Kisah Kecil Ica

Read Time:5 Minute, 50 Second
Oleh Diana Astari*

Sesak terasa di dadaku. Jutaan butiran air, menggumpal di sudut kedua mataku, seakan sesaat lagi akan tumpah dan membentuk aliran sungai air mata di permukaan pipi.

Maa jangan pergi hari ini….. “ gumamku dalam hati tak mampu terucap.

Sepeda motor telah siap siaga di halaman rumah nenek yang sangat sederhana ini. Semua sanak saudara berkumpul. Memeluk dan mengucapkan doa. Semua membuat dadaku semakin sesak. Ingin rasanya aku berteriak dan menjerit untuk mencegah kepergian mereka. Tapi aku tak bisa. Aku hanya diam di ambang pintu, menatap sepeda motor yang akan menjauhkan aku dengan mereka.

“Mama pergi yaa. Kamu jangan nangis.” Mama memeluk dan menciumku. Seketika, tumpahlah genangan air dimataku memecah keheningan. Hanya sesak dan tangisan yang kudengar. Ingin rasanya aku mencegah kepergian mama, atau aku meminta untuk mereka membawaku bersama ketempat perantauannya. Tapi tidak, sudah satu tahun mereka meninggalkanku bersama nenek. Karena tidak cukup uang untuk bapak dan mama menyekolahkanku di kota tempat mereka mengais rezeki, hingga pada akhirnya memutuskan agar aku sekolah di kampung halaman tinggal bersama nenek,SDN Cikadongdong 1. Sekolah yang sangat sederhana dan tentunya dengan biaya yang amat rendah.

Kini aku duduk di bangku kelas 2 SD. Sudah berulang kali aku merasakan kebahagiaan yang besar saat mendengar mereka akan pulang, merasakan kerinduan yang mendalam kala mereka tak kunjung datang menjengukku, dan merasakan sesak ketika akan tiba waktu kepergian mereka. Tidak ada telpon untuk sekedar mendengar suara mereka kala rindu itu datang. Hanya bersabar dengan menyibukkan diri bermain bersama teman.

Setiap langkahnya, membuat hatiku semakin teriris. Sesaknya semakin membuat aku tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Mama kini telah duduk di jok sepeda motor yang sejak tadi aku pandangi. Ia mulai berbunyi. Pengendara mulai memasukan gigi motor itu, dan berjalan perlahan membawa Mama ku semakin jauh. Begitu pun dengan Bapak ku. Ku pandangi lajunya, hingga mengecil, dan sampai tak terlihat lagi.

Sebulan berlalu…

“Caa.. !” suara Nenek terdengan memanggil dari dapur.

“Emm.. hoaamzz.. iya Nek?.”

“Bangun. Bukankah hari ini kamu sekolah?.” Ucap nenek ku dengan suaranya yang lembut dan agak sedikit bergetar karena faktor usia.

“Emm.. iya Nek.” Aku berusaha membuka mata yang masih sangat terasa berat. Berdiri dan menuju dapur. Menghampiri Nenek yang sedang asyik dengan sirihnya. Diam sejenak, memandangi luapan api di tungku. Pikiranku melayang, memikirkan sesuatu yang selalu terasa sulit. Sumur yang jaraknya sangat jauh.

Pasti tidak ada air. Pagi-pagi begini malas sekali rasanya ke sumur. Yasudah tidak usah mandi deh.” Gumam ku dalam hati.

“Kenapa ko bengong begitu?.” Heran nenek ku.

Aku hanya memandangnya dengan wajah yang sedikit memelas.

“Tidak usah mandi. Cuci muka saja sana.” Seakan nenek bisa membaca pikiranku.

Aku beranjak dari kenyamanan dudukku dan menuju gelodog (kamar mandi).

Kendala terbesar dan tersulit di kampung halaman ku ini adalah air. Sulit sekali mendapatkan air yang dekat dengan rumah. Jarak letak satu-satunya sumur kami, lumayan cukup jauh dan kondisi jalan yang menurun. Saat kembali dari sumur, tubuh terasa sangat lelah akibat menelusuri jalan yang menanjak.

Aku telah selesai mempersiapkan diri. Kembali ke dapur dan ku dapati dua gorengan bakwan telah tersaji di atas permukaan piring dengan didampingi sambal saus yang menggiurkan. Seakan ia memanggil agar segera kulahap. Segera saja aku duduk dan kunikmati kedua dorengan itu. 
Eemm…

“Nek Ica berangkat, assalamu’alaikum.” Ku cium tangan Nenek yang sangat keriput.

“Walaikumsalam. Ini uang jajannya.” Nenek menyodorkan selembar uang seharga seribu rupiah.

Dengan semangat pagi yang masih menyertaiku, aku berjalan penuh gairah menuju sekolah yang jaraknya tidak jauh dari rumah.  Beberapa menit aku telah sampai dikelas. Bertemu dengan teman-teman, lalu berbunyi suara bel yang berasal dari besi yang di pukul dengan palu dan mengeluarkan bunyi yang amat keras.

