Read Time:2 Minute, 40 Second
Seiring berkembangnya budaya komunikasi, berkembang pula berbagai macam teknologi komunikasi yang menyeimbanginya. Dari itu muncullah internet, pula berbagai media sosial untuk mempermudah komunikasi, memperoleh, dan menyebarkan informasi. Kini, Twitter, Facebook, dan Blogger di antaranya menjadi sasaran bagi pengguna internet untuk memperoleh dan menyebarkan informasi.
Pengguna internet di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial (dikutip dari HarianTI.com). Dari banyaknya pengguna media sosial, hal tersebut dimanfaatkan oleh berbagai pihak. Akibatnya, banyak bermunculan akun anonim yang menyebarkan isu—yang bersifat propagandis ataupun informatif.
Pada tahun politik ini, di Indonesia, makin marak akun-akun anonim. Menanggapi hal tersebut, Shulhan Rumaru, Social Media Specialis Kompasiana, hadirnya akun anonim berperan sebagai pembuat gebrakan besar dalam memberi informasi. Di Twitter, kata Shulhan, akun anonim dapat menghimpun lebih dari 400ribu followers. “Mereka (akun anonim) sangat dominan dengan informasi yang masyarakat suka,” ujarnya, Kamis (13/3).
Dalam menyampaikan pesan, akun anonim menggunakan bahasa informal sehingga lebih efektif dalam mempengaruhi opini publik. Selain itu, akun anonim juga mengkonstruksi informasi. “Kelompok kepentingan memanfaatkan mereka sebagai saluran komunikasi politiknya,” papar Shulhan.
Ia menuturkan, partai politik atau calon legislatif secara personal mendistribusikan informasi kepada akun-akun tersebut. Mereka (akun anonim) rata-rata memiliki admin. “Akun Twitter dengan nama @TrioMacan2000 memiliki sekitar 12 admin,” paparnya.
Selain memproduksi isu yang berkaitan dengan politik, akun anonim juga dapat membangun kekuatan publik. Shulhan mengingatkan kembali soal kasus Prita Mulyasari, dari media sosial, paparnya, gerakan koin untuk Prita berhasil membangun kekuatan publik yang sengaja diedukasi oleh gerakan-gerakan tersebut. “Itu jadi pukulan buat kelompok kepentingan,” ujarnya.
Shulhan juga menuturkan, jika akun anonim merugikan dan menyebarkan isu yang mempropaganda, akun tersebut dapat terkena sanksi hukum. Dengan adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), akun mereka dapat diblokir. “Pengelola atau admin juga dapat terkena sanksi hukum secara personal ataupun struktural,” ujar Shulhan.
Terkait hal tersebut, Ahmad Abrori, Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik mengatakan, sebagai akademisi jika mendapat informasi yang masih dipertanyakan kebenarannya disarankan mengkonfirmasi kepada ahlinya. “Mahasiswa harus mencari second opinion,” ujarnya, Rabu (19/3).
Menurut Abrori, mahasiswa memiliki akses informasi yang banyak dan luas. Dari itu, mahasiswa perlu bijak dalam menerima dan memahami informasi. Ia menambahkan, dalam menerima informasi dari akun anonim perlu adanya filter dalam diri mahasiswa masing-masing. “Artikel dari blog pun kita masih belum yakin bahwa itu adalah hasil riset,” tambahnya.
Shulhan juga menambahkan, mahasiswa perlu memverifikasi informasi yang disebarluaskan oleh akun anonim secara faktual. Jika tidak diverifikasi, tambah Shulhan, bisa saja informasi yang disampaikan adalah propaganda politik. “Sebagai publik attentive kita harus mencari dan memverifikasi isu, terutama dari media mainstream yang kredibilitas informasinya terjamin,” tutur Shulhan.
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Muhammad Sutisna, merasakan dampak yang sangat besar dari isu yang akun-akun tersebut gelontorkan. Mahasiswa yang biasa disapa Entis ini mengaku tidak mengikuti akun anonim di Twitter yang menyebarkan propaganda, namun tetap memerhatikan informasi yang disampaikan oleh akun tersebut.
Entis mengaku sebagai mahasiswa yang paham politik, ia tidak tertarik mengikuti akun-akun tersebut. Lagipula menurutnya, mahasiswa sebagai kaum intelektual dapat mengambil informasi dari berbagai perspektif. “Kita harus lebih peka dan pintar dalam menggunakan media sosial,” papar Entis, Selasa (18/3).
Gita Nawangsari E.P
Average Rating