Menghakimi Hakim

Read Time:2 Minute, 7 Second

Suatu malam, Hakim Atma terbangun dari tidur lelapnya karena mimpi buruk. Ia berteriak kencang sehingga membuat Karoman datang. Karoman dan Atma adalah sahabat karib ketika sekolah dulu. Karoman kemudian bercerita tentang masa lalu mereka dan bersyair. Hakim Atma menikmati syair Karoman hingga ia memintanya untuk bersyair kembali.
Tiba-tiba lima warga desa dengan luka-luka di tubuh datang. Mereka berwatak keras yang mata pencahariannya melaut. Karoman tertawa dan bertanya apa yang sudah Hakim Atma lakukan terhadap warga tersebut.
“Ada yang berbuat kejahatan, ada yang menjadi korban kejahatan. Tanyakan saja sendiri pada mereka tentang apa yang telah mereka perbuat,” ujar Hakim Atma kepada Karoman.
Warga mengaku bersalah kepada hakim, tetapi Karoman membutuhkan penjelasan atas perlakuan Hakim Atma terhadap warga. Sepanjang warga bercerita, Hakim Atma menyadari keterbatasannya sebagai manusia, tetapi sebagai hakim ia tetap menjaga idealisme bahwa urusan hakim adalah urusan hukum atau urusan keadilan. Hakim Atma meminta bukti atas fakta yang mereka ucapkan.
Warga menjelaskan tentang tindakan sewenang-wenang Pak Lurah ketika sedang berurusan di kantor kelurahan. Pak Lurah memaksa warga untuk memberikan semen sebagai dana pembangunan. Bahkan sekedar untuk meminta surat kredit jala dan perahu, Pak Lurah tetap tidak malu untuk memungut dana pembangunan.
“Semua warga desa menjadi saksi atas tindak kejahatan Pak Lurah. Bahkan ia sering memukul, menampar, meninju, dan mengancam dengan pistol,” ujar salah satu warga.
Karoman terus berdebat dengan Atma tentang kebenaran peristiwa ini. Hingga terkuaklah dana pembangunan ditujukan untuk pembangunan rumah Pak Lurah. Lantas Karoman menyebutnya ini tak lain adalah pungutan liar.
Seketika, seorang pemilik kebun singkong datang. Tubuhnya penuh luka dan darah. Ia bercerita, sekelompok orang berseragam datang memasuki kebunnya yang terletak tepat di depan rumah Pak Lurah. Ketika bentrokan terjadi antara warga dan sekelompok orang berseragam, ia menjadi korban salah sasaran saat ia hendak mengambil singkong di kebunnya.
Hal itu membuat ibu dan istrinya datang meminta keadilan dari Hakim Atma. Karoman dan kelima warga desa itu pun kemudian menghakimi Hakim Atma atas peristiwa tersebut dengan mengikatnya seperti seorang terdakwa.
Lampu-lampu panggung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki pun redup, menandai berakhirnya pertunjukan teater yang berjudul Terdakwa. Pentas yang berlangsung pada Minggu (8/12) disutradarai oleh Ujang G.B dan merupakan buah karya dari Ikranegara.
Teater ini bercerita tentang hakim yang bertindak semaunya. Melalui cerita tentang Hakim Atma, grup teater Sketsa Act mencoba mengupas masalah hukum di negara Indonesia yang terjadi dari dulu hingga sekarang.
Terdakwa ini walaupun sudah sering ditampilkan dari dulu, tetap saja up to date karena hukum Indonesia yang tidak berubah kasusnya dari dulu hingga sekarang,” ucap sang sutradara, Minggu (8/12). (Maulia Nurul H)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Tebar Inspirasi Melalui Fashion
Next post INDIGO, Komunitas Pencinta Denim Terbesar se-Asia Tenggara