Read Time:2 Minute, 34 Second
Oleh: Nindya Putri Rismayanto*
Di Indonesia, masih sering terjadi pernikahan dini yang dilakukan saat usia di bawah 15 tahun. Undang-undang (UU) Perkawinan tahun 1974 juga agaknya belum tegas melarang pernikahan itu. Menurut UU perkawinan, anak perempuan baru boleh menikah di atas usia 16 tahun dan anak laki-laki di atas usia 18 tahun. Tapi lagi-lagi, masih ada pula dispensasi untuk anak perempuan yang menikah di bawah usia 16 tahun.
Pernikahan dini seringkali dipengaruhi oleh adat dan tradisi yang sudah melekat dalam kehidupan warga lokal. Menurut laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2008, dari 2 juta lebih pasangan yang melakukan pernikahan, angka pernikahan dini di bawah 16 tahun mencapai hampir 35%.
Fenomena pernikahan dini menjadi kultur sebagian masyarakat Indonesia yang masih memosisikan perempuan sebagai warga kelas dua, dengan berbagai alasan ekonomi, sosial, hingga anggapan tidak pentingnya pendidikan bagi anak perempuan. Mari sedikit kita tinjau dampak negatif dari praktek pernikahan dini ini, mulai dari dampak pendidikan, psikis, hingga fisik yang cukup berisiko.
Pertama psikis, seperti yang telah kita ketahui, menikah memerlukan adanya kematangan emosional. Kematangan emosional bisa dilihat dari ego yang stabil dan tidak mudah berubah-ubah. Selain itu, ada juga kematangan sosial yang menunjukkan seseorang bisa berhubungan baik dengan orang lain di sekitarnya. Lalu kematangan moral dan kognitif, ini juga sangat penting karena berhubungan dengan bagaimana pola asuh dan pendidikan terhadap anak nantinya.
Maka ketika kematangan tersebut belum terealisasi akibat masih terlalu dininya usia pernikahan, akan ada banyak kasus perceraian. Pelaksana Tugas Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Sudibyo Alimoeso, juga mengungkapkan sebagian besar perceraian di kalangan pasangan muda disebabkan oleh pernikahan dini.
Dampak lainnya adalah secara fisik. Menurut dokter secara medis usia yang baik untuk perempuan bereproduksi atau mengandung adalah 20-35 tahun. Maka umur di bawah tersebut masih terlalu muda dan berisiko tinggi untuk menanggung kehamilan. Penyakit kandungan yang banyak diderita perempuan yang menikah dini antara lain infeksi kandungan dan kanker mulut rahim. Hal ini terjadi karena masa peralihan sel anak-anak ke sel dewasa terlalu cepat.
Bagi saya, masa usia 11 hingga 19 tahun merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju remaja kemudian dewasa. Di saat perkembangan tengah dalam masa peralihan juga akan lebih baik jika diiringi dengan kegiatan yang sesuai dengan umur tersebut.
Masa di mana seorang anak sedang asyik dalam menjalin pertemanan yang menjurus kepada kebutuhan afiliasi yaitu menjalin hubugan dengan lawan jenis mereka. Bukan dengan kungkungan tradisi dan peraturan yang kurang tegas menjadikan anak harus berada dalam lingkaran kehidupan yang tidak sesuai dengan usianya.
Karena sebenarnya, menikah bukan hanya tentang mengikat suatu hubungan laki-laki dan perempuan saja, tetapi lebih kepada pemecahan masalah yang kelak akan terjadi, tentang masa depan dua pikiran yang disatukan, tentang dua keluarga yang dipertemukan, juga tentang kesadaran diri mengenai keputusan-keputusan yang hendak ditentukan.
Dan menjadi hal yang perlu diperhatikan juga oleh pemerintah, bahwa peraturan selayaknya harus tegas tanpa ada lagi dispensasi-dispensasi yang berakibat semakin banyaknya lagi kemungkinan penurunan standar usia menikah secara tidak resmi. Tentu itu menjelma jadi gerbang yang terbuka lebar bagi praktek pernikahan dini di Indonesia.
*Penulis adalah mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Jakarta
Average Rating