Untuk S.p dan A.a
Di peron itu ia katakan,
“Deru angin di stasiun ini yang mengaburkan tujuan kita.”
Untuk waktu yang lama mereka sama-sama diam dalam kata,
tapi tidak dalam maha-makna
Dibiarkannya deretan bangku tunggu makin menggigil
Suara mereka pun tercecer di jalur perlintasan sebagai bebatuan kerikil
Sebenarnya mereka para hamba-hamba waktu yang taat
Di biarkannya semua resah bertengger di hati yang lelah,
menunggu cukup lama untuk mengatakan ah
Disimpannya pula segala keluh dalam bibir yang berusaha tak mengeluh,
sampai suatu ketika bisa mengucapkan uh
Hingga pada saat ini,
pada suatu degup yang tak menentu yang mereka rindukan
Tapi mereka biarkan degupan itu berlalu dan menguap
Hingga salah satu diantara mereka dengan ragu mengatakan,
“Tak lama lagi kita akan menaiki kereta, atau kereta yang akan menaiki kita.”
Satunya lagi menjawab,
“Dan pahamilah, setelah ini mata kita tak lagi tergantung mata-kata”
Kereta pun tiba dan tanpa sepengetahuan mereka,
degupan itu menempel di kaca kereta,
degupan itu mengendap di pintu masuk stasiun,
degupan itu tercecer di ubin-ubin yang mereka jejaki.
Mereka pun akhirnya masuk kereta yang sama dalam diam,
seperti perjanjian sebelumnya
Dalam diam mereka begitu paham pada perbicangan yang tak pernah selesai.
Jakarta, 15/02/2014
*Penulis adalah Penggiat Komunitas Sastra Majelis Kantiniyah
Average Rating