Read Time:7 Minute, 40 Second
Pagi yang mendung. Gumpalan awan, terlihat menghitam menyelimuti langit. Sang surya yang tak pernah menyombongkan dirinya, tetap memancarkan cahaya di balik awan hitam itu, agar tetap memberi kehidupan kepada semua orang yang akan segera sIbuk dengan segudang aktivitas. Aku mendongak menatap langit di ambang pintu rumah, lebih tepatnya sebuah gubuk sederhana yang menjadi tempat Aku dan Ibu melepas lelah setiap hari setelah sepanjang hari mencari rezeki.
Sekantong plastik ukuran sedang berisi sejumlah tisu kemasan kecil, telah menggantung di sela-sela jemari kecilku, sebagai satu-satunya alasan untuk Aku memperoleh setidaknya beberapa rupiah setiap harinya. Sedikit kekhawatiran hari ini menyapAku. Jika awan itu menumpahkan seluruh isinya, akan mejadi kendala aktivitasku hari ini, dan menjadi alasan Tuhan menahan sementara rizki yang disiapkan-Nya untuk Aku dan Ibu hari ini.
“Sep, kenapa berdiri di depan pintu?” Suara Ibu dari dalam memecah lamunan ku.
“Eh, enggak Bu. Asep takut hujan turun. Awannya mendung banget bu.”
Ibu diam beberapa saat. Melanjutkan kembali kegiatannya membersihkan setumpuk gelas pelastik yang telah dikumpulkannya beberapa hari yang lalu, dan rencananya akan dijual sore ini ke Pak Endang.
“Ya sudah, bantu Ibu bersihin gelas.” Dengan suara ketusnya, Ibu menyuruhku untuk tetap dirumah hari ini, setidaknya sampai hujan reda, tapi tetap dengan mengerjakan sebuah pekerjaan. Aku mengiayakan dan segera membantu Ibu membersihkan satu per satu gelas plastik dari sisa-sisa penutupnya yang masih melekat.
Kilauan petir menyambar terang mengawali detik-detik akan turunnya hujan deras. Aku meringis, ngeri mendengar ledakan petir yang mengejutkan. Tak butuh waktu lama, gumpalan awan itu menumpahkan seuluruh isinnya. Menciptakan genangan air di setiap kubangan besar maupun kecil di sepanjang celah antara rumahku dengan rumah warga lainnya. Hembusan angin kencang terasa dingin menembus pintu rumah yang ku biarkan terbuka. Gelas-gelas pelastik yang sedang ku bersihkan berhamburan ke segala tempat. Ibu menyuruhku untuk menutup pintu dan segera mengumpulkan kembali gelas-gelas itu.
Beberapa jam hujan turun cukup deras beriringan dengan gelegar petir yang menyambar mengerikan. Aku mengeluh dalam hati, kapan hujan akan segera reda. Aku menoleh kearah jam dinding yang terpasang disudut dinding tripleks rumahku. sudah jam 11.09, itu artinya satu jam lagi kakak-kakak mahasiswa akan segera berhamburan keluar dari kampusnya untuk beristirahat dan makan siang.
Seperti langit mengerti apa yang sedang kupikirkan, hujan mulai reda, menyisakan rintik-rintik gerimis.
“Hujannya udah berenti Bu.” Aku menghentikan kegiatanku dan beranjak membuka pintu. Benar saja hujan telah reda. Aku bernafas lega dan segera meraih sekantong pelastik berisi tisu yang ku letakan di balik pintu.
“Bu Asep jualan ya?” Aku melihat Ibu yang masih dengan pekerjaannya membersihkan gelas. Tanpa kata Ibu mengiyakan dengan anggukan kepala.
Ibu menjadi sangat pendiam, sejak kepergian bapak yang entah ke mana dan tak pernah memberikan tanda-tanda akan kembali. Aku melihatnya terakhir kali saat Ibu sedang memarahinya, entah karena apa sebabnya. Lalu Bapak pergi dari rumah. Ku pikir Bapak hanya akan pergi seharian saja dan kembali saat malam. Tapi, semalam berlalu, sehari, lalu dua hari dan sampai saat ini, sudah hampir tiga bulan berlalu, Bapak tidak juga pulang. Dengan berusaha memberanikan diri, Aku sering bertanya pada Ibu. Tapi tak ada jawaban. Hanya sifat Ibu yang semakin pendiam dan sering terlihat marah.
