Read Time:3 Minute, 44 Second
*Oleh: Maulana Ali Firdaus
Pada era modern ini, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi semakin mempermudah penyebaran arus informasi. Kini, hanya dalam beberapa sentuhan pada telepon pintar yang ada dalam genggaman, setiap orang memiliki kesempatan untuk memperoleh segala informasi. Media sosial tidak hanya memfasilitasi penggunanya untuk memperoleh berita terkini, namun juga berfungsi sebagai wadah yang menampung ilmu pengetahuan dan alat untuk menyebarkan paham.
Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, wajar jika penyebaran paham keagamaan di Indonesia begitu masif. Tentu hal tersebut tidak terlepas dari peran para ulama yang begitu sentral dalam menyebarkan paham keagamaan. Sebagai sosok yang digandrungi, tentu saja mereka memiliki pengikut yang dijadikan sasaran untuk disusupi berbagai pemahaman. Di saat paham tersebut telah merasuk pada diri pengikutnya, maka tidak menutup kemungkinan mereka akan menyebarkan paham yang diajarkan oleh gurunya.
Tidak adanya pengawasan ketat dalam penggunaan media sosial memberikan keleluasaan bagi para penggunanya. Hal tersebut menimbulkan berbagai pemahaman yang ada di dalamnya begitu mudah dipelajari kemudian disimpulkan secara sepintas, tanpa guru, bimbingan, bahkan pengawasan. Apalagi Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Setiap orang berhak berargumen dan menyebarkan paham apapun selama dianggapnya tidak melenceng dengan norma-norma yang bertentangan.
Permasalahan yang muncul seiring dengan semakin mudahnya akses terhadap media sosial, maka akibat yang ditimbulkannya adalah penyebaran informasi yang kian hari semakin sulit dibendung. Apalagi masalah paham-paham keislaman yang terpecah-pecah karena terlalu banyaknya aliran yang saling berseberangan. Hal tersebut dikhawatirkan akan mempengaruhi pandangan orang awam, karena mereka hanya sekadar membaca atau menyaksikan melalui jejaring sosial, kemudian menyimpulkan secara sepihak tanpa bimbingan dari ahlinya.
Berkenaan dengan hal tersebut, belakangan ini Indonesia dikejutkan dengan berbagai musibah yang kian hari kian melanda. Bencana alam mulai dari gempa bumi, tsunami, hingga erupsi gunung berapi, seolah-olah menjadi momok yang menakutkan bagi segenap insan di Bumi Pertiwi. Namun ketika bencana telah terjadi, selalu ada oknum yang memanfaatkan momen tersebut untuk tampil seolah-olah mereka lah yang paling hebat dalam mengamalkan ayat suci. Selain itu, mereka mengaitkan bencana dengan azab Ilahi dengan maksud mengajak manusia untuk mawas diri.
Memang, sah-sah saja apabila berpikir demikian. Sebagai manusia yang beriman, tentu saja harus memiliki kepercayaan terhadap ayat-ayat untuk dijadikan pedoman. Tidak ada salahnya mengaitkan bencana dengan azab Tuhan, karena memang ada banyak dalil yang menyatakan macam-macam peringatan. Namun tak elok rasanya bila mengaitkan dogma-dogma keagamaan yang sifatnya teguran di tengah-tengah masyarakat yang sedang ditimpa kesulitan, apalagi negeri ini tidak hanya dihuni oleh umat Islam yang berpedoman pada Alquran.
Jika dilihat dari letak dan kondisi geografisnya sendiri, Indonesia merupakan salah satu negara dengan risiko bencana alam tertinggi. Hal ini dikarenakan posisi Indonesia dikelilingi oleh tiga lempeng tektonik dunia yakni Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Apabila ketiga lempeng tektonik itu bertemu, maka akan menghasilkan tumpukan energi yang memiliki ambang batas tertentu.
Selain itu, Indonesia juga berada pada Pasific Ring of Fire (cincin api) yaitu jalur rangkaian gunung api paling aktif di dunia yang membentang sepanjang lempeng Pasifik. Zona ini memberikan kontribusi hampir 90 persen dari kejadian gempa di bumi dan hampir semuanya merupakan gempa besar di dunia. Tanpa perlu dikaitkan dengan ayat suci pun, negeri ini sudah ditakdirkan dengan kenyataan bahwa masyarakatnya harus siap dengan konsekuensi geografis yang rawan akan bencana.
Merajalelanya kemaksiatan seringkali dianggap sebagai pemicu bencana alam, tetapi dalam kenyataannya, Indonesia adalah negara yang populasi muslimnya paling besar. Jika dibandingkan dengan negara lain yang mayoritas penduduknya non-muslim, seperti Korea atau negara-negara Eropa, lalu yang dibicarakan adalah terkait kuantitas kemaksiatan seperti mabuk-mabukan, seks bebas, LGBT, dan sejenisnya. Tentu saja warga di negara-negara tersebut lebih sering melakukan hal tersebut karena mereka tidak berpedoman pada Alquran.
Jika dikaitkan dengan Alquran, secara teori negara-negara tersebut memiliki potensi bencana yang jauh lebih besar, akan tetapi yang terjadi di lapangan adalah faktanya tidak demikian. Bukan berarti Alquran tidak dapat dibenarkan, hanya saja dalil-dalil keagamaan itu lebih baik cukup dijadikan pedoman bagi para penganutnya untuk menunjukkan ketakwaan dirinya pada Tuhannya. Ketika sekelompok orang tertimpa bencana, jangan sampai spirit untuk mendoakan para korban dikalahkan oleh cacian dan tuduhan dengan anggapan mereka tidak beriman.
Mematuhi agama adalah sebuah kewajiban, salah satunya dengan beriman kepada kitab suci. Agama juga mengajarkan penganutnya untuk berbuat kebajikan, salah satunya dengan tidak menyakiti. Agama juga mengajarkan penganutnya sifat-sifat kemanusiaan, salah satunya dengan berempati. Belajar agama juga diperlukan adanya sebuah bimbingan, agar lebih bijak dalam menyimpulkan serta bertoleransi. Karena ilmu tanpa bimbingan, bagai lentera di tangan bayi.
Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Semester 3
Average Rating