“TENG TENG TENG TENG TENG TENG…..”  Ibu guru ku memukulnya berkai-kali. Semua siswa berhamburan memasuki kelasnya masing-masing. Dan kini aku telah duduk rapih menyiapkan diri untuk mengikuti pelajaran pertama.

Guruku  masuk, dan segera memberikan materi pelajarannya. Matematika, adalah pelajaran kesukaanku. Aku mulai menulis dan mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru ku. tiba-tiba sesuatu yang selalu mengganggu perutku muncul kembali. Sakit sekali.

“Aaaww..”keluhku perlahan. Tapi semakin lama, sakitnya semakit terasa. Aku remas-remas perutku, dengan harapan akan sedikit berkurang rasa sakitnya. Tapi tidak. Perutku semakin sakit, seakan ada yang menusuk-nusuk dari dalam. Aku tidak kuat lagi menahannya. Tangis ku pecah. Teman sebangku ku terus bertanya kenapa. Tapi aku terus menangis. Dan Guru ku akhirnya menghampiri.

“Ica kamu kenapa?, hah?. Kenapa menangis?.” Tanya guru ku keheranan.
“Sepertinya perutnya sakit lagi Bu.” Jawab Sumi teman sebangku ku.

“Ohh. Yasudah. Ica apa kamu mau pulang?. Tidak apa-apa kamu pulang saja ya. obati perut mu.” Ucap Bu Guru.

Aku hanya mengangguk dengan masih menahan rasa sakit di perutku. Sumi membantu ku membereskan buku dan memasukannya ke dalam ranselku.

“Kamu mau diantar?.” Tanya Bu Guru lagi.

“Tidak Bu.” Jawabku.

“Yasudah, hati-hati ya. Jangan lupa minum obat ya.”

Aku hanya mengangguk dan meraih tangan Bu Guru lalu dengan perlahan aku berjalan menuju rumah.

Sesampainya di rumah, segera aku baringkan tubuhku dan menangis terus menerus. Tidak tahu obat apa yang harus aku minum untuk meredakan sakitnya. Beruntunglah, Nenek ku belum berangkat ke ladang. Nenek mulai mengurut-urut perutku. Sedikit demi sedikit sakitnya reda. Aku mulai merasakan ingin membuang air besar. Tidak ada Toilet apalagi Kloset. aku biasa buang air besar di belakang rumah di bawah sebuah pohon yang sangat besar.

Aduhh.. perutku kenapa selalu sakit kaya gini ya. sebenarnya aku sakit apa?.” keluh ku saat buang air besar. Bukan kotoran yang aku keluarkan, tapi gumpalan darah. sudah hampir dua minggu ini, aku selalu merasakan sakit yang luar biasa di perutku. Tidak bisa menahan saat ingin buang air besar, dan telah beberapa kali aku mengeluarkan gumpalan darah saat buang air besar. Entah pnyakit apa yang ada diperutku ini. Disini tidak ada puskesmas apalagi Rumah Sakit. Aku hanya menunggu keajaiban dari Allah.

Maa.. Ica sakit apa yah?..” gumamku dalam kerinduan.

*****

Aku hanyut mengenang masa lalu. masa kecil yang penuh dengan kerinduan. Masa kecil yang memaksa ku untuk mandiri. Masa kecil yang mengajarkan ku banyak kesabaran. Penyakit radang usus itu, membuatku lemah dan takut. Tapi kini, aku berada di sini bersama kedua orang yang dulu selalu aku rindukan. Berjuang memperbaiki derajat keluarga, menggapai cita dan harapan kedua orang tua. Memperjuangkan hidup agar lebih bermanfaat untuk orang banyak dan mendapat penilaian yang jauh lebih baik di mata Allah SWT.

Andai saja Bapak tidak Mnjemput ku dan membawaku mengobati penyakit itu, entah dimana saat ini aku berada. Aku tidak pernah berfikir akan sampai duduk dan bersaing bersama orang-orang hebat di Kampus kebanggaan orang, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ica kecil yang penuh dengan kelemahan dan penyakit yang ia miliki, kini telah sampai pada perjuangan yang amat besar. Ica, beberapa hari lagi, kau akan Menghadapi Seminar itu. jangan takut, semua akan baik-baik saja. kau pasti bisa dan mampu melewatinya dengan baik. Berdoa dan berusahalah semampu mu. Toga telah di hadapan mata. Berjuanglah!” Gumamku dari hati yang terdalam. Seakan ada energi yang membuatku lebih kuat dan meredam rasa kekhawatiran itu. Aku pasti bisa dengan kekuatan dan Ridho Allah SWT.

*Mahasiswi Manajemen Pendidikan, FITK, UIN Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Perjalanan Hidup Para Penjudi
Next post Mengulik Anggaran SAA