Aku melangkah keluar rumah. Di bawah rintikan gerimis, kusematkan sebuah harapan, bahwa hari ini akan kembali dengan sejumlah uang dan akan kulihat senyum mengembang di sudut kedua bibir Ibu ku.
Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit, Aku segera sampai di tempat, untuk Aku menjajakan tisu yang ku bawa. Pesanggrahan, itulah julukan nama yang diberikan pada sebuah tempat di mana berbagai penjual makanan dan jajanan berderet di sepanjang gang yang berukuran sekitar tiga meter lebarnya. Gang ini berada tepat di samping sebuah kampus yang sangat besar dan cukup menjadi kebangaan masyarakat. maka dari itu, masyarakat setempat maupun pendatang, mengambil peluang ini untuk membuka usahanya dengan mendirikan toko-toko yang juga berderet di sepanjang gang ini. Tak mau kehilangan kesempatan, Ibu juga menyuruhku untuk mengambil peluang yang ada dengan menjual tisu kemasan kecil. Meski tahu, tisu bisa dibeli di warung maupun toko-toko yang ada di sekitar kampus. Tapi harapan ku dan Ibu, akan ada kakak-kakak mahasiswa yang mau membeli tisu yang ku jajakan, meski hanya dengan rasa iba.
Dengan bermodalkan dua kata “Tisunya kak!?” Aku mulai menjajakan tisu berpindah dari tempat jajanan satu ke tempat yang lain. Menyodorkan satu bungkus tisu kesetiap kakak-kakak mahasiswa yang sedang sIbuk dengan keseriusannya melahap makanan mereka. Tidak sedikit dari mereka yang mengabaikan ku, dan tidak jarang mereka yang mengatakan tidak.
“Tisunya kak!?” Tanpa menyerah Aku tetap berjalan kesana kemari menghampiri dan menawarkan dagangan ku ke semua orang. Sudah hampir satu jam Aku mondar mandir di Pesangrahan, tapi tisu ku belum satu pun terjual. Aku menghela nafas, kecewa. Dan memilih bersandar sejenak di sebuah pagar yang berada tepat di samping pintu yang menghubungkan antara pelataran kampus dengan gang Pesanggrahan ini.
Pandangan ku menerawang jauh, menatap ketinggian gedung kampus yang terdiri dari tujuh lantai. Entah apa yang ada dalam pikiranku saat ini. Akan pulang tanpa uang sepeserpun, mungkin itu salah satu topik kecemasan yang ada di otakku sekarang. Dan ya, satu lagi yang bergelantungan dalam pikirannku. Aku ingin sekali kelak bisa seperti kakak-kakak mahasiswa di sini. Seperti apa rasanya menjadi mahasiswa? Apa yang dilakukan mereka di dalam gedung tinggi ini? Tak sedikitpun terbayang oleh ku. Yang selalu ku lihat dan ku kagumi, lalu lalang mereka dengan pakaiannya yang gagah dan rapih. Kakak perempuan, mengenakan kerudung dengan berbagai model yang dililit-lilitkan, tapi ada juga yang mengenakannya menjulur ke seluruh bagian dadanya, sangat terlihat sederhana. Lain halnya dengan kakak mahasiswa laki-laki, yang selalu membuat ku berkhayal menjadi seperti mereka, mengenakan selana jins panjang, kemeja pendek dengan kerah yang terlipat rapih, menggendol tas dipunggungnya, dan sepatu yang keren.
“De?” suara seseorang membuyarkan lamunanku.
“Eh!” Aku hampir terloncat karma terkejut. Sesosok kakak perempuan dengan kerudung panjang telah berdiri di hadapan ku, entah sejak kapan.
“Ko bengong? boleh kakak beli tisunya?” dengan senyum manis yang mengembang di bibirnya, kakak itu menunjukkan telunjuknya ke arah kantong plastik yang ku letakan di bawah.
“Eh iya ka, boleh.” Bergegas Aku mengambilkan satu tisu dan menyodorkannya.
“Kakak beli sepuluh ya.” senyum manisnya kembali mengembang.
