Kau yang bertamu di pikiranku.
Yang mengemudikan badai,
bahkan di waktu sekarang, sebuah hari yang merosot.
Kau dalam arah, dengan zirahmu,
berdenyut rangkap,
dan semoga pukulanmu mengejangkan musim.
Badan silindris gelap, lahir dari baja semacam perak.
Agak berat dan berjalan sedikit lambat dari angin.
Paralel dan terhubung dari tangkai-tangkai,
ada pula yang berputar di bagian sisi.
Metris, terengah-engah sambil meraung-raung,
terlihat runcing dari kejauhan.
Tepat di depan, adalah cahaya yang bulat besar
Penantian panjang membuat sedikit kusam
Hanya musik yang keluar dari suara uap air,
serta lonceng dengan warna perunggu yang indah.
Awan suram yang tebal padat keluar,
berhembus lewat rongga asapmu.
Bingkainya dirajut- klep (musim semi, mata air) milikmu,
klep yang yang gemetar dari roda kemudi milikmu
Sisanya ya di belakang, mengekor taat dengan riang.
Dari angin ribut atau tenang, sekarang burung layang-layang,
Tapi detik ini semua mulai mengendur,
namun kau tetap mantap meniti karir.
Jenis yang modern tiba!
Lencana menggerakkan dan lebih bertenaga!
Denyut nadi benua!
Hanya sekali, yang melayani datang dengan merenung.
Menggabungkan sajak dan ayat,
bahkan waktu di sini aku melihatmu,
dengan badai, dan hembusan keras angin saat melaju,
lalu jatuhlah butiran embun.
Siang hari, peringatan milikmu,
membunyikan bel untuk nada catatannya.
Di waktu malam hari, lampu sinyal diam milikmu mengayun.
Gulungan nyanyianku,
dengan semua musik tidak patuh pada hukum milikmu!
Tapi lampu tetap berayun seperti malam- malam biasanya
Penembusannya, tawa yang besar dari peluit.
Gemanya, bergemuruh suara gempa bumi,
membangunkan habitat di sekelilingnya.
Hukummu yang lengkap untuk diri sendiri sajalah.
Tapi harmonimu menjejaki dengan kuat memegang ingatan.
Tidak ada kemanisan yang bagitu riang di sini,
cukup harpa menyedihkan atau piano fasih milik mu.
Pekikanmu dari klakson
mencekik suram batu karang dan di belakang bukit,
Kepada langit yang cuma-cuma.
Pada meja penantian yang ada berkiblat padaku:
“Saat ini aku telah tiba di tujuan akhir dengan lebih kuat”
Jakarta/28-08-2011/11:52
*Penulis adalah Komunitas Sastra Majelas Kantiniyah
Average Rating