Kompetensi Mahasiswa Mengajar Dipertanyakan

Read Time:2 Minute, 59 Second
Mencari pengalaman dan berkeinginan hidup mandiri semasa kuliah, nampaknya, menjadi alasan tersendiri bagi beberapa mahasiswa UIN Jakarta yang memutuskan mengajar di lembaga-lembaga kursus. Namun, kompetensi mahasiswa sebagai tenaga pengajar dipertanyakan.
Terhitung sejak Desember 2013. Inas Ghina Cantika mulai terdaftar sebagai salah satu tenaga pengajar di Lembaga Pendidikan Indonesia Amerika. Wanita yang akrab disapa Inas ini, mengajar di lembaga kursus bukan semata-mata karena ingin menambah uang saku. Melainkan, ingin memperoleh pengalaman mengajar. 
Meski masih berstatus mahasiswa, ia tidak pernah mendapat komplain dari murid terkait dirinya yang masih menyandang status mahasiswa. “Biasanya, murid komplain tentang sistem pengajarannya bukan kompetensi dan latar belakang pengajarnya.” katanya (19/3).
Lembaga yang saat ini menjadi tempatnya mengajar, sepenuhnya memberikan kepercayaan kepada para mahasiswa untuk mengajar. Hanya saja, mahasiswa selalu memiliki keragu-raguan dan ketidakpercayaan diri. “Keragu-raguan itu sebenarnya datang dari diri sendiri,” jelasnya. 
Sebaiknya sebelum mengajar, kata Inas, pengajar mengulas kembali pelajaran yang akan diajarkan. “Nggak enak sama murid kalau kita kelihatan tidak siap. Karena ketidaksiapan itu yang bisa mengakibatkan murid ragu terhadap kompetensi mahasiswa sebagai pengajar,” ujarnya. 
Lain halnya Inas, Nurul Ulya mengungkapkan cerita berbeda. Ia mengajar di lembaga kursus karena untuk memenuhi biaya kuliah dan ongkos hidupnya selama di Jakarta. Wanita asal Kota Demak ini mengaku, sudah hampir tiga tahun mengajar di lembaga kursus. Terhitung sejak tahun 2011 dan baru di tahun 2012 ia tercatat sebagai salah satu mahasiswa UIN. 
Selama satu tahun mengajar, wanita Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris (BSI) ini tak sedikit mendapati murid yang meremehkan kompetensinya karena dianggap belum berstatus sebagai mahasiswa. Sementara, muridnya berasal dari kalangan mahasiswa. “Belajarnya begini doang, terus yang ngajarnya belum kuliah,” katanya dengan nada kecewa.  
Jika situasinya demikian, ia tidak bisa berbicara banyak. Ia hanya bisa membuktikan bahwa kuliah tidak sepenuhnya menjamin orang memiliki kompetensi yang baik dibanding mereka yang tidak kuliah. Karena yang terpenting, tegas Nurul, itu kemampuan (skill) bukan strata pendidikan. “Kalaupun ada yang kritik, saya anggap itu sebagai saran positif,” bijaknya. 
Sementara itu, salah satu murid lembaga kursus,Yuandhita Fajrin, mengaku ragu terhadap kompetensi mahasiswa sebagai pengajar. Namun, ketika ditanya perihal keraguannya itu ia enggan menjawab. Berkali-kali ditanya, ia tetap bungkam. 
Menanggapi hal itu, Iqbal Hasanuddin, salah satu pemilik lembaga kursus di area kampus menuturkan sempat khawatir jika orangtua murid mengetahui pengajarnya berasal dari kalangan mahasiswa. 
Namun, pihaknya sudah mengantisipasi dengan menjelaskan apa adanya baik kepada murid maupun orangtua murid.“Pengajarnya itu background guru bahasa Inggris dan statusnya masih mahasiswa,” ungkapnya (19/3). 
Iqbal mengatakan, lembaga kursus miliknya memang dikelola langsung oleh mahasiwa. Namun, tak sedikit mahasiswa lain yang ingin turut berkontribusi menjadi salah satu pengajar di Lembaga Kursus Alphabet English Course and Camp ini. 
Melihat fenomena tersebut Iqbal menilai, banyak faktor yang melatarbelakangi kenapa mahasiswa ingin mengajar di lembaga kursus. Salah satunya, karena faktor ekonomi dan keinginan untuk hidup mandiri.
Sementara faktor lain,  menurut Iqbal, mahasiswa ingin mengaplikasikan ilmu yang didapat di kelas sekaligus untuk memperoleh pengalaman mengajar. Ada juga mahasiswa yang mengajar karena ingin mencari metode-metode alternatif dalam proses pembelajaran terutama bagi mereka yang memiliki latar belakang pendidikan.
Pria kelahiran Ciamis Jawa Barat ini menyampaikan, pemikiran dasar yang melandasi pembentukan lembaga kursus miliknya adalah semangat untuk berbagi ilmu. “Bukan semnagat untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya. Tidak sama sekali,” tegas Iqbal. 
Maraknya fenomena mahasiswa mengajar di lembaga kursus, juga dikomentari Warek Bidang Akademik, Mohammad Matsna. Ia mendukung keinginan mahasiswa mengajar itu. Namun demikian, mahasiswa juga harus sadar dengan kompetensinya dan jangan memaksakan. “Keberadaan lembaga kursus ini, setidaknya bisa dimanfaatkan mahasiswa guna melengkapi proses pembelajaran di kampus,” pungkasnya (19/3).
Muawwan Daelami

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Kemunafikan Bangsa Hipokrit?
Next post Pekerja Seni Terhenti dalam Instruksi