Oleh: Silva Hafsari*
Baru-baru ini lewat unggahan video dari akun Instagram @komahi_uryang berjudul ”Sexual Harassment In HI FISIP” sontak membuat publik menggelengkan kepala. Siang itu, pada 27 Oktober 2021, pukul 12.30 korban merupakan mahasiswi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Riau (Unri) berinisial “L” yang hendak bimbingan skripsi di ruangan Dekan FISIP Unri, Syafri Harto.
Ribuan simpati memenuhi kolom komentar lewat video unggahan itu. Dalam videonya, Syafri mengawali bimbingan dengan percakapan yang mengarah pada personalitas. Selain itu, beberapa kekerasan verbal seperti ungkapan “I love you” menimbulkan unwelcome attention bagi L. Sehingga aktivitas seksual tanpa persetujuan korban dapat dikategorikan sebagai kekerasan.
Kasus pelecehan dan perkosaan di lingkungan kampus sebagai rahasia umum kini sedang hangat dibicarakan. Berbagai pendapat dan kritik mulai bertebaran di media massa. Menanggapi hal ini Noval Setiawan, kuasa hukum L menegaskan kelanjutan kasus akan dibawa ke Kepolisian Daerah (POLDA) Riau.
Masyarakat kita menganggap pelecehan dengan tendensi seksual merupakan peristiwa yang dianggap wajar karena sexual harassment dinilai sebagai hal tabu dan tidak pantas dibicarakan di muka umum. Maka dengan alasan inilah korban pelecehan seksual lebih memilih diamdan menyimpan kejadian yang dialami. Sehingga kasus tersebut terkadang hanya menjadi kabar yang terbang dari mulut ke mulut. Kesiapsediaan menerima berbagai sanksi sosial, seperti dijauhkan, dikucilkan dan disalahkan di masyarakat tanpa sebuah persamaan perspektif gender juga harus diterima korban.
Akan tetapi L tidak tinggal diam, Ia berani bersuara dengan melapor kepada salah satu dosen Hubungan Internasional terhadap hal yang telah dialaminya. Awalnya L mengira dengan pelaporan tersebut dukungan akan berpihak padanya. Namun sayang beribu sayang L hanya menjadi kambing hitam, bahkan mengalami viktimisasi dari pihak dosen karena alasan tidak menggunakan SK dalam bimbingan proposal dibanding memandang kasus pelecehan seksual sebagai tindak kriminal.
Kasus sexual harassment ini berujung saling lapor antara pihak korban dan pelaku, di sisi lain pelaku menggugat kasus atas dugaan pencemaran nama baik yang akan berefek pada keluarganya. Meski begitu, video unggahan yang dijadikan barang bukti belum mampu menguatkan pelaporan tersebut.
Rape Culture merupakan istilah yang cocok dalam kasus ini. Menurut Oxford Dictionaries, Rape Culturedipahami sebagai istilah untuk menggambarkan suatu masyarakat ataupun lingkungan yang terkesan menyepelekan pelecehan seksual. Bahkan, masyarakat memiliki tendensi untuk menyalahkan korban atau victim blaming.
Adapun menurut Defirentia One Muharomah, Program Development Officer dari organisasi Rifka Annisa, pelecehan dengan tendensi seksual merupakan peristiwa yang dianggap wajar dan bisa mengintai dimana saja. Hal ini bisa terjadi di jalan, pasar, fasilitas umum bahkan sekelas universitas sekalipun. Kesalahan-kesalahan inilah yang sudah mengakar di masyarakat sehingga sukar dihapuskan.
Kasus serupa ini juga terjadi pada Agni salah satu mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia mengalami kesulitan sama seperti L untuk melaporkan kasus kekerasan yang diterimanya oleh pelaku terduga, Hardika Saputra. Lewat berita yang diterbitkan oleh Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung berjudul “Nalar Pincang UGM atas kasus pemerkosaan” yang jelas menggambarkan ketidakadilan penegakan hukum dan keterlambatan dalam mengelola kasus Agni sehingga berhasil menimbulkan beragam pendapat publik.
Agni mengalami paranoia berat atas kekerasan yang menimpanya. Bahkan pandangan miring yang menjurus pada “viktimisasi” dan diskriminasi korban harus Agni terima selain hanya menanggung nasib kelam yang telah merusak masa depan. Lingkungan kampus yang seharusnya menjadi lembaga berlandaskan kajian ilmiah, secara tidak langsung merawat Rape Culture dan tidak menjunjung pada kebenaran yang seharusnya diperjuangkan.
Pesan Kartini dalam membela hak-hak wanita ibarat harga sebongkah berlian yang patut dibayar untuk harapan utopis dalam mengejawantahkan hak-hak dan rasa aman. Sebagai anggota masyarakat sekaligus mahasiswa, tentunya kita perlu merawat nilai-nilai kemanusiaan yang mulai hilang. Karena membela kebenaran merupakan kewajiban tanpa harus menunggu viral suatu kabar.
*Penulis merupakan mahasiswi program studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Average Rating