Sebuah Kisah Omong Kosong

Read Time:2 Minute, 22 Second


Oleh:  Nasrullah Alif*

Derap langkah para manusia membuat diriku termenung demikian lama, yang membuat pikiranku melayang jauh ke antah berantah tanpa nama. Sebuah negeri rupawan yang tiada dua. Yang sekali kalian datang ke dalam pelukannya, maka tak akan pernah kau lepaskan untuk selamanya. Ya, negeri itu yang kini khalayak sebut cinta.
Tetapi, terkadang sebelum sampai ke negeri yang aku sebutkan tadi, aku selalu saja menepi. Tanpa titah dari diriku sendiri, jiwaku terhenti di sebuah negeri kelam tanpa setitik cahaya yang menerangi. Negeri hampa tanpa tawa yang menerangi. Sebuah negeri yang penuh dengan amarah emosi. Sebuah negeri yang khalayak sebut dengan benci.
Aku tak paham, dan sama sekali tak paham. Kenapa harus ada rasa yang kelam. Jika kita bisa merasakan rasa yang hangat lagi dalam. Tanpa harus merasa geram. Juga, menyatu seperti dunia ini dengan alam.
Ada juga negeri yang amat kelabu, di antara banyak negeri yang mungkin jumlahnya mencapai seribu. Bahkan, tak sampai jarimu atau kehidupanmu. Negeri semu, yang hanya berisi kesedihan parau, dan tak berisi kenyataan manis yang akan memukau. Sebuah negeri bernama sendu.
Wahai jiwa-jiwa yang belum terbebaskan! Apakah kau pahami arti rasa yang telah tersebutkan? Hanya segelintir saja yang bisa dirasakan, oleh kalian yang seharusnya merasakan. Tanpa sedikitpun kalian dengungkan, kenapa dengan tololnya kalian berbuat semena-mena tanpa pikiran. Tak mengertikah kau akan sakit hati  yang begitu rentan, yang sekali saja kau sandarkan, maka akan hancur lebur berantakan.
“Aku ini apa Tuhan! Manusia kah aku, atau aku manusia?” Tanyaku saat diriku ini bersimpuh di malam miliknya, yang para ulama katakan akan ampuh untuk memohon atau meminta ke haribannya. “Jika kau bisa beri jawabnya, maka tunjukan itu semua Maha esa!” Dengan pongahnya, dan dengan tanpa malu yang tinggi rasa. Aku umbarkan semua resahku dalam dada.
Sebuah pertanyaan yang (mungkin) bodoh, tanpa sedikitpun aku melihat kembali akal ku ini dengan merogoh. Semuanya mungkin seperti omong kosong tak bermutu. Seperti guci tanpa air yang hanya berisi butiran debu. Hanya sekadar ucapan belaka dari diriku.
Malam yang amat kelam. Benar sangat kelam, tanpa sedikitpun cahaya temaram. Tanpa sedikitpun menemani ku di kala aku terpuruk, seperti seorang hina yang amat buruk, lagi busuk. Aku hanya mengais jawaban kecil, yang aku harap ia muncul walau hanya secuil.
***
Cahaya pagi menyingsing sedikit, seakan menyapaku yang kini terbaring sakit. Entah, bagaimana caranya cahaya itu bisa membuatku sedikit bangkit. Seperti seekor mangsa yang dengan halusnya terlilit. Dibangunkan dengan butiran-butiran embun pagi yang sedikit.
Rasanya, seperti dulu kau menyapa. Aku terbaring lemah tak berdaya. Lalu, kau datang dengan perasaan hangat yang membuat aku nyaman di dalamnya. Seketika, aku merasa dirimu adalah bidadari utusan yang Maha Kuasa, yang secara khusus dikirimkan kepadaku untuk menenangkan jiwa dan juga raga.
Namun, semuanya hanya omong kosong. Saat aku tahu, bahwa dirimu hanyalah seonggok jasad kosong. Tanpa isi, seperti gelap dalam lorong.


*Mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam, FAH, UIN Jakarta dan Pegiat Senja

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
100 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post UIN Terciduk BPK
Next post Bude Pecel Si Penuntas Kelaparan, Terancam Kelaparan