Phobia Komunisme Era Reformasi

Read Time:3 Minute, 45 Second
Oleh: Dimas Dwi Putra
Sudah menjadi rahasia umum rasanya bahwa militerisme era Orde Baru sangatlah kental. Mulai dari konstruksi cara berpikir, serta pelanggengan kekuasaan dengan cara apapun menjadi makanan sehari-hari masyarakat, yang akhirnya membuat masyarakat lambat laun sadar akan posisi dan memberontak karenanya.
Orde Baru menjadi trauma tersendiri bagi masyarakat Indonesia Era Reformasi, karena Orde Baru adalah salah satu masa kelam  yang pernah terjadi di Indonesia. Masyarakat telah ditinggalkan kejamnya rezim militer, rezim pengekang, dan rezim dimana matinya demokrasi, tetapi sangat disayangkan melihat kuatnya pengaruh salah satu warisan konstruksi alam fikiran Orde Baru yang telah dibentuk begitu hebat pada masanya dan telah tertanam dalam-dalam pada  setiap sanubari masyarakat Indonesia: phobia akan komunisme. Sebuah percobaan pembunuhan ideologi dengan melakukan pengalihan fakta sejarah, drama, propaganda, penggiringan opini, serta pembuatan film yang diputar setiap tanggal 30 September di TVRI dan memaksa siswa sekolah menontonnya sampai masa berakhirnya kepemimpinan Soeharto. Semua desain ini akhirnya berhasil menjadi sebuah phobia, keadaan dimana ketakutan akan komunisme muncul lagi di bumi Indonesia karena masa lalu berdarahnya. Phobia hebat yang butuh waktu lama untuk bisa merehabilitasinya.
Dengan adanya phobia ini, jelas masyarakat Indonesia masih sakit. Tanpa perlu tahu apa itu komunisme mereka mengutuk komunisme hanya dengan bermodalkan film penghianatan G30S/PKI garapan Alm. Arifin C Noer. Pembunuhan yang dilakukan para komunis Indonesia terhadap beberapa Jendral tahun 1965, menjadi stigma tersendiri yang menjadi-jadi. Bahkan karena phobia akan komunisme, pergerseran makna akan komunsime pun telah terbentuk. Komunisme yang secara substantif adalah sebuah usaha perjuangan kelas serta bertujuan menghilangkan segala penindasan yang diakibatkan oleh kapitalisme, telah diartikan secara buta sebagai anti-Tuhan, pembunuh, sekumpulan orang bodoh atau lebih radikalnya: anti-umat muslim. Komunisme diselewengkan sedemikian rupa. Jelas ini adalah hal yang salah karena  mengutuk secara buta adalah sebuah hal yang keliru.
Tahun 1965 memang menjadi sebuah trauma, dimana dilakukannya penculikan dan pembunuhan beberapa Jenderal oleh pasukan Cakrabirawa yang menamakan dirinya dengan nama gerakan 30 September (G30S). Propaganda terhadap keseolah-olahan sejarah ini mengerucut pada satu perspektif bersama yaitu kebencian akan komunisme.
Kemudian dari pada itu, dari banyaknya kontroversi sejarah yang perlahan mulai dibuka tabirnya, ada satu sejarah yang seakan ditutup-tutupi dan tidak sama sekali diceritakan pada buku sejarah manapun, yaitu pemusnahan masal terhadap para komunis dan simpatisannya dalam kurun waktu 1965-1966. Kita semua sepakat bahwasannya PKI berdosa karena telah melakukan pembunuhan terhadap beberapa Jenderal, di sisi lain harusnya negara mencari dalang atas pembunuhan sekitar 500.000 hingga 1 juta para komunis serta simpatisannya di Indonesia (Robert Clib, The Indonesian Killing of 1965-1966: Studies From Java and Bali). Bahkan beberapa penelitian menyatakan bahwasannya banyak dari korban yang tidak tahu menahu soal PKI, tetapi ikut menjadi korban lantaran di PKI-kan oleh orang-orang yang tidak menyukainya di luar masalah politik.
Masyarakat harusnya sadar akan hak untuk diberikan sejarah yang senyata-nyatanya. Pembubaran diskusi ‘Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966‘ yang digelar di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat pada Sabtu (16/9/2017) oleh masyarakat, dengan jelas mengungkapkan bahwasannya penolakan akan komunisme masih sangat hebat pada era di mana membaca buku apapun dan berdiskusi segala hal adalah hal yang dibolehkan. Lebih parah lagi, diskusi tersebut dicap sebagai penyebaran paham komunisme, yang berimbas pada dicap-nya LBH sebagai lembaga PKI. Harus diakui bahwasannya bangsa kita masih gemar merayakan kebodohan bersama.
Tidak menutup kemungkinan dengan maraknya anti PKI pada era Reformasi hari ini serta maraknya nonton bareng film penghianatan G30S/PKI, membuat masyarakat ingin lebih mencari tahu lalu mendapatkan perspektif lain akan peristiwa 1965 pada media-media alternatif. Karna akan sangat kontradiktif mengingat masyarakat yang sangat tegas menolak Orde Baru, tetapi sangat memuja film penghianatan G30S/PKI sebagai satu-satunya kenyataan sejarah yang nyata. Padahal disisi lain, Jajang C. Noer (istri Alm. Arifin C. Noer) mengatakan bahwa film ini adalah ‘pesanan’ pemerintah kala itu.
Perlu dibedakan bahwa institusi dan ideologi adalah 2 hal yang sangat berbeda. PKI adalah sebuah institusi yang pernah ada dan telah mati selama lebih dari 55 tahun ditambah dengan diterbitkannya TAP MPRS No.25/1966 tentang pelarangan marxisme di Indonesia. Akan tetapi ideologi adalah sebuah hal yang berbeda, ideologi ada dalam ide dan tidak akan musnah selagi karya-karya tentang komunisme masih ada. Pembunuhan atas ideologi adalah hal yang tidak mungkin dilakukan seperti yang dikatakan Alm. Gus Doer.
Tulisan ini bukan untuk membuktikan bahwa penulis adalah si Maha benar, tidak ada yang tahu sejarah yang sebenarnya terjadi, bahwasannya setiap individu masyarakat mempunyai versi sejarahnya masing-masing, yang akan ditafsirkan sesuai dengan kadar intelektualitasnya. Sudah seharusnya bangsa ini jujur pada sejarahnya.
*Penulis adalah Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Beastudi Etos Cetak Pemuda Kontributif
Next post Kupas Tuntas Peristiwa G30S PKI