Oleh: Nala Zakina Zuhaida*
Wartawan tak seharusnya dipidana akibat produk jurnalistik yang Ia buat. Namun hingga kini, masih terdapat oknum yang salah kaprah mengenai prosedur pelaporan produk jurnalistik.
Pengadilan Negeri Palopo, Sulawesi Selatan (Sulsel), menjatuhkan vonis tiga bulan penjara terhadap Asrul. Ia adalah wartawan yang ditangkap atas tudingan pelanggaran Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan pidana menyiarkan kabar yang menimbulkan keonaran, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), usai tulis berita kasus dugaan korupsi.
Sebelumnya, Asrul dilaporkan oleh Ketua Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Palopo, Farid Kasim Judas. Ia keberatan terhadap tiga berita dugaan korupsi yang ditulis Asrul di media online berita.news pada Mei 2019 lalu. Berita yang disoal pertama adalah berita dengan judul, ‘Putra Mahkota Palopo Diduga ‘Dalang’ Korupsi PLTMH dan Keripik Zaro Rp 11 M’ yang dimuat pada 10 Mei 2019.
Berita lainnya adalah ‘Aroma Korupsi Revitalisasi Lapangan Pancasila Palopo Diduga Seret Farid Judas’ yang dimuat pada 24 Mei 2019. Serta berita berjudul ‘Jilid II Korupsi jalan Lingkar Barat Rp5 M, Sinyal Penyidik Untuk Farid Judas?’ yang terbit pada 25 Mei 2019.
Pakar Hukum Media dan Pers dari Universitas Airlangga, Herlambang Perdana Wiratraman mengatakan, kasus Asrul tidak semestinya masuk ke meja hijau. Menurutnya, berita yang dilaporkan tidak pernah melalui mekanisme penyelesaian sengketa di Dewan Pers sesuai amanat UU Pers. Dilansir dari beritabangsa.com.
Melansir dari detik.com, kuasa hukum Asrul, Aziz Dumpa, berkomentar bila berita yang ditulis Asrul merupakan produk jurnalistik, yang apabila ada pelanggaran atau kesalahan, maka yang mesti dituntut ialah media tempat Asrul bekerja. Kondisi inipun lantas menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan kebebasan pers. Ia menilai, kasus Asrul dikhawatirkan mendorong jurnalis tidak profesional karena takut bersikap kritis.
Dewan Pers dikatakan sudah turun tangan dalam kasus ini. Hasil ini berdasarkan surat yang dikirimkan koalisi advokat untuk kebebasan pers dan berekspresi, kelompok yang menjamin hak-hak hukum Asrul, kepada Dewan Pers pada 4 Maret 2020 lalu. Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh melalui Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers Nomor 187/DP- K/III/2020 menyimpulkan karya Asrul adalah produk jurnalistik.
Nuh memerintahkan perkara Asrul ditangani oleh Dewan Pers terlebih dahulu sesuai amanat UU 40/1999 tentang Pers. Hal ini Berdasarkan nota kesepahaman antara Dewan Pers dengan kepolisian No: 2/DP/MoU/II/2018 dan No. B/5/II/2017 tentang Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
Menurut penulis, Kasus yang dialami Asrul telah melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998 pasal 1 ayat (1), tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum , yang menegaskan bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak mendasar dalam kehidupan yang dijamin dan dilindungi oleh negara.
Ada pula UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yang mana dalam pasal 14, 23, 24, dan 25 menyatakan perlindungan dalam kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat maupun menyampaikan informasi.
Berita yang ditulis Asrul di media sosial merupakan kebijakan keredaksian perusahaan pers. Jika ad wartawan yang salah dalam penulisan berita, maka wilayah kewenangan berada pada dewan pers seperti koreksi dan permohonan maaf. Tetapi belakangan ini kebebasan berpendapat terkadang mengalami penyempitan ruang publik baik secara lisan maupun tulisan. Padahal terlihat jelas UU Pers yang melindungi etika kewartawanan. Wartawan haruslah kritis, dan memegang kode etik jurnalistik (KEJ) dalam penyampaian berita.
*Penulis merupakan mahasiswi jurusan Tarjamah Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta
Average Rating