenaran. Tidak mustahil jika isu SARA seperti ini juga akan menimpa pasangan lain karena hal tersebut sudah dianggap lumrah pada masa kampanye. Kita tentu senang jika calon yang kita sukai menang. Namun, penentunya tetap mereka yang memiliki hak pilih, yakni warga DKI Jakarta. Kita bisa berkampanye, tetapi dengan kampanye yang elegan. Kita tidak perlu ribut berlebihan yang kadangkala justru merusak elektabilitas calon kita, bukan? Wallahu A’lam.
Baca: Peduli Jakarta, Karena Jakarta adalah Kunci
*Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris, FAH, UIN Jakarta
Happy
0
0 %
Sad
0
0 %
Excited
0
0 %
Sleepy
0
0 %
Angry
0
0 %
Surprise
0
0 %
Average Rating