Hiduplah Indonesia Raya ..
Perlahan-lahan sang merah-putih telah berada di puncak tertinggi tiang bendera lapangan sekolah. Upacara pada hari Senin itu telah berlangsung dengan khidmat. Siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) Harapan Bangsa kembali menuju ruang kelas masing-masing. Sedangkan, sebagian besar guru-guru berjalan menuju ruangannya, ada yang mempersiapkan diri untuk mengajar di kelas, ada juga yang bersiap untuk bertugas piket.
Berbeda dengan guru lain, sambil menunggu giliran mengajar di jam kedua, Pak Agus dan Pak Ferri memilih untuk sarapan di kantin. Pagi itu, nampaknya perbincangan antara Pak Agus dan Pak Ferri sangat seru. Segelas teh hangat dan semangkuk bubur menemani obrolan mereka.
“Pak, tawuran di sekolah ini kan sudah lama, apa pernah ada siswa yang sampai meninggal?”
“Hmm, sama sekali belum pernah,” jawab Pak Agus datar yang sudah tak asing mendengar pertanyaan itu.
Pak Agus sudah mengajar belasan tahun di SMA Harapan Bangsa. Namun, kebiasaan tawuran yang sering dilakukan oleh siswanya sudah membudaya melebihi masa baktinya. Ia menjelaskan kepada Pak Ferri banyak hal yang sudah dilakukan sekolah untuk menyadarkan siswanya agar tidak tawuran.
Pak Agus bercerita, di awal tahun ajaran baru lalu sekolah mengadakan acara outbound bersama dengan sekolah SMA Pelita Negeri, yang terkenal ‘bermusuhan’ dengan SMA Harapan bangsa. Siswa-siswi pun bisa mengikuti acara dengan baik dan bisa saling membaur. Sebenarnya, di samping bersebalahan, kedua sekolah ini memiliki standar yang hampir sama. Sehingga, banyak siswa-siswi yang diterima pun berasal dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang sama. Jadi di antara mereka tentu banyak yang sudah saling mengenal. Bahkan, bisa jadi ada yang sudah bersahabat ketika SMP.
Tapi, tetap saja tawuran antar kedua sekolah tidak terelakkan. Melihat kegagalan itu, kedua sekolah membuat cara lain, salah satunya mengadakan upacara bendera bersama yang dilaksanakan bergantian di kedua sekolah. Hasilnya pun tetap sama, gagal.
Gagal dan malu, mungkin itulah yang dirasakan guru-guru di kedua sekolah. Sebagai guru tentu tugasnya bukan hanya mencerdaskan siswa, tapi juga berperan sebagai pendidik. Jika perilaku siswanya lebih mirip dengan preman dibandingkan pelajar, maka dapat disimpulkan bahwa seorang guru telah gagal.
Hari sudah mununjukkan pukul satu siang dan siswa telah dipulangkan. Namun, Awi, siswa kelas sebelas di SMA Harapan Bangsa tidak langsung pulang. Ia memilih berkumpul sejenak bersama teman-temannya di sebuah minimarket yang terletak 50 meter dari sekolah.
Tiba-tiba di depan minimarket langkahnya terhenti. Grombolan siswa berseragam khas sekolah Pelita Negeri berlarian menuju ke arah Awi dan teman-temannya. Mereka siap menyerang Awi dan teman-temannya dengan senjata lengkap, seperti gir sepeda motor yang diberi tali panjang dan sebilah celurit.
Bentrokan fisik antar kedua sekolah tidak dapat dihindarkan. Awi jatuh terperosok di pembatas jalan. Jamal, yang berasal dari sekolah lawan menghujani tubuh Awi dengan pukulan. Melihat sosok Awi yang sudah tergeletak lemah, Jamal pun merasa puas dan hendak pergi meninggalkan Awi. Namun, saat melangkahkan kaki, tiba-tiba dari sisi kanan Jamal ada yang memberikannya sebilah celurit. Melihat celurit, amarah Jamal kembali bangkit. Tanpa pikir panjang, ia langsung menusukan celurit tersebut ke bagian belakang tubuh Awi.
Setelah puas dan merasa berhasil, Jamal dan teman-temannya pergi meninggalkan Awi yang tubuhnya mulai kehabisan darah. Teman-teman Jamal memilih kembali ke sekolah untuk melanjutkan belajar setelah istirahat tadi. Mereka berteriak-triak, “Woi, jebol woi jebol!”
Namun tidak dengan Jamal. Ia memilih untuk menyendiri. Ia pun berjalan luntang-lantung tanpa arah. Entah kenapa ia tidak mau untuk kembali ke sekolah. Ia mulai dihantui rasa bersalah.
