Read Time:3 Minute, 15 Second
Oleh : Ja’far Shiddiq*
Idealisme, menurut KBBI berarti aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang dapat dicamkan dan dipahami menjadi sebuah kesempurnaan miliknya. Dalam dunia filsafat, istilah tersebut muncul akibat adanya pemikiran Plato sebagai bentuk perlawanan atas materialisme. Para penganut aliran idealisme menganggap segala realitas bisa diraih dengan langkah ideal. Tanpa disadari, mereka membutakan hal-hal yang sifatnya materil maupun fisik, dan seiring bergeser memaknai materi sebagai gejala psikis.
Sejalan dengan pasal di atas, Wayne Pace dan Don F. Faules mengklasifikasikan manusia ke dalam dua bentuk, yakni kaum objektivis dan subjektivis. Mereka yang cenderung memiliki perspektif goal oriented, intensional dan rasional adalah penganut paham objektivis, sedangkan mereka yang berpandangan bahwa tindakan muncul dari sebuah proses interaksi dan komunikasi digolongkan ke dalam kaum subjektivis.
Baru-baru ini beberapa pakar kesenian mengonsentrasikan makna pelaku kesenian sebagai sekumpulan orang yang melakukan kegiatan kesenian. Mereka yang berkecimpung dalam kegiatan seni bisa digolongkan di dalamnya, semisal pegiat teater, bintang film, pelukis, dan penari.
Dalam pengertian lain, mereka (para pelaku seni) dalam hal ini dikultuskan oleh seorang penggagas untuk melangsungkan ide-ide; hasil daya ciptanya secara tidak langsung bisa disebut sebagai pelaku kesenian. Toh, upaya mereka untuk menghasilkan karya masih berperan mewujudkan daya cipta penggagasnya. Penari mewujudkan gerakan-gerakan sesuai dengan konsep koreografer, bintang film memerankan perannya atas direct (petunjuk) seorang sutradara dan naskahnya.
Dalam sebuah pementasan, para pelaku kesenian kerap kali mendengungkan istilah ‘proses kreatif’, yakni sebuah proses penggarapan menuju pementasan. Dari mulai latihan, workshop, pendalaman peran, sampai pra pementasan. Di dalamnya, para aktor dan aktris dituntut untuk mendalami peran tokoh sesuai dengan apa yang tertulis dalam naskah melalui tahapan-tahapan pelatihan keteateran.
Penata artistik, misalnya. Dalam perhelatannya, ia selalu diminta untuk memenuhi unsur-unsur estetika panggung, seperti membuat partisi dan properti ini-itu. Pun demikian dengan penata lampu, yang diminta kecermatannya untuk merawat slongsong-slongsong dan fiting-fiting lampu panggung yang sudah berkarat. Kesemuanya terbilang masih melalui direct (petunjuk) seorang figur yang dianggap sutradara dalam bidang mereka.
Wajar memang, ketika sederet kegiatan yang mereka dengungkan sebagai proses kreatif diproyeksikan pada sebuah kata ‘pembelajaran’. Wajar pula, ketika sebuah bus yang ditumpangi sekian orang disetir oleh salah seorang di antara mereka. Namun, kita juga tidak bisa mengelak dari realitas keadaan.
Konsekuensi buruknya, misalnya. Ketika mereka yang berada di bawah direct (pemberi petunjuk) tidak memiliki kapasitas untuk mengolah sesuatu. Bisa jadi, hingga waktu yang terbilang lama tidak akan muncul daya inisiatif atau produktif dalam diri mereka. Sementara konsekuensi baiknya, ketika pemberi petunjuk maupun yang diberi petunjuk memiliki daya inovatif dan produktif yang sama-sama aktif sehingga akan mudah tercipta sebuah keseimbangan proses.
Lantas, apa barometer yang bisa digunakan dalam kasus semacam ini. ideal atau profesionalitas? Kalau mau dibilang ideal, kiranya para pemberi petunjuk sudah berhasil mempertontonkan sederet panggung mereka ke hadapan publik. Sebab, secara kasat mata publik tentu akan mengakui eksistensi mereka.
Demikian juga dengan para pelaku kesenian yang terlibat langsung dalam proses kreatif. Setidaknya, mereka yang terlibat sedikit–banyak dihargai atas sebuah dokumentasi dan sorak-sorai pertunjukan yang mereka suguhkan. Namun, tak lagi wajar ketika kita menelisik lebih jauh proses kreatif yang mereka lakoni ternyata hanyalah jembatan atau lorong Casablanca yang sengaja dibangun demi memenuhi kebutuhan, bernama eksistensi.
Bicara profesional atau tidak, ibarat jasad yang ruhnya telah dicabut Malaikat Izrail. Ketika nyawanya tercabut, mereka yang dimakan waktu tanpa disadari tak mampu lagi hidup atau berdiri. Mereka tak lagi menyadari arti realitas kehidupan. Mereka tak merasakan panas, kala kulitnya dibakar api. Pada saat yang bersamaan, mereka sakau dengan keadaan yang mereka namai surga, guyub, rukun terpenuhi batinnya akan seorang direct (pemberi petunjuk), sementara sekolompok manusia di luar sana telah tiba di beberapa dermaga kesuksesan.
Pada titik inilah penulis menamai pelaku kesenian sebagai bagian dari kaum subjektivism. Tanpa mereka sadari, mereka telah mati dimakan waktu. Mereka lupa akan kelebihan yang diberikan Tuhan. Parahnya, mereka bisa dibilang menzalimi karunia Tuhan.
*Penulis adalah Ketua Umum Teater Syahid
Average Rating