sumber: Internet |
Read Time:2 Minute, 41 Second
Oleh Nurvienna Moeloek*
Saat ini kesetaraan gender tidak lagi menjadi wacana baru. Paham feminisme hadir sebagai penggerak dalam pembahasan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Pada awalnya, kemunculan paham feminisme di Dunia Barat menjadi penyelaras agar perempuan dan laki-laki mendapatkan hak yang sama.
Pasca revolusi industri, ditandai dengan munculnya sistem pembagian kerja dan buruh. Laki-laki di dalam rumah tangga adalah tulang punggung keluarga yang harus mencari nafkah di luar rumah. Sementara, perempuan menjadi penanggung jawab kerja domestik di dalam rumah. Perempuan hanya mengurusi persoalan rumah dan anak, tanpa diberi kesempatan untuk berkarier di ruang publik.
Kehadiran gerakan feminisme meruntuhkan sekat antara perempuan dan laki-laki. Gerakan ini menyuarakan, bukan hanya laki-laki yang mampu bekerja di luar rumah pun demikian dengan perempuan. Sementara revolusi industri hanya menempatkan peran perempuan pada urusan sumur, kasur dan dapur. Akan tetapi, paham feminisme berpandangan perempuan juga memiliki hak untuk mendapat pendidikan yang layak serta pekerjaan yang setara dengan laki-laki. Inilah yang menjadi akar-akar ide feminisme liberal.
Feminisme liberal mempunyai ide-ide dasar tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki di ruang publik. Ide tersebut tidak memandang perempuan dan laki-laki dari jenis kelamin, tetapi menekankan pada nilai personal. Nilai personal ini secara individual diperjelas, bahwa kemampuan laki-laki dan perempuan adalah sama dan setara, sebagai contoh di bidang pendidikan dan pekerjaan. Selain itu, gerakan ini hadir sejak era revolusi industri dengan isu yang diperjuangkan hak atas properti setelah menikah dan hak pilih.
Di Indonesia, perempuan dan laki-laki telah mendapatkan akses pendidikan yang layak. Tertera di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 48 UU bahwa perempuan berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai dengan persyaratan yang ditetukan. Dan faktanya perempuan sudah banyak yang menjamah pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Ini menandakan tidak ada pembeda dan sekat dari sisi biologis antara perempuan dan laki-laki di ranah pendidikan.
Semangat untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi bagi perempuan patut diapresiasi. Tak banyak dari mereka yang berasal dari golongan menengah ke atas. Sehingga, tak jarang faktor dan kondisi ekonomi membuat mereka harus bekerja untuk membiayai pendidikan yang ditempuh. Pekerjaan yang dilakukan pun beragam. Mulai dari mengajar, pramuniaga, pelayan restoran, atau kasir. Pekerjaan-pekerjaan tersebut juga bukan didorong faktor biologis, dimana secara jenis kelamin hal itu cocok digeluti oleh perempuan. Faktor upah dan juga lamanya jam bekerja adalah hal yang dipertimbangkan perempuan untuk menggeluti bidang tersebut.
Dampak dari mahasiswi yang bekerja ketika menempuh pendidikan di perguruan tinggi menjadi polemik. Tidak hanya dampak positif, dampak negatif pun akan timbul. Dampak negatif yang ditimbulkan berupa turunnya minat belajar disebabkan terkurasnya tenaga dan pikiran. Mahasiswi yang bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup, lebih lama menghabiskan waktu untuk bekerja dibanding menuntut ilmu. Selain itu, secara idealisme tugas mahasiswa yang menjadi agent of change dalam tatanan masyarakat pun terkikis.
Tugas pemerintah seharusnya menjadi penyelenggara pendidikan dengan baik, tetapi justru tidak berjalan sebagaimana mestinya. Termasuk tidak menjamin perempuan untuk bisa menempuh pendidikan dengan baik. Seharusnya, pemerintah memberikan jaminan bagi para perempuan untuk dapat mengenyam pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi sekalipun. Selain kebijakan berupa beasiswa dan kebijakan lain pun mesti direalisasikan agar perempuan di Indonesia lebih banyak yang maju lagi di kemudian hari.
*Mahasiswi Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta
Average Rating