Di Dadaku Indonesia, Malaysia Ada Di Perutku

Read Time:3 Minute, 43 Second
Sumber: stat.ks.kidsklik.com


Oleh: Gita Nawangsari Estika Putri*


Garuda di dadaku, Malaysia di perutku, itulah perumpamaan yang tepat bagi warga Indonesia yang menetap di wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia. Sudah seringkali kita mendengar keluh kesah masyarakat perbatasan dalam berbagai kesulitan yang mereka hadapi, misalnya dalam hal ekonomi dan pendidikan. Namun, apakah hal tersebut telah mendapatkan perbaikan?

Ada empat kabupaten yang langsung berbatasan dengan Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat, yaitu Kabupaten Sambas, Sanggau, Bengkayang dan Putussibau. Keempat kabupaten tersebut memiliki masalah yang tak jauh berbeda.

Dalam hal ekonomi, di wilayah Kabupaten Bengkayang sebagian besar warganya bermata pencaharian sebagai petani. Mereka menanam lada, sawit, durian, rambutan, kopi dan tetumbuhan lainnya yang dapat menghasilkan rupiah. Namun, mereka hanya dapat menjual lada dan sawit saja keluar. Untuk buah-buahan mereka tidak bisa menjualnya keluar.

Mustakim, warga Desa Mayak, yang masih berada di Kabupaten Bengkayang ini mengeluhkan kesulitannya dalam menjual hasil kebunnya. Ia hanya bisa menjual lada, selebihnya tanaman yang ia tanam hanya ia konsumsi sendiri bahkan tak jarang dibiarkan saja matang di pohon hingga membusuk. “Kalau panen kopi dan rambutan ya di makan sendiri karena memang ngga bisa dijual, pasar di sini jauh, lagipula mau jual ke siapa, warga juga sudah punya pohonnya masing-masing,” ujar Mustakim.

Selain kesulitan dalam hal penjualan hasil panen, masalah yang dihadapi masyarakat di wilayah perbatasan adalah dalam hal pembelian. Pasar Seluas yang jaraknya paling dekat dengan Desa Mayak banyak menjual bahan pokok dari Malaysia. Salah satunya adalah beras, masyarakat wilayah perbatasan biasa membeli beras dari Malaysia. Alasan mereka membeli beras Malaysia adalah harganya yang lebih murah. 17 kilogram beras Indonesia dihargai Rp. 200ribu  sedangkan beras Malaysia dijual dengan harga Rp. 110ribu.

Selain beras, gula pun mereka membeli produk Malaysia dengan alasan yang sama. Lagipula, selain  harga yang lebih murah, bahan pokok dari Malaysia lebih mudah ditemui di warung-warung. Bahkan hingga sandal jepit pun banyak dari masyarakat yang menggunakan produk Malaysia.Padahal dari segi kualitas bahan pokok dari Indonesia lebih bagus dari Malaysia.

Hal seperti ini dapat terjadi karena kemudahan masyarakat mengakses barang-barang dari Malaysia. Setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu, diadakan pasar bebas di Serikin, Malaysia. Para pedagang Indonesia dapat membeli barang-barang Malaysia yang kemudian akan mereka jual di Indonesia. Selain itu, mereka pun dapat menjual barang-barang dari Indonesia ke Malaysia.

Salah satu barang dagangan dari Indonesia yang mereka jual ke Malaysia adalah bidai –kerajinan dari kulit kayu yang biasa dibuat untuk tikar. Menurut salah satu pengerajin bidai dari Kecamatan Jagoi Babang, mereka tidak menjual bidai ke pasar Indonesia, namun langsung dijual ke Serikin, Malaysia. Hal tersebut dikarenakan daerah Jagoi Babang sangat dekat dengan Malaysia. Biasanya, menurut penjual tersebut, bidai tersebut akan dicuci dan cap Malaysia lalu masuk kembali ke pasar-pasar Indonesia yang ada di perkotaan.

Hal lain yang perlu diperhatikan selain masalah ekonomi adalah masalah pendidikan. Sudah jelas sangat terlihat berbeda sekolah-sekolah yang ada di kota dan di perbatasan. Sekolah dasar yang ada di wilayah perbatasan kurang perhatian, guru-guru di wilayah ini harus berjuang keras untuk mendidik anak didiknya. Contohnya di Sekolah Dasar Negeri 04 Pejampi, guru yang ada hanya sebanyak 7 orang guru pns. Artinya mereka harus menangani satu kelas dan harus mengajar seluruh mata pelajaran, kecuali mata pelajaran agama. Mayoritas siswa di sekolah dasar tersebut bersuku Dayak dan beragama Nasrani sehingga di sekolah tersebur membutuhkan pengajar untuk mata pelajaran Agama Islam.

Selain itu, kondisi bangunan sekolah pun jauh dari kata layak. Kondisi bangunan di Sekolah Dasar 15 Melayang tak berubin, bahkan kondisi lantainya pun pecah dan berpasir. Pasir-pasir yang ada di kelas mengganggu aktifitas belajar mengajar karena sewaktu-waktu dapat berterbangan jika tertiup angin.

Selepas lulus dari sekolah dasar pun tak sedikit dari mereka yang putus sekolah. Di Sekolah Dasar Negeri 14 Peleng  yang ada di Kecamatan Jagoi Babang murid dari kelas satu hingga kelas enam hanya berjumlah 32 murid.

Munzir yang telah lebih dari 10 tahun menjadi kepala sekolah di sekolah tersebut hanya berharap anak didiknya ada yang meneruskan sekolah hingga tamat SMA. “Sudah lebih dari 10 tahun saya menjadi kepala sekolah, tak satu pun murid saya ada yang meneruskan hingga ke jenjang SMA,” keluhnya.

Jika keadaan sudah seperti ini siapa yang hendak disalahkan? Akan menunggu waktu berapa lama lagi mereka pada perhatian pemerintah pusat? Jangan hanya berteriak ketika pulau-pulau kita diambil oleh negeri tetangga itu dan masyarakat perbatasan yang lebih memilih produk Malaysia, namun mereka patut diberi kesejahteraan dan kemudahan akses untuk berpendidikan.


*Penulis adalah Mahasiswa Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Semester 7

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Budaya Politik Berbau Mistik
Next post “Dejavu Politik Indonesia”