Senantiasa Menunggu, Nasib Tukang Gali Tak Menentu

Senantiasa Menunggu, Nasib Tukang Gali Tak Menentu

Read Time:3 Minute, 4 Second
Senantiasa Menunggu, Nasib Tukang Gali Tak Menentu

Sebagian orang memilih jalan hidupnya sebagai tukang gali.  Demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka rela menunggu di pinggir jalan agar jasanya terpakai.


Puluhan kendaraan berlalu-lalang di sepanjang jalan dekat tugu perbatasan Jakarta dan Tangerang Selatan pada Minggu (07/01). Terpaan sinar matahari siang kala itu, membakar kulit hingga rasa perih menjalar di lorong-lorong pembuluh darah. Beberapa orang dengan wajah letih tampak berteduh di bawah pohon rindang. 

Mereka adalah tukang gali yang sedang menunggu dengan harapan ada orang datang memakai jasanya. Kaos longgar dan celana lusuh yang mereka pakai sudah menjadi teman setia di setiap harinya. 

Wahrudin (48) merupakan salah satu di antaranya. Pria asal Brebes itu setia menunggu panggilan untuk menggali tanah di setiap harinya. Wahrudin biasanya mangkal mulai pukul enam pagi hingga lima sore di pinggir Jalan Ir. H. Juanda.  “Saya menjalani profesi sebagai tukang gali ini sudah lama, sejak 1994,” kata Wahrudin, Minggu (07/01).

Bekerja sebagai tukang gali hanya untung-untungan. Wahrudin mengaku sudah tiga minggu tidak menerima orderan menggali. Pendapatan dari jasa menggali memang cukup besar, kata Wahrudin, namun orderan tidak menentu di setiap harinya. “Sekali kerja kadang bisa sampai 200 atau 300 ribuan. Tergantung siapa yang menyuruh dan apa tugasnya,” jelasnya.

Awalnya, sebelum menjadi tukang gali Wahrudin merupakan kuli bangunan. Upah tukang gali yang lebih menjanjikan Wahrudin tempuh demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, alih-alih mendapat upah yang lebih mencukupi, Wahrudin harus menerima kenyataan pahit bahwa tukang gali belum dapat memenuhi harapannya. “Orderan kadang ada, kadang juga tidak ada,” ujarnya.

Wahrudin bersama rombongannya tak hanya mangkal di pinggir jalan. Sesekali mereka juga keliling menjajakan jasa menggali sembari melepas penat karena terlalu lama duduk. Penjajakan tersebut kadang membuahkan hasil, ada saja orang yang memberi mereka pekerjaan walaupun hanya sekadar membersihkan pekarangan rumah. “Keliling saja dulu, mungkin nanti ada rezeki di sana,” katanya.

Pandangan Wahrudin melayang jauh memandang bentangan langit yang luas. Sesekali menghela nafas sembari menyeruput kopi di depannya, Wahrudin mengingat kisah pilu selama menjalani hari-harinya sebagai tukang gali. Mulai dari pesanan palsu, hingga upah yang tak kunjung diberikan setelah bekerja sudah pernah ia rasakan. “Mungkin itu juga sudah takdir kami, jadi dinikmati saja,” sebutnya. 

Wahrudin melanjutkan, tukang gali masih ia geluti lantaran mencari pekerjaan sangatlah susah. Demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga, ia tetap tegar menjalani pekerjaannya sebagai tukang gali. “Orang-orang kecil seperti kami mau kerja apalagi?” tanya Wahrudin.

Selain di pinggir Jalan Ir. H. Juanda, ada pula tukang gali yang mangkal di Terowongan Cipayung, Jakarta Timur. Ahmad Hidayat (35), pria asal Brebes itu salah satunya. Hidayat sudah menekuni pekerjaan itu sejak 2008. Mulanya, ia berkeliling menjajakan jasa menggali. Tak kunjung mendapat orderan, ia memutuskan mangkal di Terowongan Cipayung. “Sekarang orang sudah tahu kami di sini (Terowongan Cipayung), jadi tinggal menunggu orderan saja,” sebut Hidayat, Minggu (07/01).

Hidayat melanjutkan, bekerja sebagai tukang gali tidaklah mudah. Galian yang susah dengan upah tak sepadan bukan lagi keadaan yang jarang bagi Hidayat. Tak hanya itu, Hidayat sering bekerja tanpa upah. Hal tersebut, lantaran mandor yang membawanya bekerja sering tidak ada setelah pekerjaannya usai. “Upah menggali tergantung galiannya. Kadang dapat seratus atau lebih, kadang juga  kurang dari seratus,” sambungnya.

Sama halnya dengan Wahrudin, Hidayat sebelumnya bekerja sebagai kuli bangunan. Ia berganti profesi menjadi tukang gali lantaran proyek pembangunan sudah tidak terlalu membutuhkan kuli bangunan. “Sebenarnya bingung juga mau kerja apa. Cari pekerjaan sekarang kan susah, kemampuan kita juga cuma kaya gini,” ucapnya.

Baik Hidayat maupun Wahrudin, sama berharap bisa mendapat pekerjaan yang lebih layak guna mencukupi kebutuhan keluarganya. Mereka mengaku, untuk kebutuhan makan sehari-hari saja belum terpenuhi dengan pendapatan dari kerja menggali. “Harapannya semoga pemerintah lebih perhatian lagi terhadap orang-orang kecil seperti kami,” pungkas Wahrudin.

Reporter: MAI

Editor: Muhammad Naufal Waliyyuddin

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Kokoh Berdiri, Tak Kunjung Diresmikan Previous post Kokoh Berdiri, Tak Kunjung Diresmikan
Eksistensi Keantikan Kedai Kopi Next post Eksistensi Keantikan Kedai Kopi