Read Time:2 Minute, 40 Second
Di balik kuatnya isi selop melangkah, menapaki setiap terjal bebatuan, curam tanah licin, basah, dingin, di balik bangganya hati pada raga yang dahulu hanya diam menikmati rasa sakit. Di balik semuanya. Mengapa selalu ada kisah tragis dibalik semuanya. Ada apa dengan manusia sepertiku? Apa aku berpenyakit? Apa ada dari bagian sudut jiwaku yang tak bisa diterima? Ada apa dengan manusia sepertiku? Mengapa aku selalu menjadi cangkang kosong untuk setiap kisah yang berbeda?
Mengapa aku selalu menjadi rumah tak berpenghuni untuk setiap tempat yang berbeda? Mengapa aku selalu menjadi hati yang sepi untuk setiap pelaku berbeda yang tiba? Apa aku ini manusia gila? Dan mengapa banyak sekali aku bertanya, dan mengapa banyak pula yang tidak terjawab, dan mengapa kata mengapa selalu hinggap di kepalaku? Terjebakkah aku pada imaji yang terlalu dalam?
Tak mampukah aku keluar dari dunia yang kuciptakan? Mengapa aku harus menggerakan manusia–manusia dalam imajiku sendiri? Dan mengapa harus mereka? Mengapa harus mereka hingga aku tak mampu membedakan mana milikku dan mana jiwa milik mereka? Dan.. mengapa tiap kali aku lelah dengan semuanya, ketika itu pula aku sendirian..
Karena senyatanya aku sendiri. Aku ramai dalam kepalaku. Aku bahagia dalam mimpiku. Maka ketika terbangun, aku tetap sendiri. Aku tetap menangis. Aku tetap sibuk memulihkan luka yang bosan selalu hinggap lagi lagi pada tubuhku.
Mengapa aku sangat begitu mengenaskan? Lebih mengenaskan dari bangkai kucing di trotoar jalan. Mengapa aku pandai sekali menyembunyikan kesedihan? Mengapa banyak yang ingin sepertiku, melihatku bahagia padahal sejatinya aku tak lebih bahagia dari mereka? Mengapa aku tak mampu menjawab pertanyaanku sendiri? Mengapa aku diam? Apa aku ini manusia gila? Demi Tuhan, demi siapapun dan apapun yang setiap manusia yakini, jika aku gila aku ingin kembali biasa.
Jika dengan dewasa aku hanya bisa meratapi ketidakpastian pada diriku sendiri maka menjadi anak-anak di pinggir jalan atau terkurung dalam kamar lebih aku sukai. Jika dengan dewasa aku takut pada diriku sendiri maka jadi bocah cengeng yang takut pada laba–laba lebih aku sukai. Tapi, mengapa aku begini? Mengapa aku tak mengenali yang mana diriku dan yang mana yang bukan?
Mana ibuku? Apa Ia mengenaliku? Mana ayahku? Apa iya mengenaliku? Sedang aku tak mampu mengenaliku sendiri. Bagaimana aku mampu mencintai seseorang dengan nyata jika aku terbiasa mencintai manusia manusiaku sendiri.
Bagaimana aku bisa menerima mereka sedang aku terbiasa merangkai perilaku demi perilaku penduduk imaji yang sudah mendarah daging dalam kepala, menyatu dalam memori yang nyata, bercampur dengan masa lalu maupun masa yang akan datang. Apa aku ini manusia gila? Demi Tuhan, demi siapapun dan apapun yang setiap manusia yakini, jika aku gila aku inign kembali biasa.
Hingga pening dan berkeringat dingin, sejak remaja hingga usianya kini yang menginjak 24 tahun, hanya mengapa dan mengapa yang memenuhi kepala Suri, wanita berparas cantik serta tinggi semampai, berkarir cemerlang. Namun, kini harus mendekam di sel mirip hotel prodeo bahkan lebih kejam dari itu, rumah sakit jiwa.
Dokter mengatakan gangguan kepribadiannya–lah yang mengakibatkan seluruh pencapaian masa mudanya harus ikut terkurung di ruang 3×3 meter persegi dengan pintu mirip jeruji besi berwarna putih pucat hampir karat.
Ketika angan dan cita-cita dikejar berlandaskan dendam dan kedengkian, tak ada yang mengetahui dengan cara apa dan bagaimana ia akan hancur.
*Penulis adalah mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Jakarta
Average Rating