SOP KS di UIN Jakarta belum rampung sempurna. Unit Layanan Terpadu (ULT) juga belum terbentuk sehingga sosialisasi masih tertunda. Di sisi lain, terdapat beberapa catatan penting agar SOP ditinjau kembali.
Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Standar Operasional Prosedur (SOP) Kekerasan Seksual (KS) secara resmi telah diratifikasi pada Juli lalu. Lingkar Studi Feminis (LSF) mengadakan agenda bedah SOP KS UIN Jakarta yang dihadiri Koordinator Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Iin Kandedes serta perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta Dian Novita, Sabtu (20/8).
Koordinator PSGA UIN Jakarta, Iin Kandedes menuturkan, SOP KS yang saat ini dimiliki kampus merupakan tindak lanjut dari keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019 serta Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021. Pasalnya, belum semua Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) memiliki SOP KS.
SOP KS dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama, tuturnya, jika terjadi kasus KS, korban dipersilakan melapor melalui Unit Layanan Terpadu (ULT) yang nantinya melibatkan seluruh fakultas di UIN Jakarta. Selanjutnya, ULT akan membentuk tim pencari fakta untuk menindaklanjuti pengaduan, kemudian memberikan rekomendasi dengan melihat tingkatan kasus.
Lanjut, Kandedes mengatakan meski SOP KS sudah diratifikasi sejak Juli lalu, namun hingga kini pihaknya belum mensosialisasikan SOP tersebut secara massal, sebab ULT yang dicanangkan belum terbentuk. “Dari 17 UIN baru 8 UIN yang mempunyai SOP untuk kekerasan seksual,” ujar Kandedes (20/8).
Perwakilan Lingkar Studi Feminis, Rizki Mareta memaparkan hasil analisisnya terkait SOP KS melalui perspektif korban. Menurutnya, untuk mencegah dan menangani kasus KS, kebijakan yang dibuat mesti berdasarkan perspektif korban. “Kita yang tidak mengalami KS perlu mengetahui dan memposisikan diri sebagai korban,” ucap Mareta (20/8).
Mareta memberikan ulasannya terkait pasal-pasal yang ada pada SOP tersebut. Menurutnya, pasal 1 hanya memuat peraturan terkait pelapor, namun tak memuat peraturan terkait pendamping korban. Padahal, kata dia, kehadiran pendamping korban sangat penting dalam penanganan KS. Ia melanjutkan, dalam pasal 6 disebutkan bahwa pihak ULT hanya terdiri dari sebagian fakultas saja. Padahal mestinya ULT melibatkan partisipasi civitas academica dari seluruh fakultas.
Mareta juga menyebutkan, terkait penanganan dan penindakan terhadap pelaku KS pada pasal 10, tidak diatur secara jelas sanksi bagi pelaku. Dalam pasal tersebut hanya tertulis sanksi bagi pelaku berdasarkan putusan Komite Etik. Selain itu, tak tertulis secara jelas terkait pihak yang tergabung dalam Komite Etik. Mareta berharap pasal tersebut menjelaskan secara detail sanksi bagi pelaku.
Perwakilan LBH APIK Jakarta, Dian Novita menyarankan perlu penambahan beberapa poin pada pasal 4 ayat 2 terkait prinsip pencegahan. Prinsip yang terdapat dalam SOP KS saat ini, katanya, baru terdiri dari lima poin, yakni keadilan, tidak diskriminatif, terintegrasi fisik dan non-fisik, melibatkan semua pihak, dan edukatif. Dian mengusulkan agar ditambahkannya beberapa poin, yaitu berdasarkan kepentingan terbaik bagi korban, independen, serta adanya jaminan agar tidak terulang.
Lebih lanjut, ia memberikan catatan pada pasal 8 terkait definisi pendamping. Dian mengatakan, kata pendamping yang dimuat dalam pasal tersebut tak menjelaskan secara komprehensif terkait pihak yang dimaksud sebagai pendamping.
Dian juga mempertanyakan keterlibatan mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan dalam pasal penanganan dan pemulihan di kampus, sebab SOP hanya memuat frasa mahasiswa dalam tindak pencegahan. “Mendengarkan suara mahasiswa itu penting karena pelaporan biasanya kepada teman terdekat dan organisasinya,” tegas Dian (20/8).
Reporter: Nurul Sayyidah Hapidoh
Editor: Haya Nadhira, Nur Hana Putri Nabila
Average Rating