Pemulihan Mental Terus Diusung ACT

Read Time:2 Minute, 10 Second
Bencana banjir, gunung meletus, tanah longsor dan bencana lainnya terus melanda Indonesia dalam kurun waktu dekat. Kondisi ini memaksa penduduk mengungsi ke posko guna memenuhi kebutuhan logistik dan pemulihan trauma (trauma healing) bagi korban.  Pemulihan kondisi mental dinilai cukup penting untuk para korban agar tetap memiliki spirit hidup pasca bencana.
Hal ini disampaikan oleh Sudayat Kosasih, Media Content Manager Aksi Cepat Tanggap (ACT). “Bantuan berupa logistik seperti pelayanan kesehatan dan pemberian sandang dan pangan dipandang tidak cukup untuk penanganan demi mengembalikan senyum ceria korban di pengungsian,” kata Sudayat, Kamis (13/2).
Ia mengatakan, pemulihan trauma akan bencana dibutuhkan oleh para korban di seluruh titik posko pengungsian. Berbagai metode dilakukan guna memberikan pemulihan akan trauma bencana. “Penyembuhan trauma diawali dengan pengeluaran sampah-sampah emosi, misalnya dengan mendongeng untuk anak-anak dan menggambar serta menulis untuk remaja,” jelas Sudayat.
Metode untuk orang dewasa seperti konseling dilakukan face to face  atau door to door. Ia menambahkan, orang dewasa yang kehilangan harta benda sering mengalami depresi. Selain itu, metode SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) dipraktikkan untuk semua umur.
Sukorini, Community Development Senior Manager ACT, mengatakan, program pemulihan dilakukan dengan konsep tahap emergency dan recovery terpadu. Tahap emergency dilakukan dengan penyelamatan dan pengobatan fisik. Sedangkan, tahap recovery terpadu merupakan trauma healing yang dialami korban.
Sukoni menjelaskan, trauma healing dengan memberikan aktifitas usaha dinilai sebagai recovery yang paling efektif. Korban bencana diberikan modal untuk memulai usahanya kembali. Para korban harus menyibukkan diri dengan aktifitas pekerjaan untuk memulihkan kembali mata pencaharian yang lumpuh akibat bencana yang datang, tuturnya.
Tim ACT bekerja sama dengan lembaga kemanusiaan lain seperti PMI dan melatih relawan yang memiliki minat di bidang trauma healing. “Kami sering didatangi relawan dari kalangan artis dan komunitas Gerakan Para Pendongeng Untuk Kemanusiaan (GePPuK) yang ditujukan untuk anak-anak,” kata Sukorini. Program ini berhasil mengembalikan semangat anak-anak di posko pengungsian.
ACT dalam kurun waktu dekat, merencanakan adanya posko ramah anak. Posko ini akan memberikan perlakuan khusus dengan pendekatan lebih terhadap anak-anak. “Ketika terjadi bencana, anak-anak tidak boleh sampai terabaikan. Memori pengalaman bencana akan terus menerus teringat hingga mereka beranjak dewasa,” ujar Sukorini.
Sementara itu, Wahyu Cahyono dari Pusat Krisis Universitas Indonesia menjelaskan, indikator keberhasilan trauma healing dilihat dari prilaku korban dalam menghadapi  bencana yang menimpa. “Mereka bisa menerima situasi yang terjadi, kemudian merencanakan kembali hidup ke depan. Jika sudah begitu, maka mereka sudah mulai pulih,” jelas Wahyu.
Wahyu menilai, konsep trauma healing yang dilakukan oleh ACT sudah sesuai. “ACT, PMI dan lembaga-lembaga kemanusiaan lain memiliki divisi psikososial. Konsep yang diusung mereka sejauh ini berpengaruh besar terhadap korban-korban di pengungsian,” ujarnya (14/2). (Maulia)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post The Art Island Festival kenalkan Candi Tegowangi
Next post “Artologia”, Bukti Keunikan Karya Seni