Kemunafikan Bangsa Hipokrit?

Read Time:2 Minute, 55 Second
Oleh Irvan “Ipank” Nawawi*

Sifat negatif memerlukan tempat yang layak juga. Dalam melihat dan menilai karakteristik manusia Indonesia, Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia : Sebuah Pertanggung-jawaban, memaparkan banyak sisi negatif. Salah satunya adalah hipokrit. Mental orang-orang yang bermuka dua. Di satu tempat ia mengungkapkan A tentang suatu hal, di tempat lain–dalam hal sama—mengungkapkan B. 
Dalam sistem birokrasi maupun interaksi sosial di Indonesia, pola hipokrit sangat kental. Parodi tentang ABS (Asal Bapak Senang) misalnya, tak kunjung hilang dari masyarakat Indonesia. Apapun yang menjadi kesenangan si atasan atau si tuan, yang bersangkutan akan melakukan apa saja dengan mengambil keuntungan, walaupun merugikan pihak lain. Mental hipokrit tersebut mengandung konsekuensi logis varian sifat negatif lain; oportunis misalnya.
Dalam transliterasi, adaptasi, dan serapan bahasa kerap terjadi pemaknaan yang kurang adekuat bahkan salah arti. Hipokrit dalam KBBI diartikan sebagai munafik, pura-pura. Mengamini apa yang diungkapkan atau dilakukan seseorang padahal tahu bahwa hal itu tidak benar atau mengamini demi menyenangkan seseorang, padahal ia tidak suka. Pada keadaan yang lebih menguntungkan, ia akan mengungkapkan apa yang disukai seseorang padahal ungkapannya tak benar.
Penyederhanaan pengertian dan pola simplifikatif lainnya meniscayakan adanya ketakstabilan keadaan. Dalam tahap tertentu bisa menimbulkan chaos. Kata munafik sebagai sifat yang termasuk dalam kategori negatif dan termasuk bagian dari pola penyederhanaan tersebut tentu berpotensi salah tempat dalam terjemahannya. Walaupun pada fenomena ramai belum menunjukkan ekses yang sedemikian chaos, akan tetapi potensi tersebut utuh.
Munafik sebagai salah bentuk sifat yang diambil dari terminologi Islam hanya memiliki ciri-ciri, tak ada pengertian tunggal yang mewakilinya. Berarti ada hal-hal yang tak bisa (boleh) disederhanakan dalam penggunaannya. Munafik lebih memiliki proporsi sebagai istilah ketimbang kata dalam komunikasi. Definisi dan pemahaman akan istilah tersebut sangat dibutuhkan. Dari identifikasi tersebut, munafik mengemban unsur ideologis, ketimbang pragmatis. 
Komunikasi tingkat pragmatis dengan ketersampaian maksud sebagai tujuannya, sangat tidak relevan menggunakan istilah munafik. Bisa saja munafik dipakai dengan syarat tidak ada atribut agama dari para pengujar atau pengungkap. Menimbang globalisasi dan internasionalisasi, memungkinkan pertukaran budaya dan tingkat interaksi lebih inten, sedang masing-masing memegang dasar pemahaman latar lokal atau bangsanya. 
Suatu kasus misalnya, seorang pengusaha Indonesia melakukan hubungan dagang dengan pengusaha Arab dan masing-masing agamanya sama. Saat ada pihak yang menjustifikasi pengusaha Indonesia tersebut munafik (dalam kultur pemahaman sekarang), akan lain persepsi dengan partner usaha Arab tadi. Bisa jadi gagal kerja sama usaha, atau sebaliknya, kebencian yang tercipta. Sebab munafik merupakan istilah negatif pada tingkat ideologi dalam terminologi agama mereka. 
Penggunaan kata atau istilah serapan yang sangat gencar di Indonesia agaknya harus lebih tegas dalam prakteknya, terkait definisi dan kata yang mewakili. Pada kata atau diksi yang sifatnya pragmatis, masih relatif ringan konsekuensinya. Akan tetapi jika sudah berhubungan dengan ideologi, akan fatal imbasnya. Bukan hanya perihal tujuan bersama yang hilang, tetapi masing-masing pihak bisa mengubah tujuan awalnya sebab ketaksepahaman latar komunikasi.
Silang makna, salah pengertian, dan problematika lainnya dalam hal meyerap bahasa asing ke bahasa Indonesia seakan konsekuensi. Fenemona tersebut menunjukkan bahwa ada banyak karakter atau mental negatif lain dalam masyarakat Indonesia umumnya, sebab berhubungan dengan kognisi dan psikis. Pemakaian diksi atau istilah yang tidak adekuat, akan menjerumuskan pemakainya pada keterpurukan wibawa.
Lalu, sepantasnya dalam praktek komunikasi lebih luas, masyarakat dapat menggunakan kata-kata yang relevan. Bilapun tak paham atau tak mengerti maksud, tentu harus langsung diungkapkan. Agar pola hipokrit yang tak kunjung usai di Indonesia, berangsur-angsur mengakhiri drama tragisnya. Sehingga betapapun negatifnya kandungan nilai istilah munafik tersebut, tetap mendapat tempat pantas dalam pemakaiannya agar tidak terjadi kuburukan-keburukan turunan. 

*Penulis adalah Penggiat Komunitas Sastra Majelis Kantiniyah

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Duplikat Sang Guru
Next post Kompetensi Mahasiswa Mengajar Dipertanyakan