*Penulis adalah Mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Program Studi Pendidikan Kimia
Read Time:4 Minute, 29 Second
Oleh: Siti Heni Rohamna*
Momentum 30 September tak lepas dari peristiwa berdarah Gerakan 30 September (G30S). Rencana pemutaran kembali film bersejarah berjudul Pengkhianatan G30S/PKI yang digagas oleh Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Gatot Nurmantyo pun menuai pro-kontra. Relevansi pemutaran kembali film sejarah itu pun mulai dipertanyakan.
Awalnya, film Pengkhianatan G30S/PKI bertujuan untuk melegitimasi kekuasaan Rezim Soeharto yang terkesan anti komunis. Sejak 1984, film ini menjadi tontonan wajib masyarakat Indonesia. Film berdurasi 217 menit ini juga menjadi sumber sejarah tunggal dalam memaparkan peristiwa ’65. Terlebih, masyarakat juga dilarang mengkritisi film ini. Mereka pun memilih bungkam demi mengamankan nyawa.
Dilansir Kompas.com, film garapan Arifin C. Noer ternyata masih memuat banyak adegan yang menuai perdebatan. Dalam film ini, Arifin mengacu pada catatan sejarah yang ditulis oleh sejarawan militer Nugroho Notosusanto bersama investigator Ismail Saleh. Laporan tersebut dimuat dalam buku berjudul Percobaan Kudeta Gerakan 30 September di Indonesia.
Salah satu adegan film yang menuai perdebatan yakni Pimpinan Comite Central Partai Komunis Indonesia Dipa Nusantara (D.N) Aidit digambarkan sebagai seorang perokok. Namun, adegan ini dibantah dalam Resolusi Dewan Harian Politbiro CC PKI tertanggal 5 Januari 1959. Resolusi ini menuliskan bahwa Aidit seringkali mengingatkan kawan-kawan partainya agar meninggalkan rutinitas merokok. Bantahan film itu pun ditambah dengan kesaksian adik D.N. Aidit bernama Murad Aidit. Ia mengatakan, seluruh anggota keluarganya memang bukan pecandu rokok.
Dalam film tersebut juga dilukiskan kisah penyiksaan tujuh Jenderal Angakatan Darat (AD) yang diculik ke Lubang Buaya. Di Monumen Pancasila Sakti sendiri terdapat deskripsi yang menyatakan tubuh para perwira tinggi AD disayat-sayat oleh anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Tak hanya itu, tujuh jenderal itu juga dicukil mata dan dipotong alat kelamin oleh para Gerwani.
Namun, kisah tersebut bertentangan dengan laporan visum pengakuan dokter yang didapat oleh sejarawan Ben Anderson. Data visum yang diungkap oleh Lim Joe Thay, Rubiono Kertopati, Frans Pattiasina, Sutomo Tjokronegoro, dan Liau Yan Siang tersebut menyatakan bahwa semua organ tubuh perwira AD masih utuh. Dalam laporan berjudul How did the General Dies? yang terdapat dalam Jurnal Indonesia edisi April 1987 disebutkan bahwa jenazah mereka hanya dipenuhi luka tembak.
Sementara itu, tarian erotis para aktivis Gerwani dalam rangkaian film itu dinilai sebagai bentuk propaganda. Adegan tersebut merujuk pada Media Cetak Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata. Menurut penelitian Saskia Elionora Wieringa yang berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia menyatakan, Gerwani memang salah satu organ terdekat PKI. Namun mereka tidak terlibat secara langsung dalam peristiwa G30S. Dalam buku Gerakan 30 September, Antara Fakta dan Rekayasa: Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah yang ditulis oleh Serma Bungkus juga menyatakan tidak ada adegan tarian erotis oleh Gerwani.
Selain itu, ada pemandangan yang sedikit membingungkan saat Letnan Jendral Soeharto memimpin orasi pemulihan keamanan pasca peristiwa G30S di ruangan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Di sana, terdapat peta wilayah Indonesia yang di dalamnya ada daerah Timor-Timur. Dalam buku garapan sejarawan Asvi Warman Adam Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa dituliskan bahwa kala itu Timor-Timur belum menjadi wilayah Indonesia.
Propaganda Penguasa
Menurut catatan Merdeka.com, sebelum resmi ditayangkan secara umum pada 1984, Presiden Soeharto dan beberapa oknum yang terlibat dalam peristiwa G30S menjadi orang pertama dalam menyaksikan film yang diproduseri oleh Nugroho Notosusanto tersebut. Presiden Soeharto termasuk sosok penting di balik pemutaran film Pengkhianatan G30S-PKI yang dipertontonkan secara masif setiap 29 September malam di saluran TV nasional maupun swasta. Demi melancarkan propaganda, film tersebut seolah menonjolkan kekejaman para pendukung komunis terhadap para jendral dan rakyat Indonesia.
Demi memuluskan propaganda, rezim Soeharto melarang masyarakat untuk memperbincangkan film tersebut. Penghianatan G30S/PKI seakan menjadi satu-satunya sumber sejarah Indonesia yang menceritakan narasi kekejaman komunis. Dalam sebuah survei yang dilakukan Majalah Tempo, 97 persen dari 1.101 siswa sudah menyaksikan film. Sedangkan 87 persen siswa mengaku telah menonton lebih dari satu kali.
Lengsernya Presiden Soeharto ternyata turut berdampak bagi kelangsungan pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI. Pascareformasi, banyak pihak yang meragukan keaslian sejarah dalam film tersebut. Berbagai protes pun turut diajukan oleh beberapa pihak. Salah satunya Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara Saleh Basarah yang merasa terus dipojokkan atas pemutaran film tersebut.
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis survei mengenai 15 tahun reformasi dan pendapat rakyat tentang kebijakan Presiden Soeharto. Dari 1200 responden, sebanyak 48,2 persen masyarakat menyatakan pemerintahan Soeharto adalah pemerintahan diktator. Seadngkan 28,9 persen menyebut demokratis dan sebanyak 22,9 persen lainnya mengaku tidak mengerti.
Menjadi Bangsa yang Melek Sejarah
Peristiwa G30S memang menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia. Insiden berdarah tersebut memang tidak bisa dilupakan. Luka lama yang telah lama ditutup rapat kini seakan dibangkitkan kembali melalui pemutaran kembali film Penghianatan G30S/PKI buah karya Arifin C. Noer.
Gagasan baru pun mulai diungkapkan oleh berbagai pihak. Salah satunya Presiden Joko Widodo yang mengusulkan pembuatan kembali film Pengkhianatan G30S/PKI versi milenial dengan tujuan edukasi. Namun, rekayasa sejarah yang bertujuan membangkitkan trauma massal tidak relevan dengan tujuan edukasi. Sejarah memang sering kali ditulis oleh para pemenang. Drama yang disajikan seakan digunakan sebagai ajang propaganda stigma masyarakat terhadap komunis. Selanjutnya digunakan sebagai batu loncatan untuk melegitimasi kekuasaan rezim Soeharto.
Seharusnya film sejarah yang dipertontonkan harus objektif dan tanpa mengagungkan rezim yang berkuasa. Akurasi sejarah harus diperhatikan. Tidak hanya mengacu pada satu sumber saja. Namun juga harus mengkaji berbagai literasi dan narasi sejarah dari sudut pandang yang berbeda. Keotentikan sejarah sangat penting. “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah,” seperti diungkapkan Bung Karno.
Average Rating