“Hah? I-iya ka.” Entah untuk apa kakak ini membeli tisu sebanyak itu. tapi yang pasti Aku sangat senang. Segera Aku berjongkok dan menghitung tisu yang berjumlah sekitar 13 bungkus di dalam pelastik. Tak lama, kakak cantik itu juga mengikuti ku mengjongkok.
“Harga satunya berapa De?” Tanyanya kemudian ditengah keseriusan ku menghitung tisu yang baru sampai tujuh bungkus.
“Dua ribu ka” jawab ku singkat tanpa melihat ke arah wajahnya.
“Oh. Nama kamu siapa?”
“Asep ka”
“Oh Asep. Kalau umur kamu berapa.?”
“Delapan tahun ka”
“Hm, sudah sekolah?” pertanyaan itu membuatku terhenti beberapa detik, dan melanjutkan hitungan yang kini telah rampung sepuluh bungkus tisu. Aku lama menjawab, bingung.
“Ka nggak ada plastik buat ngebungkusnya.” Aku mendongak dengan sepuluh bungkus tisu yang ku dekapkan di dada.
“Ya sudah masukan ke tas kakak aja.” Kakak itu membuka mulut ranselnya yang cukup besar. Aku mulai memasukan semua tisu yang ku pegang.
“Kamu belum jawab pertanyaan kakak?”
“Oh iya ka. Aku udah nggak sekolah ka. Dulu cuma sampe kelas satu.” Aku menjawab dengan tertunduk malu.
“Oyah? Kenapa de?”
“Hmm nggak apa-apa ka.” Aku hanya menjawab sekenanya, entah kenapa Aku tak ingin menjawab sebab yang sebenarnya.
“Hmmm, gitu ya. kamu mau belajar lagi gak? Anak seusia kamu harusnya banyak belajar. Mau nggak belajar sama kakak? Nanti kakak kenalin kamu sama adek-adek kakak. Kita belajar bareng. Tempat belajarnya juga tidak jauh kok. Waktu belajarnya juga tidak lama, paling dari jam 2 sampe jam setengah 4 aja di hari Senin, Rabu, dan Kamis. Jadi kamu tetap bisa jualan. Mau nggak De?” kakak cantik ini begitu serius menjelaskan, seolah tahu akan apa yang menjadi pertimbangan ku untuk menerima tawarannya.
Kami masih berjongkok. Aku lama menjawab. Sejujurnya keinginan ku sangat besar untuk bisa sekolah lagi. Tapi, Aku tahu Ibu tidak akan mengizinkan karena memang tak cukup uang untuk membiayai sekolah ku. Aku berpikir, apa Aku terima tawaran kakak ini?
“Mau nggak de? Tenang aja semua gratis tis tis. Hehe” sekali lagi kakak itu berusaha membujuk ku.
“Hmm.. Mau deh ka.” Masih dengan sedikit keraguan, Aku menerima tawaran kakak berkerudung panjang ini. memikirkan bagaimana Aku meminta izin pada Ibu. Karena waktu berjualan ku akan berkurang, akankah Ibu mengizinkan?
“Oke! Besok kan hari Kamis, kakak tunggu kamu disini lagi jam 2 ya. Nah, ini!” Kakak yang belum ku ketahui namanya ini menyodorkan selembar uang yang ku lihat jelas berwarna biru di dalam lipatannya.
“Ka tidak ada kembalian” Aku tidak segera mengambilnya.
“Tidak usah dikembalikan. Ini untuk kamu semua, karena kamu sudah menerima tawaran Kakak. Terima yah, ini” Dengan senyumnya yang ku lihat semakin manis, Kakak ini menggenggamkan uang itu ditelapak tangan kanan ku, dan segera berlalu meninggalkan ku, setelah Aku mengucapkan terimakasih.
“Ibu, Asep akan melihat senyum Ibu hari ini. dan maafin Asep bu, Asep tidak akan meminta izin pada Ibu untuk ikut belajar dengan kakak tadi. karena Asep tau Ibu pasti tidak mengizinkan. Asep akan tetap berjualan dan juga belajar. Maafin Asep Bu.” Aku berjalan menyusuri kerumunan orang-orang. dengan kantong plastik yang kini menyisakan tiga bungkus tisu, Aku pulang dengan penuh percaya diri, karena akan kulihat senyum Ibu dan makan makanan yang enak.
*Mahasiswi Manajemen Pendidikan, FITK, UIN Jakarta
Average Rating