Mengais Rezeki sambil Lestarikan Budaya

Mengais Rezeki sambil Lestarikan Budaya

Read Time:2 Minute, 54 Second
Mengais Rezeki sambil Lestarikan Budaya

Musisi jalanan seringkali dianggap sebagai benalu oleh sebagian masyarakat. Namun tetap tak mengurangi populasi mereka, bahkan kian bertambah jenisnya, salah satunya ialah musisi angklung jalanan.


Di tengah kemacetan ibu kota, terdengar suara alunan musik tradisional. Terlihat tiga orang memainkan alat musik perpaduan antara angklung, bedug drum, dan kecrak. Sedang dua orang lainnya menjadi tukang sawerjuru penerima uang, di antara banyaknya kendaraan yang berjejer. Pekerjaan itulah yang setiap hari dilakukan oleh musisi angklung jalanan.


Kliwon, salah satu musisi angklung dari Sanggar Binaremaja menceritakan awal mula adanya musisi angklung jalanan di Jakarta. Berawal dari tahun 2010, orang-orang Cilacap merantau ke ibu kota untuk bekerja sebagai musisi jalanan. Pada saat itu, setiap musisi memakai pakaian khas dengan sandal karet dan dilengkapi alat musik tradisional angklung. “Nama sanggar pertama ialah Kencono Wulung,” ujarnya, Jumat (23/9).


Lanjut, Kliwon menceritakan sanggarnya telah berdiri sejak tahun 2013. Setiap hari mereka, musisi yang beranggotakan lima orang itu, berkeliling ke sekitar Jabodetabek. “Tidak ada estimasi waktu, kami berangkat siang hari dan pulang malam hari, biasanya satu Minggu kami fokuskan ke satu daerah,” ucapnya, Jumat (23/9).


Seiring berjalannya waktu, sanggar musisi jalanan terus bermunculan, seperti halnya Sanggar Laras Wulung. Widi, salah satu musisi jalanan Sanggar Laras Wulung mengungkapkan, sanggarnya lebih sering mangkal—berhenti di satu titik, daripada berkeliling. Laras Wulung terdiri dari empat kelompok yang tersebar di sekitar Tangerang Selatan dan Jakarta, di antaranya Cipete, Pondok Pinang, dan depan Komplek Universitas Indonesia (UI) Ciputat. Satu kelompok musisi Laras Wulung terdiri dari lima orang. “Setiap pagi, siang, sore, kami pasti mangkal, apalagi ketika jalan ramai atau sedang macet,” ujarnya, Rabu (21/9).


Kliwon mengungkapkan, musisi jalanan menjadi pekerjaan utamanya. Ia kerap kali merasakan pahitnya kehidupan. Setiap hari mereka naik angkot untuk pergi mangkal dan keliling. Normalnya, dalam satu hari, mereka biasa mendapat penghasilan 100 ribu rupiah. Jika sedang tak beruntung, mereka hanya mendapat sekitar 10 hingga 50 ribu rupiah perhari. Bahkan jika kondisi cuaca tak mendukung, mereka tak bisa keluar untuk mencari nafkah. “Rezeki sudah ada yang mengatur, kita nikmati dan syukuri yang ada, dalam kerja pasti ada susah senangnya,” ungkapnya, Jumat (23/9).


Kliwon mengungkapkan, bahwa menjadi musisi jalanan adalah pilihan hidup mereka. Selain untuk bekerja, Ia ingin memberitahu kepada khalayak umum bahwa budaya angklung itu tidak untuk dilupakan. Menurut pengalaman Kliwon, ia sering dicemooh ketika tengah bermain musik. Namun ia paham bahwa memang tak semua orang menyukai musik yang berisik, “mohon jangan mencemooh kami, soalnya kami memang kerjanya bermain musik jadi berisik,” ujarnya, Jumat (23/9).


Sebagai musisi jalanan, mereka pun sempat mendapat perlakuan tak enak dari aparat, salah satunya ialah diusir oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), karena dinilai menyalahgunakan tempat. “Kami memahami, mereka bertugas, dan kami mangkal di jalan umum, jadi wajar. Kami tidak kriminal jadi biasanya dikasih teguran saja,” ujar Kliwon, Jumat (23/9).


Namun sama seperti Kliwon, Widi pun menganggap seni budaya angklung harus dilestarikan. Menurut Widi, belajar bermain angklung memang butuh proses, yang terpenting adalah kemauan. “Kami ingin mengembangkan dan mempertahankan seni budaya ini karena termasuk musik tradisional dan juga biar tidak hilang,” ucapnya, Rabu (21/9).


Widi dan Kliwon mempunyai harapan yang sama, bahwa mereka mengharapkan pemerintah memberikan tempat khusus untuk mereka bekerja dan bermain musik. Mereka menilai cukup banyak resiko jika terus bermain musik di jalan. Selain itu, mereka berharap agar masyarakat menghargai dan menghormati musisi jalanan. “Harapan kami tidak banyak, cuman jangan acuhkan kami, kalau tidak punya seenggaknya sopan bilang maaf, jangan hanya diam,” pungkas Kliwon, Jumat (23/9).


Reporter: M. Naufal Waliyyuddin

Editor: Sekar Rahmadiana Ihsan

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Azra Tutup Usia, Negara Berduka Previous post Azra Tutup Usia, Negara Berduka
Hidupkan Gairah Seni Maya Lewat Personalia Next post Hidupkan Gairah Seni Maya Lewat Personalia