Read Time:3 Minute, 41 Second
Oleh: Muhammad Teguh Saputro
“UIN Jakarta Menyambut Mahasiswa Baru dengan Segudang Permasalahannya.”
Rentan waktu Juli sampai Agustus bagi setiap kampus di Indonesia adalah momen di mana ajang mempromosikan, merias diri, mengkampanyekan, bahkan menyulap tiap bagian kampus sebagai kebanggaan sebuah almamater. Tak terkecuali UIN Jakarta yang dengan bangga dan sok optmis memposisikan diri sebagai wajah dan mercusuar perguruan tinggi Islam yang masuk dalam deretan daftar perguruan tinggi negeri favorit dan terbaik di Indonesia.
Namun sedikit aneh dan di luar akal nalar mahasiswa – sebagai masyarakat kampus – menilai persiapan pimpinan UIN Jakarta dalam menciptakan kesan ucapan selamat datang bagi mahasiswa baru di kampus Islam yang “katanya” terbaik di Indonesia. Alih-alih menunjukkan paras kualitas yang membuat bangga, pihak pimpinan universitas malah menciptakan bejibun masalah yang membuat mahasiswanya menutup muka dan mengelus dada.
Gaung menuju kampus internasional ditambah nafas baru setelah pergantian pimpinan universitas dengan mengukirkan sejarah untuk pertama kalinya rektor perempuan memimpin UIN Jakarta, tidak menjadi pecutan semangat pihak universitas dalam membenahi baik kondisi fisik maupun kualitas kampus UIN Jakarta sendiri. Pihak pimpinan di bawah nahkoda baru Amany Burhanuddin Umar Lubis seakan menantang sistem lama dengan ambisi perubahan yang malah membawa UIN Jakarta ke jurang permasalahan. Satu demi satu permasalahan yang membenturkan pihak pimpinan universitas dengan mahasiswa menjadi agenda pengetahuan baru sebagai ucapan selamat datang bagi mahasiswa-mahasiswa baru.
Membuka kembali lembaran-lembaran catatan di beberapa bulan sebelum musim orientasi mahasiswa baru, kampus UIN Jakarta sempat ramai diperbincangkan berbagai media bahkan media nasional terkait sistem Pemilihan Umum Raya (Pemira) berbasis elektronik. Sistem pemilihan baru dalam demokrasi mahasiswa tersebut melahirkan berbagai kejanggalan dan penolakan. Penundaan waktu Pemira yang mengganggu kalender kerja organisasi-organisasi intra kampus tersebut membuka tabir spekulasi bahwasanya terdapat isu-isu yang mencoreng nama baik kampus – meski sampai saat ini hanya sekadar isu – namun sempat menjadi heboh di jagat media sosial dengan tagar “UIN sedang tidak baik-baik saja.”
Tidak lama setelah redupnya masalah e-vote dan isu lobi-lobi jabatan pimpinan universitas, kekecawaan mahasiswa kembali sengaja dipancing dengan keputusan pemindahan kampus bagi beberapa jurusan di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk dipaksa menempati gedung kampus baru Pendidikan Profesi Guru Sawangan yang terkesan prematur dan minim fasilitas.
Keputusan yang tergesa-gesa dan berat sebelah tersebut memunculkan berbagai protes yang hanya menjadi angin berlalu bagi pihak pimpinan universitas yang baru. Tidak berhenti menantang arus gelombang, kampus UIN Jakarta sempat dihebohkan dengan dengan munculnya surat keputusan tentang drop out 800 lebih mahasiswa dengan berbagai latar belakang masalah. Meski sempat dibantah langsung oleh Rektor UIN Jakarta, tindakan universitas membuat heran sebagaian besar mahasiswa. Ya kalau saya sebagai mahasiswa yang mendengarnya geleng kepala sambil sambat, ”maunya ibu Rektor apasih?”
Melewati tahap penerimaan mahasiswa baru, dengan mencatat 6.000 lebih mahasiswa baru yang diterima di UIN Jakarta, abang-abang senior dan kakak-kakak senior terpaksa melupakan masalah lama dengan fokus menyiapkan konsep dan konten terkait PBAK (Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan); sebutan masa orientasi mahasiswa baru atau Ospek di UIN Jakarta. Di tengah jalannya proses penyambutan mahasiswa baru, pihak universitas kembali membuat kaget masyarakat kampus UIN Jakarta. Masih segar nuansa Milad UIN ke 62 yang mengangkat tema Moderasi Beragama, aturan pelarangan pemakaian cadar bagi mahasiswa baru dikeluarkan. Lagi-lagi di luar nalar mahasiswa. ”Katanya sih moderasi, kok ya malah bikin aturan yang primitf gini, mbok ya yang serasi toh Bu!”
Belum selesai masalah cadar, universitas terkesan ruwet terkait sistem birokrasi. PBAK yang menjadi hajat bersama universitas dan mahasiswa dalam memperkenalkan budaya kampus, anggaran mengenai pelaksanaan kegiatan belum menemukan titik kejelasan. Sampai saat ini, menurut pengakuan beberapa panitia kegiatan, pihak kepanitiaan masih menjalankan persiapan dengan keadaan kantong kosong dan harap-harap cemas. Kelambanan masalah anggaran ini jelas mengganggu kinerja panitia dan mengkhawatirkan kesuksesan acara.
Tidak bosan membuat kegaduhan, pihak universitas kembali membuat mahasiswa memutar kepala. Sudah bingung masalah informasi pembayaran Uang Kuliah Tunggal bagi mahasiswa lama yang tidak ada kejelasan terkait deadline terakhir pembayaran, tempat berdirinya stand pendaftran ulang PBAK berbagai fakultas di taman depan akademik pusat mendapat pengusiran mendadak dan tanpa pemberitahuan hanya karena alasan perbaikan dan perawatan taman (16/8). ”Haduh pegel bu, mikir sampeyan.”
Terakhir, tulisan ini bukan aksi protes apalagi usaha perlawanan menggoyahkan kursi pimpinan rektor yang menuju usia genap setahun. Ini adalah sedikit informasi bahwasanya kampus UIN Jakarta mempunyai cara unik tersendiri dalam memberi ucapan selamat datang bagi mahasiswa barunya dengan bejibun keabsurdan permasalahan kampusnya. “Selamat datang mahasiswa baru, untuk bu Rektor, mbok ya dengan cara lebih sadis kalau mau bikin bingung mahasiswamu.”
Average Rating