Read Time:3 Minute, 10 Second
Tak banyak cahaya mengisi ruangan Auditorium Harun Nasution. Hanya delapan bola lampu biru yang menerangi panggung. Seketika cahaya putih menyoroti ke tengah-tengah panggung tepat pada para pemain musik perkusi dan piano berada. Mereka pun memainkan alunan musik beriramakan melayu, mengalihkan perhatian penonton dari aktivitas mereka sebelumnya. Tak lama alunan musik itu berbaur dengan jaz menandakan drama musikal dimulai.
Sudah sepuluh menit irama musik melayu dan jaz mengalun. Tiba-tiba muncul sosok pria mengenakan teluk belanga, pakaian khas laki-laki melayu lengkap dengan kopiah hitam. Ia berjalan sembari menyanyikan lagu yang diiringi musik bernadakan Fatwa Pujangga. Pria itu menyusuri sudut panggung ke kiri dan berputar arah kanan dan kemudian kembali ke tengah panggung.
Ialah sang Tuan, Raja yang dirundung duka karena istri merenggang nyawa usai melahirkan si bungsu, Kemuning. Bersamaan dengan itu, muncul seorang wanita menari dengan gemulai disoroti cahaya putih membentuk refleksi bayangannya, seakan menggambarkan sang permaisuri di lain alam.
Dalam sekejap wanita itu pun menghilang. Setelah itu para inang dan dan tetampan bermunculan ke panggung. Kedatangan mereka merubah suasana yang awalnya berduka menjadi ceria. Tetampan yang menjadi rebutan para inang menjadi daya tarik penonton. Pasalnya, mereka bertingkah kocak dan berceloteh membuat tawa penonton pecah.
Suatu hari, Tuan hendak pergi ke pelosok negeri untuk melihat kondisi rakyatnya. Di depan putri-putrinya, Tuan bertanya, “Kalian ingin Ayah belikan apa, putri-putriku?,” tanyanya kepada Jambon, Jingga, Nila, Hijau, Kelabu, Oranye, Biru, Ungu, dan Merah Merona. Mereka segera menjawab pertanyaan itu dengan meminta barang yang mahal dan mewah.
Lain halnya dengan Kemuning, ia hanya meminta kembalinya sang ayah dengan selamat. “Aku hanya ingin ayahanda pulang dengan selamat,” ungkap Kemuning kepada Tuan yang duduk di sampingnya.
Kepergian sang Tuan, menjadi kisah yang memilukan bagi Kemuning. Ia diperlakukan tak adil oleh saudara kandungnya. Para inang dan penjaga istana pun menaruh iba atas kenyataan yang harus dijalani oleh Kemuning. Gadis yang pintar menyulam itu hanya bisa pasrah dan tak bisa berbuat banyak.
Cahaya di panggung pun meredup, diringi oleh para inang yang membawakan tari kontemporer. Seketika latar panggung berubah menjadi tempat jamuan istana. Instrumentalis turut memusiki kedatangan raja. Sesaat kemudian, datang tetampan dan berteriak, “Tuan pulang!” Sembari menyila sang Tuan duduk di singgasana.
Tetampan menyerahkan oleh-oleh yang diminta semua puteri sang Tuan. Semua hadiah yang diberikan sesuai dengan permintaan puteri-puterinya terkecuali dengan Kemuning. Tuan memberinya kalung hijau dengan tempaan yang istimewa. Kemuning pun menerimanya dengan semringah. “Terima kasih Ayahanda, aku akan menjaganya” ucap Kemuning bahagia.
Tak lama setelahnya Tuan pun kembali melakukan perjalanan mengunjungi rakyatnya. Di tengah kepergian Tuan, para puteri yang lain iri dengan hadiah yang Kemuning miliki. Kemuning seharusnya memakai kalung berwarna kuning bukan berwarna hijau. Para puteri pun diminta menyerahkan kalung yang dimilikinya. Namun, Kemuning enggan memberikan kalung itu karena sudah berjanji dengan Tuan untuk menjaganya.
Salah satu saudaranya, Hijau, merasa hanya ia yang berhak memiliki kalung tersebut. Seketika, ia pun merampas kalung itu dari Kemuning. Sebagai putri bungsu, Jambon dengan berani memukul kepala hingga menendang Kemuning. Para puteri yang lain pun pergi meninggalkan Jambon. Mereka takut karena telah melakukan hal yang tidak baik kepada adik kandung mereka sendiri.
Tuan pun merasa kehilangan Kemuning, karena tak pernah terlihat lagi di istana. Ia memerintahkan seluruh tetampan dan penghuni istana mencari Kemuning. Namun sayang, Kemuning tak kunjung ditemukan.
Tuan pun kembali bersedih. Tiba-tiba muncul wanita menari dengan gemulai disoroti cahaya putih membentuk refleksi bayangannya. Kali ini, ada dua wanita, seakan menggambarkan sang permaisuri dan Kemuning yang sudah berada di alam lain.
Demikianlah sepenggal cerita dari Pentas Tunggal Pojok Seni Tarbiyah (Postar) 2016 yang bertajuk Dongeng Tuan, Jumat (4/11). Seni drama karya Ajeng Restiyani ini diadaptasi dari dongeng asal provinsi Riau “Hikayat Bunga Kemuning”. Ketua Postar, Rizal Hanif Masyhur mengatakan, pentas seni kali ini sengaja bertemakan dongeng dengan tujuan membumikan lagi dongeng-dongeng di tengah masyarakat. “Kita ingin dongeng kembali diingat masyarakat,” ujarnya.
AM
Average Rating