Politisasi Agama Dalam Pilkada DKI Jakarta

Read Time:2 Minute, 52 Second


Oleh: Siti Heni Rohamna

Polemik pilkada hari ini semakin menyeruak. Salah satu masalah yang akrab menjadi tendensi yakni politisasi agama. Jika politik diperjuangkan untuk kemaslahatan agama, maka hal ini tidak menjadi masalah vital. Namun, jika agama diperjuangkan untuk kepentingan politik, semisal pilkada, ini akan menjadi suatu konflik tersendiri yang mampu menimbulkan efek disintegrasi bangsa dan memecah belah kesatuan bangsa Indonesia.
Ali Maschan Moesa, dalam bukunya berjudul Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama (2007), mengatakan, politisasi agama berarti menggunakan simbol-simbol agama untuk menggerakkan massa, mengaduk-aduk emosi keagamaan, menjalin kekuatan di parlemen, dan seterusnya, tetapi tujuannya untuk kepentingan politik, bukan kepentingan agama.
Pilihan Gubernur DKI telah menyita perhatian banyak pihak, baik warga yang termasuk dalam jajaran Daftar Pemilih Tetap (DPT) ataupun yang tidak mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI sekalipun. Hal yang menarik pada kasus ini ialah konteks “politisasi agama” yang ramai diperbincangkan khalayak ramai, hingga menggerakkan hampir seluruh elemen bangsa Indonesia berbondong-bondong ke Monas demi berlangsungnya Aksi Damai beberapa waktu lalu.
Latar belakang dari peristiwa ini bersumber pada pro-kontra di kalangan umat beragama terkait QS. Al-Maidah ayat 51 tentang boleh atau tidaknya pemimpin kafir dalam Islam. Hal ini mengakibatkan isu-isu agama dan etnis menjadi ikon dalam menjatuhkan lawan politik, berujung pada kasus penistaan agama karena ungkapan Basuki T.P.  (Ahok) dalam memahami QS. Al-Maidah.
Politisasi agama menjelang pilkada ini sudah dinilai overdosis dan menimbulkan malapetaka. Dukungan suara dari umat beragama kini sudah tidak dianggap murni lagi. Aspirasi rakyat tidak ditampung secara elegan akibat menjamurnya ormas-ormas politik yang menggunakan pimpinan organisasi Islam sebagai media provokasi untuk memilih pasangan calon tertentu.
Isu terkait suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) ini ditonjolkan pula dalam kampanye Pilihan Gubernur DKI Jakarta. Hal ini secara sengaja digunakan untuk menjatuhkan visi-misi dari kandidat tertentu dan mempengaruhi warga untuk memilih pasangan calon tertentu. Praktik ini mencerminkan rendahnya etika para politisi dan pendukung partai politik.
Lebih menariknya lagi, masjid yang dijuluki umat islam sebagai “baitullah” kini digunakan sebagai aspek penyaluran aspirasi politik dan ikut andil dalam kegiatan kampanye berupa tausiah yang menyudutkan dan mempengaruhi umat islam untuk memilih pasangan calon tertentu. “Bahkan, ada spanduk yang berisikan pesan tidak akan memakamkan jenazah yang mendukung calon kepala daerah non-muslim. Ini sudah keterlaluan, politisasi agama harus dicegah dan diwaspadai,” kata Rumadi, dikutip dari beritasatu.com (08/04).
Fakta politik yang terjadi saat ini adalah kebalikan dari politik Islam yang sesungguhnya. Dalam Islam, politik (siyasah) adalah pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi Negara dalam pengaturan tersebut (An Nabhani, 2005).
Masalah agama seharusnya tidak perlu dikaitkan dalam kegiatan politik seperti Pemilu, karena hal ini akan menodai kesucian agama yang dalam hal ini di anggap sebagai kambing hitam para insan politik etis. Kampanye yang mengedepankan SARA justru merugikan bangsa, dan dinilai sebagai media pembodohan masyarakat awam. Untuk itu diharapkan agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), pihak keamanan, serta aparat pemerintahan bersikap tegas dan menurunkan spanduk-spanduk yang dinilai provokatif.
Dalam konteks pilkada, seharusnya masyarakat diajak untuk mempelajari secara mendalam visi-misi dari pasangan kandidat, dan mempertimbangkan program kerja mana yang relevan bagi pembangunan. Masyarakat harus menerawang, tidak hanya menerima uang suap saja, tapi ekspresi keadilan dan kematangan personal dari calon pemimpin harus menjadi hal terpenting bagi bangsa Indonesia yang lebih baik.

*Penulis adalah Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Kimia

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post UKM Pererat Persaudaraan Lewat Lomba
Next post Pengelolaan Limbah UIN Tak Maksimal