Orang-orang di sekitar tempat kejadian berusaha menyelamatkan Awi dengan menghubungi rumah sakit terdekat supaya bisa mengirimkan mobil ambulan. Rumah sakit yang berjarak satu setengah kilometer tersebut mendatangkan ambulan untuk membawa Awi. Di tengah perjalanan Awi menghembuskan napas terakhirnya. Mungkin, Awi telah kehabisan stok darah dalam tubuhnya.
Sekitar lima menit ambulan sudah tiba di rumah sakit. Dokter hanya memastikan bahwa Awi telah tiada. Guru yang menemaninya di ambulan akhirnya memberi kabar kepada orang tua Awi bahwa nyawa anaknya sudah tidak bisa tertolong.
Seketika media nasional wara–wiri memberitakan tentang kematian Awi. Kabar tersebut menjadi headline di berbagai media massa. Lagi, pelajar terlibat aksi tawuran. Tapi, kali ini lebih dahsyat karena berakibat jatuhnya korban jiwa.
Meninggalnya Awi telah menorehkan luka yang sangat mendalam bagi pihak keluarga. Karena pagi hari sebelum berangkat sekolah Awi masih sehat seperti biasanya. “Mah, Pah, Awi berangkat ya.” Itulah kali terakhir Awi berpamitan untuk berangkat ke sekolah kepada orang tuanya.
Duka tersebut juga dialami oleh teman-teman Awi. Mereka tidak menyangka, temannya begitu cepat pergi. Sedangkan, guru-guru harus kembali menelan malu karena telah gagal mendidik generasi penurus bangsa yang dititipkan kepadanya.
Berita meninggalnya Awi telah sampai ke telinga Jamal. Ia tidak menyangka bahwa yang dilakukannya sampai membuat nyawa Awi melayang. Tertusuk celurit atau gir sudah menjadi hal biasa dalam tawuran pelajar dan korban biasanya hanya luka. Jika memang parah, paling–paling beberapa hari mendapat perawatan di ICU.
Saat ini polisi tengah mencari pelaku yang menusuk Awi. Dari keterangan saksi yang ada di tempat kejadian perkara (TKP), polisi telah memperoleh data para pelajar yang menyerang Awi dan kawan-kawannya. Selanjutnya, polisi mendatangi sekolah tempat para pelajar tersebut. Polisi bekerja sama dengan pihak sekolah memanggil siswa-siswa yang ditengarai terlibat tawuran pada Senin lalu. Sebagai bentuk solidaritas, kawan-kawan Jamal tidak mudah mengakui apa yang telah terjadi. Namun setelah melakukan berbagai investigasi, akhirnya polisi pun berhasil mengantongi nama pelaku.
Setelah ditetapkan menjadi tersangka, Jamal tidak lagi masuk sekolah. Kini, statusnya adalah buronan. Polisi melacak keberadaan Jamal di rumahnya, namun tidak ada. Jamal memiliki dua orang adik perempuan, yang pertama berstatus pelajar kelas sebelas juga di sekolah almarhum Awi. Satu lagi masih berstatus sebagai siswi SMP di mana dulu Jamal pernah bersekolah.
Selama Jamal berstatus buron, kedua adiknya ikut-ikutan tidak masuk sekolah. Guru-guru pun tidak bisa menghubungi mereka. Baik para pengajar dan kawan-kawan di sekolah adik Jamal pun mengetahui status Jamal yang kini tengah dicari-cari polisi. Para pengajar adik Jamal mengingatkan siswa-siswinya untuk tidak menanyakan keberadaan mereka ketika nanti kembali ke sekolah. Karena hal tersebut dapat mempengaruhi psikologis adik Jamal yang mengalami tekanan.
Tiga hari setelah kejadian, polisi memperoleh informasi tentang keberadaan Jamal di luar kota. Polisi langsung menangkap dan membawanya kembali ke kota asal. Kemudian, Jamal ditempatkan di dalam hotel prodeo.
Ketika mendapatkan kabar mengenai putranya, orang tua Jamal pun langsung datang ke kantor polisi. Mereka melihat kondisi anaknya yang sudah mulai tertekan. Ayah Jamal memiliki kesempatan untuk berbicara dengan Jamal. “Pak, maafin Jamal,” kata Jamal sambil terisak. Sedangkan, ibunya belum sanggup menemui anak laki-lakinya yang kini meringkuk di penjara.
Kondisi SMA Pelita Negeri dan Harapan Bangsa nampak berbeda dengan sebelum kejadian meninggalnya Awi. Kedua sekolah kini menjadi damai. Dua sekolah ini bahkan sering mengadakan kegiatan bersama, dan tidak ada lagi yang berani melakukan tawuran karena takut bernasib seperti Jamal.
Awi bagaikan pahlawan pertama yang akhirnya bisa mengakurkan kedua sekolah ini. Tentu saja,tidak ada yang mengharapkan akan ada yang seperti Awi lagi. Cukuplah Awi menjadi yang pertama dan terahir.
Average Rating