“Dejavu Politik Indonesia”

Read Time:3 Minute, 7 Second
Sumber: 2.bp.blogspot.com


Oleh: Rizki Ahmad*


Pemilihan Legislatif (Pileg) serta pemilihan presiden sebagai suatu hajatan besar dari demokrasi telah usai dilangsungkan beberapa saat lalu, terpilihlah mereka 560 anggota DPR periode 2014-2019 dan pasangan  Jokowi-Jusuf Kalla sebagai pemenang dari pemilihan presiden yang telah dilangsungkan pada pesta demokrasi terbesar di negara ini. Merekalah para insan-insan yang terpilih untuk menjaga amanat rakyat dan membawa nasib bangsa ini ke arah yang lebih baik lagi tentunya.

Belum sudah dilantik pada tanggal 20 Oktober yang akan datang, presiden terpilih dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK mendapat sebuah tantangan besar yang akan dihadapi pemrintahannya kelak. Belum secara resmi memimpin  pemerintahan ini, mereka sudah dihadapi oleh masalah yang sangat begitu nyata di depan mereka. Masalah itu tak lain dan tak bukan berasal dari lawan politik yang mereka kalahkan pada pilpres kemarin, yaitu Koalisi Merah Putih atau yang biasa di singkat “KMP”.

Koalisi Merah Putih merupakan koalisi gabungan partai politik pendukung pasangan Prabowo-Hatta pada pemilu presiden 9 Juli lalu yang terdiri dari partai (Gerindra, Golkar, PPP, PAN, PKS, PBB). Koalisi yang meraih kurang lebih hampir 50% lebih parlemen atau sekitar 292 anggota parlemen merupakan anggota dewan yang terpilih dari partai politik yang bergabung dalam koalisi merah putih tersebut. Contoh yang paling kongkrit dari perlawanan KMP terhadap pemerintahan Jokowi yang akan datang adalah pada hari Jumat lalu, ketika DPR berhasil menyetujui RUU Pilkada tak langsung atau pemilihannya melalui DPRD.  Hasil pengesahan ini merupakan hasil dari pemenangan votting yang dilakukan di parlemen, yang mana koalisi merah putih yang mendukung penuh RUU Pilkada tidak langsung meraih lebih banyak suara dukungan ketimbang koalisi partai pendukung Jokowi-JK yang meraih suara tak sebanyak KMP.

Setelah berhasil menghapus pemilhan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Koalisi Merah Putih menggulirkan wacana untuk mengembalikan pemilihan presiden kepada Majelis Permusyawaratan Perwakilan (MPR). Ide ini kembali dicetuskan lagi oleh Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Herman Kadir yang beralasan bahwa pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat akan memecahbelah rakyat. “Kalau pilpres langsung hanya akan menimbulkan konflik, lebih baik di tiadakan saja” ujar Herman kepada salah satu media elektronik.

Jika benar pada akhirnya masalah niatan pengembalian pilpres kepada  MPR yang digadang-gadang oleh Koalisi Merah Putih ini masuk dalam sidang di parlemen nanti, sudah tentu pasti hasilnya adalah kembali menangnya Koalisi Merah Putih dalam parlemen dan tentunya keputusannya adalah  penyetujuan kembali pemilihan presiden yang akan diserahkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kita akan melihat dan merasakan seperti apa yang pernah kita rasakan sebelumnya, yaitu dimana presiden dipilih oleh MPR yang di masa lalu justru pemilihan presiden yang dilakukan oleh MPR inilah yang akhirnya melahirkan suatu rezim otoriter yang menghilangkan hak-hak politik dari warga negara untuk turut berperan aktif dalam pemilihan kepala negara. Kita tentu tidak ingin kembali megulang tidak adanya pembatasan masa jabatan (no limitation re-election) yang pernah terjadi di praktik ketatanegaraan Indonesia sebelum periode Soeharto. Soekarno presiden pertama menjabat mulai tahun kemerdekaan 1945 hingga 1966, sedangkan Soeharto mulai efektif mengambil alih kekuasaan sejak 1966 hingga 1998. Soeharto terus terpilih kembali hingga berhenti di tahun 1998.  Baru kemudian setelah reformasi 1998, melalui Ketetapan MPR, yang kemudian dikuatkan dengan Perubahan Pertama UUD 1945, masa jabatan Presiden dibatasi untuk maksimal dua periode masa jabatan (only one re-election).

Parlemen pada saat ini seperti suatu lembaga legislatif  yang jalannya akan terus tertebak dan alurnya akan tetap selalu sama, yaitu Koalisi Merah Putih yang akan terus menang dan berlawanan arah dengan koalisi partai poilitik yang mendukung Jokowi-JK yang ada di senayan sana. Parlemen memang berisi orang-orang yang harus terus bersuara, namun bukanlah suara yang hanya mementingkan kepentingan politik saja demi segelintir orang atau kelompok, melainkan memang  hanya memperjuangkan kepentingan rakyat semata.


*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Semester 5

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Di Dadaku Indonesia, Malaysia Ada Di Perutku
Next post Kreatif dan Inovatif Kunci UKM Hadapi MEA